Senin 21 Mar 2011 09:56 WIB

Menimbang PLTN bagi Indonesia

Rep: Ichsan Emrald/ Red: Stevy Maradona

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Berbicara soal penggunaan nuklir, seringkali masyarakat membayangkan efek buruk akibat penggunaannya. Apalagi baru saja terjadi rangkaia ledakan dan kebakaran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daichi, yang menebarkan radioaktif, pascagempa 9,0 Skala Richter (SR) dan tsunami yang menerjang kawasan pantai timur laut Jepang.

Hal itu mengingatkan kita pada ledakan reaktor nuklir Chernobyl di Ukrania, milik Uni Sovyet, April 1986. Kerusakan yang ditimbulkannya menjadi bencana besar bagi lingkungan dan manusia yang terpapar radiasinya.

Buruknya citra nuklir, ditambah imajinasi liar film-film Hollywood yang seringkali menggambarkan manusia yang terkena radiasi  menjadi monster yang menyeramkan. Belum lagi monster hijau, Godzilla, yang awalnya di Jepang lahir dari radiasi bom atom, diplesetkan Hollywood menjadi akibat limbah nuklir.

Yang sering lupa, teknologi nuklir ataupun penggunaan bahan beradiasi ini seringkali digunakan dalam kehidupan kita. Juga banyak sekali manfaat dari penggunaan teknologi nuklir. Yang akrab di dunia kesehatan adalah Computer tomography (CT) Scan sebagai alat penunjang diagnosa. Ia memiliki aplikasi yang universal untuk  pemeriksaan seluruh organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang, tenggorokan, serta rongga perut.

‘’CT-Scan itu sendiri salah satu revolusi di dunia kedokteran yang menggunakan teknologi nuklir,’’ ucap Prof Zaki Suud, pakar nuklir  dari Institut Teknologi Bandung (ITB), kepada Republika.

Selain CT-Scan, ada teknologi lain dalam bidang medis yang disebut radiofarmasi. Sebagai informasi, ini adalah teknologi diagnosis dan terapi untuk tulang dengan menggunakan sinar gama dan materi bermuatan (alfa dan beta). Penggunaannya melalui aliran darah, baik dengan oral, injeksi, maupun diisap.

Jadi, molekul atom radioaktif yang digunakan untuk terapi tulang ini memancarkan sinar gama. Sinar ini berdaya tembus tinggi, bahkan bisa tembus ke luar jaringan. Untuk mendeteksi letak sinar gama yang berkumpul di dalam tulang, digunakan kamera gama.

Guru Besar Fakultas Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) ITB itu menyebutkan, nuklir juga bisa digunakan untuk teknologi sinar gamma iradiasi. Yang ini untuk pengawetan dan mencegah bakteri pada makanan dan sayuran.

Selain untuk kesehatan, teknologi nuklir bisa digunakan untuk industri. Kegunaannya yaitu untuk mengecek hasil pengelasan sambungan pipa di pabrik. Kemudian juga mengecek retakan-retakan yang terjadi pada pembuatan jalan layang.

‘’Coba bayangkan jika terjadi keretakan yang bisa menyebabkan kerugian materil dan nyawa, maka melalui teknologi ini kita bisa mengantisipasi lubang atau retakan,’’ papar Zaki.

Akan tetapi, tentu ada batasannya, seperti penggunaan sinar gamma untuk makanan dan sayuran dengan energi yang rendah. Artinya, penggunaan teknologi nuklir ini memang penuh dengan kehati-hatian.

Kepala Badan Pengawa Tenaga Nuklir, As Natio Lasman, menambahkan, perizinan penggunaan tenaga nuklir, baik sumber radioaktif maupun pengion, harus dilakukan untuk menjamin kemanan, keselamatan, dan perlindungan masyarakat. Menurutnya, perizinan merupakan jaminan ke masyarakat bahwa penggunaan tenaga nuklir itu aman.

‘’Kalau dapat izin, pemerintah memberikan jaminan bahwa instalasi itu mampu memberikan dampak aman bagi lingkungan dan masyarakat. Kalau digunakan di luar izin, itu yang melanggar prosedur dan diberikan sanksi,’’ ujar As Natio

Dalam perizinan itu, ada beberapa aspek yang perlu dipenuhi para pengguna. Yaitu, keselamatan berkaitan dengan teknologi, fasilitas, instalasi, dan spesifikasinya. Aspek keamanan, menurutnya, juga harus dilihat dari sisi pencegahan penggunaan bahan nuklir agar tidak dikonversikan ke bentuk non-damai.

Nuklir untuk industri dan bidang kesehatan, sambung As, harus melihat dari sisi keamanan radioaktifnya. Para penggunanya pun harus legal, mendapat izin, terdaftar, dan sepakat tidak menggunakannya untuk aspek tak damai. Para pengguna sumber radioaktif dari nuklir itu mendapatkan nomor register serta stiker Bapeten.

Dengan stiker itu maka pengawasan dan kontrol dilakukan dari dua arah, yaitu dari Bapeten dan dari masyarakat. ‘’Masyarakat bisa menolak untuk diterapi dengan peralatan radioaktif bila alatnya tak ada stiker Bapeten,’’ ujar As.

Penggunaan tenaga nuklir memang harus diperketat. Ia mencontohkan di rumah sakit, ada penggunaan CObalt 60 untuk terapi kanker. Bapeten memberikan izin dengan syarat agar keamanan sumber radioaktif tadi berada di ruang dengan penguncian ganda dan dilengkapi kamera tersembunyi (CCTV) aktif 24 jam. Jadi, bila ruang itu akan digunakan, maka ada pihak pengguna dan pengamanan yang menanganinya, sehingga kegiatan terpantau terus.

Nuklir generasi III

Kembali menurut  Zaki, saat ini ada ketakutan untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), seperti halnya di Amerika Serikat (AS) sebelum 2010, akibat kebocoran PLTN di Three Miles Island (1979). Akan tetapi, masyarakat tak perlu takut karena teknologi saat ini, yaitu generasi ketiga plus, sudah termasuk aman.

Sebagai bahan informasi, jelas Zaki, PLTN generasi pertama dibangun pada 1950-an. Kemudian PLTN generasi kedua dibangun pada tahun 1960 -1970an. ‘’PLTN di Chernobyl, Three Miles Island di Amerika Serikat, dan Fukushima ialah PLTN generasi kedua,’’ papar Zaki.

Kemudian, pembangunan PLTN melalui teknologi generasi ketiga, dilatarbelakangi kebocoran di Three Miles Island. ‘’Karena kebocoran ini ilmuwan mulai sadar bahwa tak bisa lagi mengandalkan alat elektronik atau operator yang belum tentu siap menghadapi kemungkinan terburuk,’’ tuturnya.

Di generasi ketiga, ilmuwan merancang reaktor nuklir sedemikian rupa sehingga aliran pendinginan menggunakan hukum alam serta mampu menangani hasil limbah nuklir dan radiasinya. ‘’Oleh karena itu, jikalau Indonesia ingin membangun PLTN, maka yang paling cocok ialah generasi ketiga plus ini,’’ kata Zaki.

Ia meramalkan, Indonesia baru bisa membangun PLTN sekitar 2020. Artinya, dari sekarang perlu ada riset mendalam. Karena Indonesia merupakan wilayah rawan gempa, maka musti dicari wilayah yang aman. Pembangunan reaktor nuklir juga harus mampu menahan gempa bahkan hingga 9 SR. ‘’Jadi safety margin-nya lumayan kecil,’’ paparnya.

Disebutkannya pula, PLTN sebenarnya merupakan salah satu sumber listrik yang hasilnya besar namun murah. Berbeda dengan pembangkit listrik tenaga batubara yang menggunakan bahan bakar tak bisa diterbarukan. ‘’Perbandingannya, satu atom batubara jika dipecah-pecah hasilnya 3-4 elektron volt, akan tetapi satu atom uranium hasilnya 200 juta elektron volt. Jadi, satu banding 50 juta,’’ tutur Zaki.

Tapi, perlu juga mendengar suara yang berbeda. Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), konsisten menolak PLTN. “Jepang yang sangat berpengalaman dalam bidang nuklir, punya kecermatan melakukan kontrol, dan masyarakatnya sangat tertib dan disiplin saja, begitu terkena dampak, mengalami kesulitan besar. Apalagi kita,” kata Direktur Nasional Walhi, Berry N Furqan.

Ia juga mengingatkan, Indonesia adalah negeri darurat bencana. Maka, terlalu dipaksakan jika mendirikan PLTN.

“Ada unsur pemaksaan. Mengapa tidak kita lakukan kajian yang maksimal tentang energi angin, arus laut, matahari, panas bumi, juga budidaya tanaman bahan baku biofuell. Potensi kita sangatlah melimpak. Mengapa harus jumping ke nuklir?” kata Berry yang lebih setuju Indonesia memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement