Kamis 13 Apr 2023 21:04 WIB

Membaca Aspek Strategis di Balik Pencanangan Tahun Kerukunan

Pencanangan 2023 sebagai tahun kerukunan memiliki aspek srategis

Warga berjalan di kawasan Gereja Nazaret (kanan) dan Masjid Al Azhar (kiri) di Jalan Gemini, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Jumat (15/4/2022). Masjid Al Azhar dan Gereja Nazaret tersebut merupakan dua rumah ibadah yang dibangun secara bersamaan pada tahun 1986 dengan letaknya yang berdampingan dan memiliki satu tembok yang menyatu sebagai sebagai simbol toleransi keberagaman antarumat beragama.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Warga berjalan di kawasan Gereja Nazaret (kanan) dan Masjid Al Azhar (kiri) di Jalan Gemini, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Jumat (15/4/2022). Masjid Al Azhar dan Gereja Nazaret tersebut merupakan dua rumah ibadah yang dibangun secara bersamaan pada tahun 1986 dengan letaknya yang berdampingan dan memiliki satu tembok yang menyatu sebagai sebagai simbol toleransi keberagaman antarumat beragama.

Oleh : Dr Nanang Facthurochman, Kepala Kanwil Kemenag Banten

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) telah mencanangkan 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama. Pencanangan itu disampaikannya dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama (Kemenag) di Surabaya awal Februari lalu. 

Adapun dicanangkannya 2023 sebagai tahun kerukunan umat beragama merupakan bagian dari inisiatif dan persiapan untuk menghadapi berbagai tantangan yang dapat mengganggu keharmonisan umat beragama jelang tahun politik.  

Baca Juga

Tema kerukunan umat beragama menurut penulis begitu relevan dengan suasana zaman dan dinamika politik Indonesia kontemporer. Dimana perbedaan berlatar suku serta budaya tidak lagi dilihat sebagai sumber persoalan utama. 

Orang Jawa bisa menjadi wakil rakyat atau kepala daerah di luar Jawa. Orang Sunda juga bisa menjadi Kepala Dinas atau menduduki jabatan penting lain disuatu instansi yang dihuni pegawai dari berbagai latar suku. 

Kita juga tidak lagi mendengar bunyi-bunyian yang mempertanyakan dan mempersoalkan kepemimpinan seorang figur berdasar latar sukunya.

Misalnya penulis sendiri pernah menyaksikan seorang tokoh agama yang menanyakan kepada khalayak disela ceramahnya dengan pertanyaan kenapa orang Jawa terus yang menjadi Presiden?

Pertanyaan semacam itu kini Alhamdulilah tidak lagi terdengar. Ringkasnya, orang Indonesia tidak lagi melihat pluralitas suku serta budaya sebagai halangan untuk saling mendukung dan berkolaborasi.

Namun pada tataran agama, potensi terjadinya friksi utamanya dalam perhelatan hajat demokrasi seperti Pemilihan Umum masih menjadi kendala terbesar. Kampanye-kampanye negatif seperti menuduh salah satu kontestan dengan cap anti-Islam, pro-Komunis, dan narasi bernuansa agama semacam itu masih nyaring terdengar.

Agama dijadikan sebagai komoditas untuk memperkuat legitimasi dan sekaligus alat untuk menuduh kelompok lain yang bersebrangan dengan kelompoknya. Realitas ini menguatkan asumsi bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya mampu untuk move on dari keseluruhan fakta heterogenitas. 

Masalah kontemporer semacam itu tidak boleh dibiarkan. Karena bila agama dijadikan alat (dipolitisasi) untuk kepentingan politik praktis, maka kerukunan umat beragama di Indonesia menjadi terancam. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa tajuk kerukunan umat beragama begitu penting untuk diketengahkan mengingat konteksnya yang rekevan dengan suasana zaman.     

Tiga spirit

Dalam pandangan penulis, setidaknya terdapat tiga spirit penting yang mendasari pencanangan tahun kerukunan umat beragama. Spirit pertama terletak pada upaya yang berfokus pada aspek temporal dengan memanfaatkan kurun waktu setahun jelang tahun politik untuk mengkonfigurasi dan mendiasporakan nilai-nilai persaudaraan umat beragama di Tanah Air. Makna temporal disini jangan disalah artikan sebagai sebagai suatu pencanangan yang bersifat sesaat. 

Melainkan lebih dimaksudkan pada perhatian dalam memanfaatkan momentum di tahun 2023 sebagai periode krusial untuk menumbuhkan semangat kerukunan.

Semangat menjaga kerukunan perlu terus disuarakan melalui penggalian aspirasi serta spirit nilai yang bersumber dari ajaran agama, agar dikursus publik menyangkut tema politik sebatas dinamika biasa yang tidak sampai menimbulkan ketegangan apalagi perpecahan.  

Kemenag dalam hal ini dapat memberi semacam panduan (guidlines) yang bertolak dari program moderasi beragama sebagaimana telah dilaksanakan sejak 2021. Sehingga diharapkan dapat meminimalkan praktik politisasi agama yang bersifat destruktif terhadap kerukunan beragama dan persatuan bangsa. 

Spirit kedua ialah terletak pada aspek edukasi. Semua lini di pemerintahan hendaknya melihat apa yang dicanangkan oleh Kemenag sebagai suatu gagasan bersifat penting yang titik tekannya ada pada proses edukasi yang dalam prakteknya bisa dilakukan lewat berbagai format.

Misalnya melalui FGD, baik antarinstansi pemerintah, ataupun lewat musyawarah lintas ranah dengan melibatkan sejumlah tokoh masyarakat, serta sosialisasi terhadap para pemilih pemula melalui pelibatan organisasi kepemudaan (OKP). 

Masyarakat luas khususnya generasi muda harus di edukasi dengan pemahaman bahwa agama memiliki tempat yang sakral yang tidak bisa diturunkan derajatnya dengan cara dipolitisasi.

Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel  

Agama hanya perlu dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat besar (high interest) misalanya untuk kepentingan memupuk nilai toleransi, persatuan dan hal-hal menyangkut diskursus kebhinekaan bangsa. 

Agama yang diperbincangkan dalam ruang lingkup high interest akan menghasilkan inovasi serta energi positif bagi kemajuan bangsa. Sebaliknya, Agama sama sekali tidak kompatibel dengan marwahnya bila diposisikan sebagai alat untuk kepentingan rendah dan semu (pseudo interest) sebagaimana mempergunakannya dalam arena pemilihan umum.  

Sementara arti penting ketiga ada pada pesan strategisnya. Yakni suatu pesan yang diamanahkan terhadap seluruh komponen tanpa kecuali agar mengaktifkan inti kesadaran melalui konsolidasi kebangsaan. Konsolidasi antar anak bangsa saat ini sangat diperlukan untuk menunjukan bahwa gerakan tanpa keberpihakan (netral) yang didasarkan semata pada tujuan kolektif masih hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement