Senin 21 Jun 2010 23:50 WIB

Rusak Lingkungan, Bisnis Binatu Dinilai tak Layak Ada di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bisnis laundry atau binatu oleh pengamat lingkungan hidup dinilai tak seharusnya didirikan di Jakarta. Kepala Subdirektorat Fasilitasi Penyelesaian Sengketa, Kantor Lingkungan Hidup, Jakarta Barat, Dulles Manurung, Senin (21/6) menyatakan bisnis cuci pakaian itu banyak yang bermasalah.

"Tutup semua binatu di Jakarta," ujarnya. Ia menyebut bisnis tersebut menjadi satu penyebab terjadinya pencemaran air tanah hingga penurunan muka air tanah.

Air yang disedot diperkirakan mencapai sekitar 8 ribu hingga 10 ribu meter kubik per hari. Hilangnya air tanah menimbulkan penurunan muka air tanah se-DKI Jakarta, yang saat ini sudah mencapai 12-82 cm. Tak hanya itu, sudah sekitar 94 persen air di Jakarta tercemar akibat bisnis itu.

Seharusnya, ujar Dulles, pengusaha binatu memperhatikan tiga faktor yakni penggunaan air tanah, limbah cair, dan limbah udara,” ujarnya. Kalau ternyata ada yang tidak memenuhi syarat akan diberikan surat peringatan agar memperbaiki baku mutu limbah cairnya. “Kalau masih juga membandel akan dilanjutkan ke proses hukum,” ujarnya.

Salah satu contoh lokasi binatu yang bermasalah adalah di daerah Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Daerah ini memang menjadi sentral tempat usaha binatu. Bukan hanya konveksi yang memanfaatkan jasa binatu di Sukabumi Selatan, melainkan dari wilayah lain seperti Bogor, Banten, hingga Bandung.

Menurut Dulles, untuk menangani pencucian dari konveksi, paling-paling hanya membutuhkan 8-10 binatu. "Permintaan dari luar kota itu yang membuat bisnis binatu di Sukabumi Selatan menjamur," ujarnya. Jasa binatu di Sukabumi Selatan diminati karena harganya yang murah karena sebagian besar dari mereka menggunakan air tanah sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya.

Namun, itulah yang membuat kualitas dan kuantitas air tanah warga menjadi menurun. "Seharusnya binatu menggunakan air tanah dalam yang salurannya berbeda dengan air tanah untuk warga," ujarnya. Secara teori, lanjutnya, tidak mungkin air tanah warga menjadi kering. ***

Namun, ternyata tak sedikit binatu yang membandel. "Sekitar 12 binatu yang ketahuan tidak menggunakan air tanah dalam," katanya. Akibatnya, air tanah warga pun tersedot.  Padahal, 47 persen warga Jakarta masih mengandalkan air tanah meskipun, kondisinya sudah tidak layak dipakai.

Perusahaan binatu yang membandel dapat dikenakan Pasal 54 Peraturan Daerah Nomor l0 Tahun 2010. Dalam aturan itu, setiap pengambilan air tanah untuk industri tanpa izin tertulis gubernur dapat dikenai sanksi berupa penghentian sementara usaha dan membayar biaya perkara

Terkait penurunan debit air tanah dan pencemaran air akibat limbang binatu, beberapa keluhan sudah sering disampaikan warga di Sukabumi Selatan. Kamaluddin, warga Rt 08 Rw 08 mengatakan usaha binatu banyak menyedot air hingga kering dan air yang tersedot bisa mencapai radius ratusan meter dari tempat usaha.

Hal senada juga diungkapkan Ahmad Makhsuti. Ia mengatakan obat-obatan binatu membuat air berubah warna dan berbau.

sumber : Ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement