Senin 28 Sep 2020 09:49 WIB

Tolak Omnibus Law, Buruh Ancam Mogok Nasional

Pandemi tidak akan menyurutkan langkah buruh perjuangkan nasibnya.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Indira Rezkisari
Buruh mengancam akan melakukan mogok nasional dan unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Buruh mengancam akan melakukan mogok nasional dan unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Buruh kecewa pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, yang dilakukan DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan kejar tayang. Hal itu, dapat dilihat pada hari libur, yaitu Sabtu dan Ahad tetap dilakukan pembahasan sampai pukul 23.00 malam.

"Bahkan, pembahasannya di hotel mewah dan berpindah-pindah ini membuat kaum buruh sangat kecewa dan marah," ujar Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK SPSI) yang juga Presidium Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), Roy Jinto, kepada wartawan, Senin (28/9).

Baca Juga

Buruh pun mengancam akan nekat melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional untuk menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan hasil pembahasan antara Panitia Kerja (Panja) dan pemerintah. "Hal ini dilakukan karena hasil pembahasan Omnibus Law tersebut sangat merugikan buruh," katanya.

Roy memastikan, pandemi Covid-19 yang masih menghantui Indonesia tidak akan menyurutkan langkah buruh untuk memperjuangkan nasibnya. "Karena kaum buruh sangat kecewa dan marah," katanya.

Roy mengatakan, hasil kesepakatan panja dan pemerintah terkait Klaster Ketenagakerjaan sangat merugikan buruh. Hasil pembahasannya dinilai mengorbankan hak-hak buruh.

"Buruh sangat dirugikan dengan disepakatinya penghapusan syarat jenis pekerjaan, batasan waktu PWKT/kontrak, outsourcing atau alih daya," katanya.

Roy menilai, ini akan mengakibatkan semua jenis pekerjaaan dan jabatan tanpa ada batasan waktu menggunakan PKWT dan outsourcing. Kekecewaan buruh lainnya, kata dia, terkait dikuranginya nilai pesangon, dihapuskannya Upah Minimum Sektor, cuti-cuti yang menjadi hak buruh, dipermudahnya perusahaan melakukan PHK, dan lainnya.

"Ini membuktikan bahwa DPR bukan lagi representasi rakyat, tidak mendengarkan aspirasi buruh. DPR telah mengkhianati buruh," katanya.

Roy menjelaskan, berdasarkan hasil rapat Pimpinan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh yang terdiri dari KSPSI, KSPI, ALIANSI GEKANAS yang didalamnya ada 32 Federasi Serikat Pekerja tingkat Nasional pada 27 September 2020, buruh menyatakan dengan tegas menolak seluruh hasil pembahasan Panja dan pemerintah mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja Khususnya Klaster Ketenagakerjaan.

"Kami akan melakukan perlawanan secara konstitusional, dengan melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional. Tuntutan kami, batalkan dan cabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja," paparnya.

Pasalnya, kata dia, kalau RUU Cipta Kerja disyahkan pada sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 8 Oktober 2020, maka nasib kaum buruh akan semakin susah. Menurut Roy, mogok nasional ini sebenarnya bukan tujuan dari kaum buruh. Akan tetapi, karena setelah melakukan upaya-upaya konsep, lobi-lobi dialog dengan Pemerintah dan DPR RI tidak membuahkan hasil, buruh terpaksa melakukan langkah tersebut

"Dengan terpaksa, jalan terakhir kami mengambil langkah mogok nasional secara konstitusional berdasarkan hasil kesepakatan seluruh serikat pekerja/serikat buruh dan kaum buruh," kata Roy.

Roy memastikan, peserta demonstrasi, akan memakai masker, handsanitizer, jaga jarak serta akan berjalan secara aman, damai dan tertib. "Kami pastikan, kegiatan aksi demonstrasi dan mogok nasional akan kami lakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap mengikuti protokol Covid-19," kata Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement