Rabu 06 Jul 2022 14:23 WIB

Kasus ACT Buat Pemerintah Sisir Izin Lembaga Filantropi Lain

Perlu ada semacam OJK bagi pengawasan lembaga filantropi.

Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar (kanan) didampingi Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Bobby Herwibowo (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/7/2022). Dalam konferensi pers tersebut Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan permintaan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia sekaligus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan dalam majalah Tempo dengan judul Kantong Bocor Dana Umat edisi Sabtu 2 Juli 2022.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar (kanan) didampingi Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Bobby Herwibowo (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/7/2022). Dalam konferensi pers tersebut Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan permintaan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia sekaligus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan dalam majalah Tempo dengan judul Kantong Bocor Dana Umat edisi Sabtu 2 Juli 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Umar Mukhtar, Antara

Pemerintah melalui Kementerian Sosial resmi mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang telah diberikan kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pencabutan izin terkait adanya dugaan pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh pihak Yayasan.

Baca Juga

Usai mencabut izin ACT, pemerintah akan melakukan penyisiran terhadap izin-izin yang telah diberikan kepada berbagai yayasan pengumpulan donasi. Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi mengatakan pemerintah responsif terhadap hal-hal yang sudah meresahkan masyarakat.

"Selanjutnya akan melakukan penyisiran terhadap izin-izin yang telah diberikan kepada yayasan lain dan untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali," kata Muhadjir dikutip dari website Kementerian Sosial, Rabu (6/7/2022).

Kemarin Kementerian Sosial juga telah mengundang pengurus Yayasan ACT yang dihadiri oleh Presiden ACT Ibnu Khajar dan pengurus yayasan untuk memberikan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan pemberitaan yang berkembang di masyarakat. Setelahnya, Kementerian Sosial mencabut izin ACT.

Pencabutan itu dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi (5/7/2022).

"Jadi alasan kita mencabut dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut," kata Muhadjir yang menggantikan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang sedang menunaikan ibadah haji.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.

Dari hasil klarifikasi, Presiden ACT lbnu Khajar mengatakan ACT menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan. Angka 13,7 persen tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal 10 persen. Sementara  itu, PUB Bencana seluruhnya disalurkan kepada masyarakat tanpa ada biaya operasional dari dana yang terkumpul.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mendukung penuh langkah Kementerian Sosial yang mencabut izin PUB ACT. "DPR mendukung sepenuhnya keputusan Kemensos tersebut (mencabut izin PUB ACT) agar tidak terjadi kejadian seperti itu lagi," kata Dasco.

Ia menilai Kemensos telah memiliki alasan yang kuat untuk mencabut izin PUB ACT karena tidak tepat sasaran dan merugikan masyarakat. Menurut dia, pimpinan DPR akan meminta alat kelengkapan dewan (AKD) terkait untuk mengawasi jalannya penyelesaian kasus ACT tersebut.

"Takutnya ada beberapa poin seperti izinnya sama namun terjadi penyalahgunaan, itu patut disesalkan," ujarnya.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan pemerintah perlu membuat lembaga semacam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lembaga keuangan syariah. "Ini untuk memastikan keterlaksanaan good corporate governance. Tidak adanya lembaga otoritas yang mengawasi lembaga filantropi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan oleh pengurus," tutur dia, Selasa (5/7/2022).

Selain itu, Mu'ti juga menyampaikan, masyarakat perlu lebih cerdas menilai profesionalisme dan akuntabilitas lembaga filantropi. Mereka berhak untuk mengetahui penggunaan dana yang telah mereka salurkan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan.

"Penyelewengan juga berpotensi terjadi tidak hanya secara governance, tapi juga penggunaan dana untuk kepentingan politik dan distribusi yang tidak sesuai aturan," katanya.

Mu'ti menambahkan, kasus ACT menjadi pelajaran betapa pentingnya pengawasan baik internal yayasan maupun pengawasan oleh publik. Sependek pengetahuan dirinya, setiap lembaga dan badan zakat, infak, sedekah dan lembaga-lembaga filantropi harus diaudit oleh akuntan publik.

"Lembaga-lembaga itu juga harus menyampaikan dananya ke publik. Regulasinya sebenarnya sudah jelas. Problem yang terjadi adalah bagaimana regulasi itu ditegakkan," ungkapnya.

Kasus ACT, Mu'ti mengungkapkan, juga menjadi catatan tentang integritas para pengelola lembaga filantropi. Banyaknya musibah dan tingginya kedermawanan masyarakat menjadi peluang "bisnis" bagi para "pialang" filantropi.

"Di masyarakat terdapat gejala berkembangnya 'dhuafa entrepreneurs'. Yaitu mereka yang berbisnis dengan komodifikasi kaum dhuafa," kata dia.

Sementara Direktorat Tindak Pidana Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri juga menyelidiki laporan dugaan penipuan dan keterangan pemalsuan akta autentik dengan terlapor petinggi organisasi sosial ACT. Bareskrim sudah meminta keterangan sejumlah pihak.

Dua petinggi ACT yang dilaporkan adalah Ibnu Khadjar dan Ahyudin, sedangkan pelapor adalah perusahaan PT Hydro. Laporan tersebut terdaftar dengan laporan polisi nomor LP/B/0373/VI/2021/Bareskrim tertanggal 16 Juni 2021.

"Laporan masih penyelidikan," kata Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi, kemarin.

Laporan tersebut telah bergulir selama 1 tahun, penyidik belum menemukan dugaan pelanggaran pidana seperti yang tertuang di dalam laporan, yakni Pasal 378 dan 266 KUHP. Menurut dia, penyelidikan masih berlangsung untuk mencari fakta unsur pidananya. Sejumlah pihak telah dimintai klarifikasi, termasuk kedua petinggi ACT yang menjadi terlapor.

photo
Infografis Tantangan Lembaga Zakat - (Infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement