Rabu 08 Jun 2022 13:55 WIB

Warga Miskin Kota Bogor Terus Bertambah, Ini Tanggapan Pengamat

Beberapa faktor kemungkinan memicu bertambahnya warga miskin di Kota Bogor.

Rep: shabrina zakaria/ Red: Hiru Muhammad
Warga mencuci pakaian di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan angka kemiskinan bisa turun 0,5 persen di tahun 2022 dari persentase kemiskinan saat ini yang mencapai 10,14 persen.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Warga mencuci pakaian di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan angka kemiskinan bisa turun 0,5 persen di tahun 2022 dari persentase kemiskinan saat ini yang mencapai 10,14 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Pengamat Pemerintahan dan Kebijakan Publik, Yus Fitriadi, setuju jika pandemi Covid-19 menjadi faktor dominan yang sangat realistis dan logis, dalam kasus bertambahnya warga miskin di Kota Bogor. Namun di sisi lain, program-program pemerintah juga dikondisikan dengan pandemi Covid-19 dengan berbagai dampaknya. 

Misalnya, kata Yus, ada istilah refocusing dan relokasi anggaran pemerintah pada semua level, adanya berbagai bantuan pemerintah pada semua level, termasuk bantuan untuk penguatan ekonomi. Sehingga dengan skema tersebut logikanya tingkat kemiskinan dan kondisi ekonomi masyarakat akan tetap terbantu. 

Baca Juga

Terlebih, lanjutnya, tatanan masyarakat dan area serta populasi penduduk di Kota Bogor tidak begitu besar. Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain seperti kabupaten. 

“Ketika berbicara pandemi Covid-19 sebagai faktor dominan yang meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan terlebih sendi ekonomi saya sepakat. Argumen tersebut sangat realistis dan logis. Kondisi ini dialami seluruh lapisan masyarakat dunia, tidak hanya di Indonesia,” kata Yus kepada Republika, Rabu (8/6/2022).

Di samping itu, Yus menyebutkan beberapa faktor kemungkinan memicu bertambahnya warga miskin di Kota Bogor. Pertama, formulasi refocusing dan relokasi anggaran pemerintah tidak melalui desain yang memadai, sehingga ketepatan sasarnnya tidak optimal. Terutama anggaran pemerintah di tingkat kota. 

“Kedua, bantuan pemerintah yang bersifat tunai, baik untuk penguatan UKM, mengatasi PHK, dan lain-lain tidak tepat sasaran, sehingg tidak berpengaruh singnifikan terhadap perbaikan perekonomian sebagai dampak Covid-19,” tegasnya.

Terakhir, kata Yus, pengawasan dan progress yang terukur oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor atas semua program penguatan dampak Covid-19 tidak optimal. Sehingga ukuran program tersebut signifikan atau tidak, efektif atau tidak sulit ditemukan.

Sebelumnya diberitakan, Jumlah warga miskin di Kota Bogor terus bertambah selama dua tahun terakhir. Kondisi itu terjadi terutama selama pandemi Covid-19 yakni pada rentang waktu 2020 hingga 2021. 

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, sempat menyebut peningkatan angka kemiskinan di Kota Bogor pada dua tahun terakhir lebih disebabkan karena angka kemiskinan nasional yang juga meningkat. Padahal, sebelum adanya pandemi Covid-19, angka kemiskinan di Kota Bogor sudah mengalami penurunan.

Tercatat, sejak 2013 hingga 2019 jumlah warga miskin di Kota Bogor terus menurun. Pada 2013 jumlah warga miskin di Kota Bogor ada sebanyak 83,3 ribu jiwa, pada 2014 menjadi 80,1 ribu jiwa.

Satu tahun setelah Wali Kota Bogor Bima Arya, berpasangan dengan Usman Hariman menjabat sebagai orang nomor satu di Kota Bogor, pada 2015 pasangan tersebut mampu menekan angka kemiskinan di Kota Bogor menjadi 79.2 ribu jiwa.

Kemudian pada 2016 turun menjadi 77.3 ribu jiwa, dan pada 2017 angka kemiskinan kembali menurun di posisi 76.5 ribu jiwa. Berlanjut pada 2018 turun menjadi 64.85 ribu jiwa dan pada 2019 turun menjadi 63.97 ribu jiwa. 

Namun pada 2020, angka kemiskinan merangkak naik kembali yakni sebanyak 75,04 ribu jiwa. Angka warga miskin tersebut hampir sama dengan angka kemiskinan pada tahun 2015. Sedangkan pada 2021, jumlah warga miskin di Kota Bogor tembus 80,09 ribu jiwa, atau setara dengan jumlah pada saat Bima Arya awal menjabat.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement