Selasa 03 Aug 2010 00:59 WIB

Berpuasa di Gurun Pasir

REPUBLIKA.CO.ID, Menjalankan ibadah Ramadhan di negara Timur Tengah tak jauh berbeda dengan berpuasa di Indonesia. Meskipun keadaan di sana lebih mendukung bagi orang-orang Muslim untuk berpuasa, tetapi ternyata banyak juga rintangan yang dihadapi.

Hal itulah yang dirasakan Giftan Febrian Pribadi, pria berusia 24 tahun yang kini bekerja di Arab Saudi. ''Saya benar-benar merasakan bahwa berpuasa di Saudi itu berat,'' kata alumnus UPN V Yogyakarta jurusan Teknik Perminyakan itu.

Cuaca, menurut dia, merupakan rintangan paling utama di sana. Dalam dua tahun terakhir tinggal di negara kaya minyak itu, bulan Ramadhan selalu jatuh pada musim panas. Kondisi ini tentu lebih berat mengingat musim panas tidak pernah dijumpai di Indonesia.

Tradisi atau kegiatan-kegiatan, seperti takjilan menjelang berbuka di masjid-masjid di Arab Saudi juga tidak ditemukan. ''Kegiatannya tidak semeriah di Indonesia, di sini hanya ada semacam kegiatan singkat (halaqah),'' ujar pria yang bermukim di Kota Al-Khobar, Arab Saudi.

Tantangan lainnya, menurut dia, berkaitan dengan aktivitas pekerjaannya di Arab Saudi. Giftan yang bekerja di perusahaan Schlumberger, hampir sepanjang tahun menghabiskan waktu di gurun. Di sini, selain cuaca lebih panas, ia juga tidak bisa menjalankan shalat Tarawih di masjid, seperti layaknya orang yang tinggal di kota-kota.

Namun demikian, ia bersyukur karena dari pengalaman yang sudah-sudah, ia bisa khusyuk menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, meskipun banyak tantangan. ''Di Saudi, tidak ada hiburan seperti ngabuburit atau cuci mata sebelum berbuka puasa. Televisi di sini juga tidak menayangkan sinetron ataupun musik-musik yang mengumbar syahwat.''

Kekhusyukan berpuasa, lanjut dia, akan semakin terjaga karena kita sama sekali tidak menemukan orang non-Muslim yang tinggal di Arab Saudi makan sembarangan. Di negara ini, meski tidak berpuasa, tidak boleh makan di tempat umum. ''Kalau melanggar mereka akan ditangkap. Begitu juga pasangan bukan muhrim yang berjalan beriringan, bisa-bisa mereka dijebloskan ke penjara,'' tutur pemuda asal Yogyakarta itu.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Kiki Sungkono. Wanita asal Jakarta yang bekerja sebagai pelayan restoran di Hotel Kempinski di Dubai, Uni Emirat Arab. Ia mengaku sulit bergaul dengan para penduduk lokal di Dubai karena mereka suka menjaga jarak dengan komunitas pendatang. Hal itulah yang membuatnya sangat jarang keluar ke masjid untuk menjalankan shalat Tarawih.

Kiki tinggal di sebuah flat di Kota Jabal Ali. Ia sekamar dengan para pelayan restoran lain dari berbagai negara, seperti Vietnam, Myanmar, dan Filipina. Bersyukur di flat ini tersedia mushala. ''Di tempat inilah biasanya kami melaksanakan Tarawih,'' ujarnya.

Menurut dia, orang-orang arab di Dubai kurang bersahabat meskipun dalam suasana bulan suci Ramadhan. Mereka suka berbicara kepada para pendatang dengan suara keras.

Namun demikian, satu hal positif bergaul dengan warga setempat, yakni suka mengingatkan orang lain dalam hal menjalankan ibadah. Setiap adzan tiba, semua kegiatan harus dihentikan. Jika ada suara musik, harus dimatikan. nan/taq

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement