Ahad 27 Dec 2020 16:10 WIB

Masih Banyak ODGJ Dipasung di Tasikmalaya

Yadi kecil masih bisa bergaul dengan normal.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Muhammad Fakhruddin
Petugas mengevakuasi sejumlah pasien ODGJ di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu (26/12). Berdasarkan data Puskesmas Cipatujah, terdapat 150 kasus ODGJ di wilayah itu. Sebanyak enam orang di antaranya dipasung oleh keluarganya.
Foto: Republika/Bayu Adji P
Petugas mengevakuasi sejumlah pasien ODGJ di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu (26/12). Berdasarkan data Puskesmas Cipatujah, terdapat 150 kasus ODGJ di wilayah itu. Sebanyak enam orang di antaranya dipasung oleh keluarganya.

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Bayu Adji P*

SABTU (26/12) lalu, Republika berkesempatan mengunjungi sejumlah orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Gerak Cepat Bersama dan Yayasan Daarul Ihsan di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Ironisnya, masih ada warga di wilayah itu yang menangani ODGJ dengan cara dipasung.

Salah pasien yang dipasung itu berada di Kampung Sabeulit, Kepunduhan Sukajaya, Desa Cipatujah, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat itu, tinggal Endang (59 tahun) bersama kedua anaknya. Namun, anak pertamanya yang bernama Yadi Supriyadi (31) menderita gangguan jiwa. Lantaran tak tahu cara merawatnya, Endang memasung anak laki-lakinya itu dalam sebuah bilik tertutup berukuran 1,8x2,7 meter di bagian belakang atau dapur rumahnya.

Dari dalam kamar dengan pencahayaan yang sangat minim itu, Yadi selalu bilang ingin keluar. Tapi, ia tak bisa keluar. Sebab jika di luar, ia dianggap meresahkan keluarga dan warga sekitar.

Sudah sejak tiga bulan terakhir Yadi dikurung di ruangan sempit itu. Tidur, makan, buang air, ia lakukan di tempat itu. Pintu keluar dari ruangan itu digembok oleh ayah dan sejumlah tetangganya. 

Endang mengisahkan, anaknya itu sudah mengalami kelainan jiwa sejak masih berusia 7 tahun. Ketika itu, Yadi pernah berenang dan tenggelam di sebuah kolam. Setelah kejadian itu, ada yang berbeda dari Yadi. 

Menurut Endang, Yadi kecil masih bisa bergaul dengan normal meski memliliki sedikit gangguan jiwa. Yadi juga sempat disekolahkan, meski hanya sampai kelas 4 sekolah dasar (SD). "Ibu gurunya pernah bilang dikeluarkan saja, karena kondisinya kasihan. Tapi saya ingin menyekolahkannya terus," kata dia. 

Endang tak mengiyakan permintaan gurunya begitu saja. Sebab, ia ingin anaknya mengenyam pendidikan, meski hanya hingga SD. Namun, Yadi akhirnya putus sekolah juga lantaran tak juga naik kelas ketika masih kelas 4 SD. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement