Senin 05 Jun 2023 05:15 WIB

Menebak Strategi Anies Baswedan di Pilpres 2024

Replikasi Pilkada DKI, Anies Baswedan Menolak IKN aebagai pengganti isu reklamasi.

Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, disebut menggunakan stategi antitesa Jokowi dalam Pilpres 2024.
Foto: Republika/ Febryan A
Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, disebut menggunakan stategi antitesa Jokowi dalam Pilpres 2024.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Cap sebagai antitesis pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sekadar dinikmati. Bakal capres Anies Baswedan juga akan menjadikannya sebagai strategi. Indikasinya sangat jelas. Kini ia mulai ‘menyerang’ bakal capres Ganjar Pranowo yang jelas menjadi representasi penerus Jokowi. Ia juga mulai melempar opini meragukan hasil survei. Persis seperti pola yang digunakannya pada Pilkada DKI 2017.

Sejak Ganjar resmi dideklarasikan PDIP sebagai bakal capres, seingat saya, untuk pertama kalinya Anies secara terbuka menyinggung personal gubernur Jawa Tengah itu pada Ahad pekan lalu. Sebagai pintu masuk, mantan gubernur DKI Jakarta itu mengeklaim telah berkeliling menemui warga pada Ramadhan kemarin. Ia menarasikan kegiatannya itu sebagai tirakat. Sebuah upaya menyerap aspirasi masyarakat.

“Saya datang ke banyak tempat tanpa kamera, tanpa media, tanpa ditemani siapa-siapa. Saya bukan lari-lari untuk posting foto, iya. Saya lagi mendengarkan suara mereka, saya ketemu dengan ibu-ibu, bapak-bapak, yang memiliki keinginan masa depan anak-anaknya lebih baik.” Pernyataan ini jelas sekali ditujukan untuk Ganjar yang kerap membagikan aktivitas berolahraga pagi lari di berbagai daerah melalui akun media sosial.

Kita boleh saja meragukan klaim Anies yang seolah tak butuh kamera atau publikasi dan semacamnya dalam dialog dengan masyarakat itu. Tetapi substansinya, bukan di sana. Poin tersebut hanya rangkaian awal dari narasi panjangnya dalam upaya merebut suara. Menaikkan elektoral. Salah satunya dengan terus menyuarakan bahwa program yang ditawarkannya berangkat dari keinginan masyarakat di lapisan paling bawah.

 

Jangan pernah lupa, cara ini yang digunakan Anies di Pilkada DKI, berpasangan dengan Sandiaga Uno saat itu, dalam membuat deferensiasi dengan Agus Harmurti Yudhoyono (AHY) sebagai kontestan lain penantang pejawat Ahok-Djarot. Suara masyarakat kelas bawah, khususnya yang tidak puas dengan Ahok-Djarot, dijadikan basis legitimasi programnya.

“Di Rembang saya ketemu dengan Ibu Fitri yang bercerita tentang bagaimana beliau mengelola TK-nya. Saya ketemu dengan Bu Yuli, ini pemilik apotek yang di Pasuruan. Saya juga sempat mampir ke Grobogan, di situ saya bertemu dengan seorang petani,” ujar Anies Ahad pekan lalu. Ini persis seperti yang sering diucapkannya kala kampanye Pilkada DKI lalu. Silakan cek video ketika debat Pilkada DKI. Beberapa nama orang dari beragam profesi disebut berulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Persis.

Kedua soal mulai mengumbar opini tentang ketidakpercayaan terhadap hasil survei. Anies dalam banyak lembaga survei yang merilis hasil survei mereka memang hampir selalu ada di posisi buncit dari tiga kandidat terkuat. Elektabilitas tertinggi kadang diraih Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Sedangkan Anies, tak beranjak dari tempat ketiga dengan tren stagnan.

Cara Anies mendobrak kemapanan hasil survei adalah dengan mempertanyakan seringnya survei dilakukan. Padahal, menurutnya, survei elektabilitas dengan ribuan responden yang tersebar di berbagai daerah tidak murah harganya. Mengapa sebuah lembaga mampu merilis hasil surveinya bahkan dalam dua kali sebulan. “Saya sampai kadang mikir, ini survei memotret opini atau survei membentuk opini ya. Karena kok tiap pekan ada,” kata Anies dalam Milad PKS, di Istora Senayan, Sabtu (20/5/2023).

Coba bandingkan dengan pernyataan Anies pada 20 Desember 2016. “Kita akan terus bekerja, tidak terlalu khawatir dengan pembentukan opini lewat survei-survei dan kita mengajak masyarakat untuk kritis, kenapa ya ada yang mengadakan survei begitu rutin? Survei itu nggak murah.” Pernyataan ini artinya dua bulan sebelum Pilkada DKI 2017 pada 15 Februari 2017. Saat itu Anies-Sandi dalam berbagai lembaga survei berada di posisi buncit pula, di bawah Ahok-Djarot dan Agus-Silvy. Mirip sekarang ini.

Tetapi, Pemilu 2024 masih akan berlangsung tahun depan tepatnya 14 Februari atau kurang lebih 8,5 bulan lagi. Secara terbuka, Anies optimistis akan mampu mengulang kemenangan Pilkada DKI. Sangat mungkin dengan menggunakan strategi yang sama.

Reklamasi dan IKN

Dalam titik itu, saya meyakini akan ada satu program yang menjadi tonggak penting ‘identitas’ Anies sebagai capres. Stigma sebagai antitesis yang kadung melekat itu pasti akan dieksploitasi Anies untuk mengerek elektoralnya. Mengapa saya katakan demikian? Mari kita tengok kembali Pilkada DKI lalu.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa sikap menolak reklamasi menjadi daya tarik luar biasa bagi pasangan Anies-Sandi. Janji politik ini terus dilontarkan berulang dan selalu didengungkan sejak kampanye putaran pertama bergulir hingga debat kandidat terakhir. Bersamaan dengan itu, korupsi proyek reklamasi pun digarap KPK saat itu. Semua itu berkelindan dan menjadi titik balik dalam kaitan dengan elektabilitas pasangan ini.

Terbukti, berbagai hasil survei menunjukkan adanya delta atau perubahan tingkat keterpilihan yang cukup signifikan sejak sikap penolakan reklamasi diucapkan ke publik pada Desember 2016. Posisi yang semula berada di dasar dari tiga pasangan calon yang ada, Anies-Sandi perlahan tapi pasti terus menanjak dalam kurun tak lebih dari dua bulan. Anies pun lolos putaran kedua menyingkirkan Agus-Silvy.

Memang faktor lain pasti ada andil, seperti menolak penggusuran. Tetapi pengambilan sikap diametral dengan Ahok-Djarot terkait reklamasi menjadi pelontar yang cukup efektif menaikkan elektabilitas pasangan ini. Narasinya pun seirama dengan program lain yang ditawarkan, dan kemudian dikuatkan oleh masyarakat yang selama kepimpinan Ahok merasa dimarginalkan. Anies memanfaatkan semua itu.

Pertanyaannya, jika dalam Pilkada DKI ada penolakan reklamasi yang punya nilai jual mahal terhadap pemilih, apa yang bisa “menggantikannya” dalam Pilpres 2024?

Yang berpotensi paling punya magnet dalam menyedot perhatian publik sangat besar adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini program besar dan monumental dari Presiden Jokowi, baik dalam aspek skala pembangunan maupun pembiayaan.

Lantas, apakah Anies akan mengambil sikap menolak IKN pada saatnya nanti? Dalam beberapa wawancara sejauh ini, secara normatif ia menyatakan, presiden adalah jabatan pelaksana undang-undang (UU). Pembangunan IKN telah tertuang dalam UU. Artinya, menurut Anies, siapa pun presidennya wajib melaksanakan UU. Bukannya UU bisa diubah dengan kesepakatan antara presiden dan DPR? Pertanyaan ini yang belum ada jawaban tegas dari Anies.

Pertanyaan selanjutnya, apakah sikap menolak IKN tidak justru bumerang mengingat dalam beberapa survei tingkat kepuasan terhadap Presiden Jokowi cukup tinggi?

Jangan salah, ketika Pilkada DKI, survei SMRC menemukan tingkat kepuasan terhadap Ahok-Djarot juga mencapai 75 persen pada Oktober 2016. Kemudian pada April 2017 atau menjelang putaran kedua, survei LSI Denny JA merilis tingkat kepuasan Ahok-Djarot masih 73 persen. Faktanya, Ahok-Djarot kalah head to head dengan Anies-Sandi.

Jika Anies mengambil sikap menolak IKN, akan sangat menarik. Artinya, ia tak ragu melangkah menjadi penantang siapapun calon yang merepresentasikan pejawat. Barangkali Anies sedang mencari rasionalisasinya. Mencari pula basis data sebelum ditawarkan ke publik. Sebab, sikap menolak IKN sangat mungkin akan menjadi ‘gong’ kampanye Anies nanti setelah rangkaian penolakan kebijakan subsidi kendaraan listrik untuk individu, membandingkan pembangunan jalan zaman Jokowi vs SBY, dan lain selanjutnya.

Kita tentu tak boleh denial dengan setiap ide dan gagasan. Sah-sah saja apa pun dan bagaimanapun cara capres menarik simpati publik. Mereka hanya berharap dipilih dan terpilih. Jangan pernah lupa bagaimana Pilkada DKI dulu keras membelah kita. Semua itu harus jadi pelajaran agar yang buruk-buruk tak terulang.

Jangan lupa pula bagaimana Nasdem dan Media Grup milik Surya Paloh sebagai corong utama Ahok-Djarot dan tak jarang ‘menguliti’ Anies di luar batas. Kini mereka berkongsi, bukan? Karena ini semua tentang politik. Dan mereka semua, Anies, Ganjar, dan Prabowo adalah politisi. Tak lebih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement