Rabu 24 May 2023 22:35 WIB

Mengapa Baru Sekarang Mempermasalahkan Silsilah Habaib?

Mereka ingin habaib kehilangan jamaahnya.

Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW (ilustrasi)

Oleh : Erdy Nasrul, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan itu merupakan refleksi dari kejanggalan akhir-akhir ini. Sejumlah orang mengeklaim dirinya sebagai agamawan menyerang anak cucu Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir Ila Allah, keturunan Sayidina Husein bin Ali bin Abi thalib wa Fathimah az-Zahra binti Rasulillah SAW. Sesuatu yang pada mulanya tak pernah dipermasalahkan pada abad ke-12 -13 masehi, masa leluhur Alawi paling mulia al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawi hidup berdzikir laa ilaaha Illa Allah hingga membuat semua makhluk di suatu kawasan pesisir ‘bergetar’ menggelorakan kalimat paling mulia itu menurut Syaikhul Islam Fakhruddin ar-Razi.

Keberadaan Ubaidillah yang kelak di kemudian hari menurunkan Alawi, lalu menurunkan Muhammad, lanjut menurunkan Alawi (kedua), dan seterusnya, juga tidak jadi masalah saat leluhur awliya tis’ah (wali songo), al-Haddad, al bin Sumaith, dan banyak lagi, yakni Alawi yang bergelar ‘Aammul Faqih mendakwahkan kearifan Islam (diperkirakan) pada abad ke-11 M di Hadhramaut.

Keberadaan Alawiyyun (habaib) di berbagai kawasan – tak terkecuali Indonesia - sejak ratusan tahun lalu di berbagai kawasan, semakin menyemarakkan dakwah Islam. Mereka membawa tradisi mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai untaian kalimat dzikir yang menenangkan hati, bacaan maulid mengenang dan tadabur kehidupan Nabi Muhammad SAW, melalui berbagai kitab yang berisikan bait bait syair nan indah, dan akhlak mulia yang membuat kita termotivasi untuk selalu ibadah.

Namun kini, silsilah itu dipermasalahkan oleh mereka, entah siapa mereka itu, yang tiba-tiba muncul ke permukaan, dan mendadak mendapatkan tempat di dunia maya. Mereka menyuarakan apa yang selama ratusan tahun sudah menjadi pengetahuan umum (otoritatif), tapi mereka anggap janggal.

Patut diduga, suasana menuju kontestasi pemilu 2024 menjadi salah satu dasar yang membuat adanya ‘serangan’ terhadap silsilah habaib ini. Apa kaitannya dengan pesta demokrasi tersebut?

Pertama adalah sekularisasi yang arahnya menyingkirkan ulama dari kehidupan dan ‘hati’ masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang keyakinan. Bahwa ulama ‘haram’ terjun ke politik, menyuarakan dan menggemakan dukungan terhadap tokoh tertentu. Cukup berada di masjid dan majelis, bicara tentang ilmu keagamaan saja tanpa dikaitkan dengan politik.

Kedua, masih berkaitan dengan sekularisasi, yaitu desakralisasi ulama. Ini merupakan upaya yang menurut saya menargetkan penghancuran sakralitas ulama dan habaib. Penolakan silsilah habaib disuarakan begitu hebat. Dikemas dalam bentuk yang terkesan saintifik, tapi sebenarnya tidak berimbang, karena menafikkan argumentasi yang mengakui keberadaan Ubaidillah yang merupakan anak Imam ahmad al-Muhajir ila Allah.

Dampak besar penafikan silsilah habaib

Mereka yang menafikkan silsilah habaib, entah disadari atau tidak, telah menghina leluhur para ulama yang sejak lama mendakwahkan Islam di berbagai kawasan. Bukan sembarangan, banyak di antara mereka merupakan pemimpin para ulama atau disebut dengan quthb. Mereka tidak mengakui sahib simthud durar Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, yang bait-bait syairnya dibaca jutaan orang di Indonesia di berbagai majelis.

Mereka menafikkan al Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad yang kumpulan dzikirnya berupa Ratib al-Haddad menjadi wasilah menuju kedekatan dengan Allah. Dzikir itu dibaca orang di seluruh dunia, melampaui batas negara dan kawasan. Mengapa dibaca? Karena orang-orang cinta kepada dzuriyat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Alawi al-Haddad, yang oleh sebagian orang kini mempermasalahkan otentisitas silsilah emas itu.

Mereka menafikkan silsilah mulia wali songo Raden Rahmatullah Sunan Ampel, Hidayatullah Sunan Gunung Jati, dan banyak lagi ulama dan auliya Allah yang meletekkan kearifan Islam di Nusantara. Dengan menafikkan keberadaan Ubaidillah bin Ahmad, maka sama saja mereka mengatakan bahwa semua wali songo, bahkan semua al-husainiyyun itu bermasalah silsilahnya. Dan ini merupakan penghinaan dan penistaan terhadap mereka para kekasih Allah plus keturunannya, yang jumlahnya banyak sekali.

Ini bisa memancing respons ulama dari berbagai kawasan menggelombangkan kritik dan keprihatinan ke Indonesia, yang sudah dikenal sebagai negeri umat Islam terbesar di dunia. Negeri dengan Muslim terbanyak, tapi kini mempermasalahkan silsilah pendakwahnya.

Dampak lainnya adalah mereka ingin habaib kehilangan jamaahnya. Orang-orang tak lagi mengikuti majelis ilmu habaib. Tak lagi mendengarkan dakwah dan seruan mereka yang selama ini mengajarkan kearifan hidup dengan Islam yang wasathiy, Islam yang dibawa oleh leluhur mereka, yakni Nabi Muhammad yang merupakan rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil ‘alamin.

Konsekuensi dari jamaah yang tak lagi mendengarkan seruan kebaikan adalah habaib kehilangan pengaruh dalam menentukan siapa pemimpin masa depan Indonesia yang akan ‘lahir’ pada 2024.

Yang lebih parah lagi dari penafikan silsilah habaib adalah, mereka yang selama ini dianggap sebagai legasi Nabi Muhammad, tak lagi memiliki tempat dalam khazanah keislaman, kehilangan majelisnya. Kemudian banyak orang menjadi tak lagi tertarik dengan maulid Nabi Muhammad.

Dengan begitu, banyak orang tak lagi cinta kepada Nabi Muhammad. Bahkan bisa jadi malah membenci sang Nabi seperti yang dilakukan para orientalis Barat.

Mereka yang hendak menafikkan silsilah habaib dengan bingkai ‘kembali kepada turos’ atau merujuk kepada makhtuthat hendaknya menyadari, saat ini sedang melakukan sesuatu yang fatal. Sesuatu yang merusak warisan Nabi Muhammad. Legasi berupa keturunan Nabi Muhammad, baik yang bergelar, maupun tak bergelar. Yang di dalam tubuh mereka, baik sedikit maupun banyak, mengalir darah orang yang dipuji Allah dan semua makhluk di alam raya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement