Selasa 09 May 2023 18:56 WIB

Anti Kekerasan, Wujudkan Keamanan Santri

Pentingnya sistem pengawasan dan hukuman di Pondok Pesantren.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Pondok Pesantren
Foto: ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abd. Aziz, Alumni Pondok Pesantren TARATE, Pandian, Sumenep-Madura. Kini, Advokat, Legal Consultant, dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW

Pekan lalu, Jumat (5/5/2023) malam berkesempatan silaturrahmi pada Gus Mujib Syadzili, Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Salaf al-Quran (PPSQ) Asy-Syadzili, yang berkembang pesat hingga memiliki enam cabang Pesantren, yang tersebar di Malang dan Pasuruan, Jawa Timur.

Baca Juga

Perbincangan mengalir pada pentingnya sistem pengawasan dan hukuman di Pondok Pesantren sehingga dapat memproteksi sekaligus membuat efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan: penganiayaan dan penyiksaan, baik yang diduga dilakukan oleh oknum Pengurus terhadap santri maupun santri pada santri, yang berpotensi mengganggu keamanan dan kenyamanan belajar, apalagi sampai mengancam jiwa para santri.

Mengapa membahas isu kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren? Tentu, cukup beralasan. Dalam catatan penulis, tiga tahun terakhir, peristiwa kekerasan di lingkungan yang jika memiliki sistem pengawasan yang baik dan benar, sejatinya tidak perlu terjadi. Fakta dan realitasnya, tak banyak Pesantren yang memiliki sistem dimaksud sehingga kasus kekerasan santri kian marak, seperti tersaji dalam pelbagai pemberitaan. 

Misalnya, pada Mei 2021, di Kota Bandung, Jawa Barat, seorang Pengasuh Pondok Pesantren menggagahi belasan santrinya sehingga ia divonis hukuman seumur hidup dan ditingkatkan menjadi hukuman mati. 

Sedang di Ponorogo, Jawa Timur, pada Agustus 2022, seorang santri meregang nyawa setelah mengalami kekerasan dari santri senior hingga memantik reaksi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, bahkan Wakil Presiden Kiai Ma'ruf Amin. 

Terbaru, di Malang, Jawa Timur, pada November 2022, santri baru dianiaya dan disiksa oleh santri senior hingga luka memar pada kepala, wajah, kedua belah mata, telinga kiri, dada, perut, bahkan patah tulang hidungnya. Kejadian tersebut mendapat atensi dari Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI Waryono, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, yang juga membidangi urusan Agama dan Perlindungan Anak, dan mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi dan Aris Merdeka Sirait.   Walaupun demikian, pengadilan memutuskan si pelaku bebas, dikembalikan pada kedua orang tuanya.

Juga, segar dalam ingatan, santri di Pasuruan Jawa Timur, pada Januari 2023 dibakar oleh santri yang tercatat senior. Menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, eksekusi kekerasan itu dilakukan di kamar santri, yang kemudian dilarikan dan dirawat di rumah sakit selama sembilan belas hari. Tetapi nahas, nyawanya tidak tertolong, dan akhirnya meninggal dunia. Melihat banyaknya peristiwa kekerasan di Pondok Pesantren yang berakibat fatal, terlebih pada hilangnya nyawa seorang santri, sungguh memilukan. Mengapa? Selama ini, Pondok Pesantren dikenal luas dengan intensitas materi keagamaan yang kental, dan nilai-nilai keagungan akhlak di dalamnya.

Masih banyak kisah pilu, kekerasan di Pondok Pesantren lainnya yang membuat sesak dada para orang tua dan masyarakat. Mengapa kekerasan demi kerasan terjadi di lingkungan di mana pelajaran akhlak menjadi materi utamanya? Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya sistem pengawasan yang terencana, terukur, dan terprediksi. Juga, dimungkinkan karena putusan bebas pada pelaku kekerasan, seperti di singgung di atas, yang tidak sama sekali memberikan efek jera sehingga tidak ada rasa takut untuk melakukan tindakan kekerasan. Bagaimana dengan Pondok Pesantren Asy-Syadzili?

"Alhamdulillah, Asy-Syadzili menerapkan sistem pengawasan yang ketat. Aturan Pondok jelas, melakukan kekerasan pada santri merupakan larangan keras. Jika ada santri yang terbukti melakukan penganiayaan pada temannya, seketika kami keluarkan! Tidak ada toleransi. Kita ingin para santri aman dan tenang dalam belajar ilmu agama," tegas Gus Mujib, mantan Kasatkorwil Banser Jawa Timur ini.

"Saya mengapresiasi Asy-Syadzili yang memiliki komitmen tinggi terhadap kenyaman belajar para santrinya. Patut ditiru oleh Pesantren-Pesantren lain agar tercipta situasi yang kondusif di lingkungan Pondok," respon saya pelan sambil izin menyantap jamu bakar.

"Jika terjadi dugaan kekerasan, baik dilakukan oleh Pengurus terhadap santri maupun santri pada santri lain, Asy-Syadzili mengambil sikap setuju dilanjutkan ke proses hukum. Bila Pondok nyata-nyata lalai dalam melakukan pengawasan, selain mengambil inisiasi mohon maaf pada santri dan orang tua atau walinya, juga bertanggung jawab penuh atas kerugian, dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan," ungkap Gus Mujib, alumni IKIP Malang dan Universitas Wijaya Putera Surabaya ini.

"Luar biasa! Ini salah satu Pesantren yang mempunyai paradigma maju (progresif) dalam mengelola Pondok Pesantren. Bersikap biasa saja dalam merespon peristiwa kekerasan jika harus bergulir ke proses hukum. Bahkan, memilih menghormatinya dengan mengikuti proses hukum tanpa memandang negatif pada orang tua yang hendak memberikan efek jera pada pelaku kekerasan," ujar saya sambil meneguk kopi hitam yang disuguhkan di meja.

"Pernah suatu waktu, seorang santri mengaku dipukul Pengurus Pondok dan memberitahu orang tuanya. Singkat cerita, wali santri percaya dan bergegas ke Pesantren. Setibanya, ia marah dan minta dilanjutkan ke proses hukum. Asy-Syadzili sepakat untuk diselesaikan secara hukum melalui Polres Kabupaten Malang. Hasil penyelidikan, terkuak bahwa santri tersebut tidak jujur pada sang orang tua. Anaknya terluka karena jatuh, bukan dipukul Pengurus Pondok. Akhirnya, Bapak dan Ibunya merasa malu dan mohon maaf serta minta proses hukum tak dilanjutkan," urai Kepala Sekolah Menengah Kejuruan ternama, SMK NU Sunan Ampel, Poncokusumo, Kabupaten Malang ini.

"Memang, Gus. Untuk menguji kebenaran dugaan tindak pidana kekerasan, pintu utamanya adalah proses hukum. Dapat dibayangkan jika hanya berdasarkan pada pengakuan seorang santri maupun Pengurus. Pengurus Pesantren adalah penegak aturan, bukan penegak hukum yang memiliki ilmu penyelidikan sehingga dapat dengan mudah mengetahui mana keterangan yang dikualifikasi benar ataupun keterangan yang tergolong palsu. Sungguh ini pelajaran penting bagi Pondok-Pondok, utamanya di Malang Raya," demikian garis bawah saya pada Gus Mujib.

"Jadi, bagi Pondok Asy-Syadzili, keamanan dan kenyamanan santri belajar di Pesantren haus dijamin! Tidak boleh terjadi kekerasan: penganiayaan apalagi penyiksaan terhadap santri. Makanya, saat ada dugaan kejadian kekerasan di Pesantren, pihak Pondok menyatakan siap untuk diproses hukum. Dengan begitu, para santri akan mikir seribu kali untuk melanggar aturan kekerasan yang merupakan larangan keras di Pondok," tambah Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama' (PWNU) Jawa Timur ini.

"Sebuah komitmen yang sungguh menenangkan para santri dan oran tua. Jaminan keamanan yang membuat nyaman dalam belajar di Pondok adalah harapan para santri, juga kedua orang tua mereka. Itu pula yang membuat masyarakat percaya bahwa Pondok Pesantren merupakan tempat dan lingkungan terbaik untuk masa depan anaknya, khususnya dalam belajar demi penguasaan ilmu agama yang akan menjadi bekal hidup saat terjun ke masyarakat kelak di kemudian hari," ungkap saya mengakhiri perbincangan

Motto Pondok Pesantren Asy-Syadzili adalah _Membumikan al-Quran, Melangit kan Manusia_. Terkenal dengan sistem pengajaran beragam bacaan al-Quran dari Imam yang tersambung kepada Rasulullah, Muhammad SAW, yakni _Qira'at Sab'ah dan Qira'at Asyr_ dibawah asuhan Buya Mun'im Syadzili, adik kandung Gus Mujib Syadzili, putra Kiai Ahmad Syadzili Muhdlor (alm), dimana kakeknya masih keturunan Kanjeng Sunan Giri.

Tak terasa, malam kian larut. Jarum jam menunjukkan Pukul 23.30 WIB. Kopi pun tinggal satu tegukan. Berdiskusi dengan Kiai yang berilmu, rendah hati, jujur, apa adanya, dan progresif dalam memimpin Pesantren Asy-Syadzili yang memiliki satu-satunya _Graha Manarul Qur'an_, membuat saya betah seolah ingin menghabiskan malam. Namun, saya sadar bahwa sebaiknya saya mengakhiri obrolan santai ini karena sudah memasuki waktu istirahat. Saya memberi tanda pada Mbak Lika, Bundanya anak-anak, pertanda hendak pamit dari kediaman Gus Mujib. 

"Mohon izin, Gus. Terima kasih atas sambutan hangatnya, dan bersedia berbagi seputar sistem pengawasan di Pesantren Asy-Syadzili. Kami undur diri. Semoga di lain kesempatan dapat bersua kembali," tutup saya sambil berjabat tangan, kemudian membalikkan badan: pulang. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement