Rabu 07 Jun 2023 06:44 WIB

Sejarah Tuyul: Dari Kitab Al-Adawiyah Hingga Krisis Ekonomi pada 1930

Kemunculan Tuyul Marak Ketika Muncul Pada Krisis Ekonomi Tahun 1930

Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).

Oleh Nurman Kholis, Peneliti Litbang Departemen Agama RI*

Artikel ini mengungkap tema tentang syirik dalam naskah beraksara Pegon dan berbahasa Sunda yang berjudul Al-Adawiyatu al-Sy±fiyatu fi Bayni al-ti al-jati wa al-Istikharati wa Daf’i al-Kurbt.

Naskah berbentuk litograf ini ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ia adalah salah se­orang anggota BPUPKI yang berdiri jelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Di dalam nas­kah tersebut diinformasikan maraknya pencurian hingga banyak orang berdatangan ke tempat-tempat yang dikramatkan dan dukun untuk me­ngetahui barang-barang yang hilang.

Untuk meng­atasinya, K.H. Ahmad Sanusi memberikan solusi agar umat Islam tidak melakukan praktik-praktik syirik, namun melakukan salat hajat dan salat istikharah serta doa-doa untuk mengatasi ke­sulitan.

Naskah al-Adawiyah ini ditulis pada tahun 1348 H/1929 M yang bersamaan dengan tahun terjadinya krisis ekonomi dunia (malaise). Rakyat miskin pun semakin bertambah, ke­rusuhan, pencurian, perampokan, juga marak di kota-kota maupun di desa-desa. Pada tahun 1929 ini selain terjadinya krisis ekonomi dunia juga merupakan awal munculnya istilah “tuyul” di kalangan masyarakat Indonesia.

Berikut ini kajiannya yang sengaja Republika.co.id fokuskan  bahasan keempat tulisan itu, yakni ke soal kitab tersebut dengan kaitan soal krisis ekonomi dan sosial -- termasuk soal isu tuyul dan pencuri-- yang marak pada saat itu.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement