Ahad 12 Sep 2010 09:02 WIB

Berlebaran dengan Mengais Rezeki di Pemakaman

Rep: ina febriani/ Red: irf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menyusuri permukiman kumuh dan padat penduduk kawasan Menteng Pulo, Jakarta Selatan saat Hari Raya Idul Fitri memang sangat memprihatinkan. Tak ada keramaian apa pun di sana. Sepi dan hening menjadi pemandangan di daerah yang ditumpuki sampah dan rumah dari triplek.

Tiada aktivitas salam-salaman di daerah ini, seperti ramainya di daerah lainnya. Ya, saat sebagian besar umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan berkumpul bersama keluarga, sanak saudara dan handai taulan tercinta, mungkin hal itu tak dirasakan oleh kebanyakan penduduk yang menetap di sekitar lahan pemakaman ini. Semua berjalan layaknya hari-hari biasa.

Saat menyusuri jalan yang becek menuju pelosok rumah kumuh beralaskan kuburan, di sana ditemui pasangan suami istri yang sibuk ingin bekerja. Ternyata, pada Hari Raya idul Fitri, pasutri ini justru tetap pergi bekerja mengais rezeki di Taman Pemakaman Umum, Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Pasutri itu bernama Kurniati (39) dan Tugiyono (42).

Mereka yang sehari-harinya berprofesi sebagai pemulung itu memanfaatkan hari besar umat Islam ini untuk bekerja di pemakaman. Menurutnya, Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk mengais rezeki karena banyak yang berziarah. Bersama suami yang membawa sapu dan cangkul, Kurniati berniat membersihkan alang-alang di atas lahan pekuburan, menyapu, hingga memayungi para peziarah. Ditemui saat hendak pergi bekerja, dengan tersenyum Kurniati mempersilakan untuk ikut serta dalam bekerjanya. Sepanjang perjalanan, ia bercerita.

"Keadaan yang memaksa saya dan suami begini. Kalau nggak begini, ya nggak bisa makan," tutur ibu empat anak asal Pekalongan itu. Setiap orang, lanjut Kurniati, pasti ingin hidup layak. Namun, apa daya, sejak suaminya dirumahkan setahun yang lalu sebagai kuli bangunan di Pekalongan, Kurniati dan Tugiyono memutuskan untuk pindah ke Jakarta.

"Saya kira di sini (Jakarta- red) cepat dapat kerja. Ternyata susah,’’ katanya. Penghasilan yang tidak seberapa, tambah Kurniati, ia gunakan untuk makan dan membayar sewa kontrakan. Kontrakan yang sungguh padat penduduk tersebut ia bayar Rp 250 ribu per bulan. 

Hingga beberapa meter lagi sampai di pekuburan, Kurniati ditegur teman seprofesinya. "Payung saja. Banyak yang ndak bawa payung," tutur temannya yang menggunakan topi pak tani persis Kurniati. Kurniati pun terdiam. Ia pun mengangguk pada temannya dan menjelaskan bahwa peziarah lebih membutuhkan payung karena hari semakin panas dan jarang peziarah yang membawa payung. Namun, Kurniati justru meneruskan perjalanannya menuju kuburan.

Sesampainya makam, ia bingung karena teman-teman seprofesinya justru telah memenuhi pekuburan lebih dulu. Kurniati hanya tersenyum dan mulai mencari lahan-lahan pekuburan kosong untuk ia bersihkan. "Ya, beginilah persaingan. Tapi alhamdulillah, biar rebutan tetap bisa adil," katanya. Saat melihat beberapa peziarah kepanasan dan tidak membawa payung, Kurniati berbalik arah dan pamit untuk mengambil payung.

Sedangkan sang suami dengan gigih membersihkan pekuburan yang baru saja diziarahi. "Baru dapet Rp 10 ribu," ucapnya. Senada dengan Kurniati, Tugiyono mengaku tidak ingin hidup dengan mengais rezeki dari pemakaman. Namun apa daya, mereka tak punya banyak pilihan untuk bisa menghidupi keempat anaknya.

Dari kejauhan, Kurniati pun tiba membawa payung besar. Lagi-lagi, saat ia ngos-ngosan berlarian mengambil payung, peziarah justru mulai tampak sepi. "Kok sepi, ya? Tadi ramai," keluhnya. Kurniati pun mengistirahatkan badan dan melanjutkan penuturannya. "Anak saya empat. Dua sudah menikah. Dua lagi masih sekolah. Semua di kampung (Pekalongan- red) sama ibu saya," tutur ibu yang siang itu memakai celana training hijau panjang.

Anaknya yang sudah menikah, semuanya dibawa oleh suaminya. Sedangkan dua lagi, umur 10 dan 8 tahun masih duduk di sekolah dasar. Suasana Idul Fitri ini, menurut Kurniati ia jalani seperti biasa. Ramadhan ini, ia tetap berpuasa dan bertarawih jika memang pulang cepat.

Berbicara mengenai Idul Fitri, bukan tak ingin Kurniati pulang ke kampung halamannya, terlebih ia sangat rindu dengan buah hati dan orang tuanya. Namun kerinduan itu hanya bisa dia telan dalam-dalam karena bekal untuk mudik masih jauh dari cukup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement