Sabtu 17 Dec 2022 06:07 WIB

Qatar Dianggap Sukses Gelar Piala Dunia 2022 yang Penuh Makna

FIFA puas dengan kinerja Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022.

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Seniman dan siswa India dari Sekolah Seni Gurukul menggambar lukisan untuk menyemangati Argentina dan Prancis menjelang Final Piala Dunia FIFA 2022 di Mumbai, India, 16 Desember 2022. Argentina akan menghadapi Prancis dalam pertandingan sepak bola final Piala Dunia FIFA 2022 pada 18 Desember 2022 di Lusail, Qatar.
Foto: EPA-EFE/DIVYAKANT SOLANKI
Seniman dan siswa India dari Sekolah Seni Gurukul menggambar lukisan untuk menyemangati Argentina dan Prancis menjelang Final Piala Dunia FIFA 2022 di Mumbai, India, 16 Desember 2022. Argentina akan menghadapi Prancis dalam pertandingan sepak bola final Piala Dunia FIFA 2022 pada 18 Desember 2022 di Lusail, Qatar.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Gelaran Piala Dunia 2022 tinggal menghitung hari. Di Stadion Lusail, Argentina dan Prancis akan saling berhadapan di partai puncak edisi perdana Piala Dunia di kawasan Timur Tengah tersebut, Ahad (18/12) malam WIB. Kekecewaan, suka cita, drama, polemik, hingga kejutan telah tersaji secara lengkap sejak edisi ke-22 Piala Dunia membuka tirainya pada 20 November silamnya.

Di atas lapangan, kejutan sudah tercipta pada hari kedua gelaran Piala Dunia 2022. Argentina, yang berstatus favorit juara, dijungkalkan Arab Saudi, 1-2, di laga kedua babak penyisihan Grup C. Pun saat Jepang membungkam Jerman, 1-2, di partai  pembuka penyisihan Grup E. Qatar 2022 terlihat begitu menjanjikan dari segi rataan kekuatan para kontestan.

Baca Juga

Presiden Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), Gianni Infantino, bahkan tidak ragu menyebut babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 sebagai penyisihan grup terbaik di sepanjang gelaran Piala Dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah turnamen paling bergengsi sejagat itu, setiap konfederasi mengirim wakilnya ke babak 16 besar.

''Tidak ada lagi tim besar ataupun tim kecil. Level permainan sudah mulai merata. Ini menunjukan sepak bola benar-benar sudah menjadi permainan global. Dengan sederhana, saya bisa katakan ini adalah penyisihan terbaik di sepanjang sejarah Piala Dunia,'' kata Infantino seperti dikutip Marca, Jumat (16/12).

Belum lagi dalam urusan jumlah penonton. Berdasarkan data FIFA, penonton babak penyisihang grup Piala Dunia 2022 mencapai lebih dari dua miliar penonton, termasuk penonton via siaran langsung dari televisi ataupun layanan streaming berbayar. Ini merupakan jumlah penonton tertinggi babak penyisihan grup sepanjang sejarah Piala Dunia.

Infantino juga menyoroti soal antusiasme penonton yang secara langsung hadir di dalam stadion. ''Antusiasme penonton begitu luar biasa. Setidaknya rata-rata 51 ribu orang datang di pertandingan. Belum lagi ratusan ribu orang yang berkumpul di fan festival dan jalan-jalan kota Doha, Qatar,'' ujar Infantino.

Pria asal Swiss itu pun cukup yakin, kesuksesan ini akan terus berlanjut hingga puncak gelaran Piala Dunia 2022. Target penonton hingga menyentuh lima miliar orang pun dirasa bukan hal yang mustahil. ''Untuk inilah sepak bola. Untuk inilah Piala Dunia hadir. Pada akhirnya, kami hanya berusaha memberikan senyuman dan kebahagian buat semua orang di dunia,'' tutur Infatino.

Kesuksesan di level penyelenggaraan rasanya tidak lengkap tanpa ditopang oleh kenyamanan para penonton. Untuk aspek ini, Qatar 2022 juga memiliki nilai positif. Para penonton dan suporter perempuan mengaku merasa begitu nyaman saat hadir secara langsung di dalam stadion.

Anggapan miring soal perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di Qatar terbantahkan di Piala Dunia 2022. Para penonton perempuan justru merasa aman dan nyaman saat berada di dalam stadion.

''Pada awalnya, saya merasa Qatar menjadi tempat yang berbahaya buat perempuan. Namun, sejak datang ke sini, hal itu tidak saya rasakan. Bisa dikatakan, saya justru merasa aman,'' kata pendukung wanita asal Inggris, Ellie Molloson, kepada Reuters.

Molloson merupakan salah satu penggiat kampanye anti seksime di sepak bola. Pendukung perempuan dinilai memiliki hak serupa untuk bisa menikmati pertandingan sepak bola di dalam stadion. Situasi ini akhirnya benar-benar dirasakan Molloson saat berada di Qatar, ketimbang saat menyaksikan pertandingan sepak bola di negaranya sendiri, Inggris.

''Saya rasa, ini karena masyarakat di sini lebih konservatif. Selain itu, pembatasan alkohol juga berpengaruh. Tidak ada lagi godaan, siulan, yang berujung pada pelecehan seksual. Di sini sangat berbeda, tapi jauh lebih nyaman. Tidak hanya untuk wanita, tapi juga untuk keluarga. Atmosfer yang jauh berbeda dibanding di Inggris,'' tutur Molloson.

Kondisi ini juga rasanya tidak terlepas dari budaya masyarakat Arab, termasuk Qatar, yang berkelindan dengan nilai serta ajaran Islam dalam hal adab memuliakan tamu. Keramahtamahan penduduk lokal dapat menjadi cerita tersendiri buat para suporter yang hadir di Qatar.

Dari segi fasilitas dan sarana pertandingan, pujian datang dari salah satu anggota Komite Teknik FIFA, Sunday Oliseh. Tidak hanya soal kemegahan delapan stadion yang lengkap dengan pendingin udara, Oliseh memuji berbagai fasilitas pendukung dan kesiapan panitia penyelenggara dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan penurunan kualitas lapangan.

Dengan jarak beberapa meter dari lapangan utama, pihak penyelenggara telah menyediakan rumput cadangan yang bisa digunakan apabila kondisi rumput di lapangan utama sudah mulai menurun. Dengan begitu, kondisi lapangan akan terus berada dalam kondisi prima setiap menggelar pertandingan.

Hal ini tidak pernah terjadi di penyelenggaraan Piala Dunia sebelumnya. ''Bahkan, di sepanjang karier saya sebagai pesepakbola. Saya tidak pernah melihat hal seperti ini. Qatar sepertinya melewati semua tolak ukur dalam menilai kesuksesan sebagai tuan rumah Piala Dunia,'' kata mantan penggawa Timnas Nigeria tersebut seperti dilansir This Day Live.

Rentetan cerita kesuksesan ini seolah menafikkan berbagai kritik terkait penunjukan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Pun dengan berbagai rencana protes dan polemik soal Qatar sebagai negara yang tidak menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok LGBTQ. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement