Ahad 14 Aug 2022 17:39 WIB

Risiko Stagflasi Indonesia: Say Goodbye atau Tetap Waspada?

Pemerintah akan dipusingkan dengan subsidi BBM.

Aktivitas petugas saat habisnya BBM jenis Pertalite dan Pertamax di SPBU 34-16117, Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Aktivitas petugas saat habisnya BBM jenis Pertalite dan Pertamax di SPBU 34-16117, Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022).

Oleh : Elba Damhuri, Kepala Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut ekonomi global pada 2022 ini gelap alias suram. Krisis Rusia versus Ukraina, kenaikan harga komoditas dan minyak, proteksionisme, hingga pasokan global yang terganggu menjadi pangkal pesimisme IMF itu.

Kebijakan bank sentral pun makin ketat, yakni dengan menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Kebijakan ini jelas menimbulkan risiko dunia masuk jurang resesi.

Bahkan, ekonomi Amerika Serikat (AS) boleh dikatakan sudah masuk stagflasi. AS mencatat pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal I dan kuartal II 2022, sementara tingkat inflasi tinggi. Tak heran, jurus penaikan suku bunga the Fed menjadi andalan di mana tahun ini saja sudah empat kali terjadi kenaikan.

Bagaimana dengan ekonomi Indonesia? Menkeu Sri Mulyani sudah mengingatkan adanya risiko stagflasi terhadap ekonomi Indonesia. Faktor-faktor eksternal dan internal memberikan dorongan risiko tersebut.

Untuk melihat apakah Indonesia masuk stagflasi atau berisiko tinggi kena stagflasi bisa dilihat dari sejumlah indikator. Ini di antaranya tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan dampak harga komoditas.

Stagflasi berasal dari kata stagnasi dan inflasi. Kondisi di mana sebuah negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi namun mencatat inflasi tinggi dengan tingkat pengangguran tinggi juga.

Stagflasi ini memang siklus langka dalam sistem ekonomi global. Pada umumnya, ekonom dan analis meyakini bahwa hubungan inflasi dan pengangguran itu berbanding terbalik: jika inflasi tinggi maka pengangguran rendah, sebaliknya jika pengangguran tinggi maka inflasi rendah. Tetapi, stagflasi memang anomali.

Baik, mari kita urai satu per satu.

Pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi. Stagflasi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi melandai, turun, sampai negatif.

Pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,44%. Pada triwulan I-2022 ekonomi tumbuh 5,01 persen, tahun ke tahun.

Pada 2022 ini ekonomi Indonesia masih diperkirakan tumbuh di level 5 persen meski IMF sempat merevisi namun tetap di angka 5 persen.

Artinya, secara pertumbuhan, ekonomi Indonesia masih bisa bernapas lega. Jauh dari stagflasi, apalagi resesi.

Kedua, inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut inflasi Indonesia Juli 2022 sebesar 0,64 persen (bulan ke bulan). Angka ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 0,61 persen.

Secara tahunan, inflasi Juli 2022 tercatat 4,94 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya 4,35%.

Inflasi Juli 2022 sebesar 4,94 persen ini memang jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi tahunan pada 2021 sebesar 1,87 persen. Pada 2021, inflasi tercatat 1,68 persen atau inflasi terendah dalam sejarah Indonesia.

Inflasi menjadi catatan khusus terkait dengan risiko stagflasi ini. Bank Indonesia (BI) menjadi kunci dalam meredam kenaikan inflasi.

Ketiga, tingkat pengangguran. Per Februari 2022 berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran Indonesia tercatat 5,83 persen dari total penduduk usia kerja. Angka ini turun 0,43 persen poin dibandingkan dengan Februari 2021.

Jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang dibanding Februari 2021. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik sebesar 0,98 persen poin.

Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021.

Rata-rata upah buruh dari Februari 2021 ke Februari 2022 naik 1,12 persen dari 2,86 juta rupiah menjadi 2,89 juta rupiah.

Dalam hal pengangguran, sejauh ini masih terkontrol dan tidak ada lonjakan meski dampak pandemi covid-19 masih terasa.

Keempat, lonjakan harga komoditas memberikan windfall profit buat indonesia. Dana rejeki nomplok harga komoditas itu bisa digunakan untuk ketahanan dalam negeri, terutama subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.

Beban Subsidi dan Harga BBM

Isu yang kini mengemuka adalah beban subsidi energi yang lebih dari Rp 500 triliun. Suara-suara lantang untuk menaikkan harga BBM pun terutama solar dan pertalite yang disubsidi makin terdengar.

Menteri Investasi/Kepalan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut subsidi energi bisa membengkak sampai Rp 600 triliun sepanjang 2022. Dengan keterbatasan fiskal pemerintah, Bahlil menyebut ada potensi harga BBM naik.

Pemerintah telah menggelontorkan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun pada 2022 ini, naik dari anggaran semula sebesar Rp 152,1 triliun. Pada sisi lain, harga minyak dunia masih bertahan di atas 100 dolar AS per barel.

Indonesia memang negara produsen minyak dan gas bumi. Namun jumlah kebutuhan minyak dalam negeri lebih tinggi dari kemampuan produksi sehingga harus impor. Tak heran jika sejak beberapa tahun lalu Indonesia masuk sebagai negara net importir minyak.

Jika daya tahan fiskal negara tak mampu menopang pembengkakan subsidi energi, maka kenaikan harga BBM subsidi menjadi tak terhindarkan. Ini jelas berpotensi besar menaikkan inflasi dari sisi harga yang diatur pemerintah.

Ada dua tekanan inflasi di sini. Pertama, kenaikan inflasi dari industri yang secara natural akan menaikkan harga barangnya, mengingat terjadi kenaikan harga minyak dunia. Industri dan manufaktur tidak menikmati minyak bersubsidi.

Kedua, tekanan inflasi dari masyarakat yang selama ini membeli murah pertalite dan solar. Jika kedua jenis BBM "rakyat" ini dinaikkan harganya, maka kenaikan inflasi tak terhindarkan.

Harga BBM subsidi ini memberikan porsi cukup besar terhadap inflasi. Dengan begitu, otoritas harus fokus pada tantangan kenaikan inflasi yang bisa menjadi ancaman ekonomi nasional.

Say Goodbye Stagflasi?

Dengan indikator-indikator di atas, rekam jejak Indonesia masuk ke jurang stagflasi boleh dikatakan masih cukup jauh. Apalagi terjerembab ke jurang resesi ekonomi.

Bloomberg dalam risetnya menyebut 15 negara dengan potensi resesi, termasuk Indonesia. Bloomberg menempatkan Indonesia di posisi ke-14, di atas India, dengan potensi resesi hanya 3 persen. Jauh jika dibandingkan dengan Sri Lanka sampai 85 persen dan negara-negara Asia Timur lainnya yang di atas 20 persen.

Namun, catatan penulis, inflasi menjadi pekerjaan rumah cukup serius bagi BI dan Kemenkeu. Tanpa adanya kenaikan harga BBM saja, inflasi tahun ke tahun per Juli 2022 sudah mendekat angkat 5 persen. Apalagi jika harga BBM sampai naik.

Semoga, kita semua bisa ucapkan say goodbye ke stagflasi, apalagi resesi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement