Selasa 30 May 2023 07:41 WIB

Desentralisasi Korupsi Masa Reformasi: Apa Solusinya?

Korupsi tidak terbatas lagi oleh kroni penguasa dan pejabat.

Mural dengan ilustrasi tikus dan teks perlambangan korupsi di bawah jembatan layang kawasan kuningan, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Mural dengan ilustrasi tikus dan teks perlambangan korupsi di bawah jembatan layang kawasan kuningan, Jakarta Selatan.

Oleh: A. Makmur Makka, Mantan Pemimpin Redaksi Republika.

Jika para ilmuwan yang punya integritas tinggi, tokoh terhormat seperti menteri, anggota legislatif, gubernur, terlibat menerima uang yang terindikasi korupsi seperti santer diberitakan di koran. Kita berhak bertanya: Masih adakah orang yang jujur, tulus  dan bisa dipercaya di negara kita ini?

Ada yang berkata, naif apabila kita percaya bahwa jabatan terhormat yang disandang seseorang, terselip pula secara otomatis sifat kemuliaan dan kejujuran. Jabatan dan kepakaran hanya symbol-¬simbol, dekorasi atau tanda-tanda. Mereka tokoh juga manusia.

Saya teringat Prof. Mr. Hardjono, Guru Besar mata pelajaran “Kewiraan” dulu di Universitas Gadjah Mada yang selalu mengajarkan tentang akal budi, kemuliaan dibalik keseder¬hanaan. la selalu mengulang-ulang pesannya: "Jangan selalu melihat kulit luar, tetapi lihatlah isinya".

Kata kunci yang kita dapatkan dari semua peristiwa ini, korupsi di Indonesia sudah “systemic”, sesuatu yang sudah teratur, atau menggurita, terulang dan terulang. Robert Klitgaard, guru besar pada The Rand Graduate School, Santa Monica California yang pernah saya ikuti orasinya di Seoul - Korea Selatan pada sebuah seminar, Ia menyinggung tipe korupsi model Indonesia. la mengamati korupsi di Indonesia sebelum masa reformasi adalah “crony capitalism”, mirip korupsi di Filipina. Model korupsi, di mana para pejabat birokrat menerima "insentif" (upeti) dengan memelihara kestabilan usaha para pebisnis besar.

Dari sana, ikut pula anak-anak pejabat menjadi kroni pengusaha. Di Korea Selatan, setingkat lebih jelek, karena korupsi bisa disamakan dengan "mengoleksi deviden". Oknum pemerintah yang berkuasa, malahan ikut menjadi pemilik aset ekonomi negara. Hal ini terjadi, karena adanya kontribusi politik yang mengatur “chaebol” atau perusahaan konglomerat.

Bentuk terburuk model korupsi, terjadi di Zaire, Afrika. Korupsi di Zaire sudah “chaos”, juga terdesentralisasi di mana-mana. Jika kita menyogok seseorang, belum tentu kita bisa menerima apa yang kita telah bayar. Pada masa Orde Lama dan puncaknya pada Orde Baru, korupsi di Indonesia memang bisa dikatagorikan korupsi “crony capitalism”, rakyat menonton korupsi secara telanjang pada kerucut atas piramida kekuasaan.

Tetapi setelah reformasi, sebuah model korupsi yang terburuk di dunia muncul. Korupsi tidak terbatas lagi oleh kroni penguasa dan pejabat, tetapi sudah merata kesemua lembaga pemerintah dan sektor swasta, malahan seluruh strata masyarakat dan makin individual. Artinya, tidak ada lagi garis hierarki, karena restu atasan atau lembaga, tetapi semua orang sudah bisa berinisiatif sendiri, bertindak atas nama diri sendiri, ataukah jika mau, dilakukan berjamaah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement