Selasa 12 Oct 2021 06:23 WIB

Rencana Karantina Lima Hari Terlalu Berisiko untuk Indonesia

Para ahli kesehatan dan epidemiolog menganjurkan masa karantina adalah 7 x 24 jam

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Christiyaningsih
Peserta antre meninggalkan area bandara untuk menuju ke hotel karantina saat kegiatan simulasi penerbangan internasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (9/10/2021). Simulasi tersebut dilakukan untuk memastikan kesiapan petugas dan sarana prasarana serta menguji standar operasional prosedur dalam pelayanan penumpang penerbangan internasional di Bandara Ngurah Rai yang rencananya akan mulai dibuka pada 14 Oktober 2021 mendatang.
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Peserta antre meninggalkan area bandara untuk menuju ke hotel karantina saat kegiatan simulasi penerbangan internasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (9/10/2021). Simulasi tersebut dilakukan untuk memastikan kesiapan petugas dan sarana prasarana serta menguji standar operasional prosedur dalam pelayanan penumpang penerbangan internasional di Bandara Ngurah Rai yang rencananya akan mulai dibuka pada 14 Oktober 2021 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menanggapi rencana pemerintah yang ingin memangkas masa karantina para WNA dan WNI yang datang dari negara lain menjadi lima hari. Menurutnya, hal ini berisiko tinggi untuk penyebaran Covid-19.

"Para ahli kesehatan dan epidemiolog menganjurkan masa karantina adalah 7x24 jam. Itu pun sudah dilengkapi syarat lain seperti wajib vaksin dosis lengkap dan hasil negatif Covid-19 dari negara asal dan pascaketibaan di Indonesia. Jadi, masa karantina lima hari menurut saya masih terlalu berisiko untuk konteks Indonesia," katanya saat dihubungi Republika, Senin (11/10).

Baca Juga

Menurutnya, ada studi di Selandia Baru tentang masa karantina. Dari studi itu ditemukan masa lima hari ke bawah potensi kasus lolos mencapai 25 persen. Ia menambahkan, varian dari mutasi virus SARS-CoV-2 yang terus bermunculan dan relatif memperburuk kondisi pandemi Covid-19 juga harus menjadi pertimbangan pemerintah.

"Dengan potensi itu, maka masa karantina adalah hal urgen untuk melihat dan mengamati masa inkubasi virus untuk hasil tes Covid-19 yang lebih valid," ujar dia.

Ia menjelaskan, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia masih sangat variatif di tiap daerahnya. Hal itu karena faktor geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, juga penanganan pandemi Covid-19 yang pada awalnya masih fokus pada kota-kota besar saja.

"Kalau kebijakan bebas karantina Indonesia jelas belum bisa ya, berbeda dengan negara lain. Mungkin kalau sudah seperti Jakarta semuanya boleh tapi kalau secara umum terlalu berisiko. Dalam strategi pengendalian pandemi itu selalu mengambil skenario terburuknya dulu," kata Dicky.

Destinasi pariwisata di Bali akan kembali menerima kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mulai Kamis (14/10) dalam masa uji coba. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, menuturkan, sejauh ini pemerintah menetapkan waktu karantina bagi wisman selama lima hari. Namun, keputusan tersebut belum final.

Sandiaga menjelaskan dasar pertimbangan karantina selama lima hari itu disetujui dan didukung para ahli epidemiologi dalam dan luar negeri. Data-data yang dikumpulkan juga ditelaah Kementerian Kesehatan. Adapun salah satu data yang menjadi tolok ukur penetapan masa karantina yakni masa data terbaru inkubasi Covid-19 selama 3,7-3,8 hari.

"Namun ini belum keputusan final. Semua keputusan harus berbasis sains dan data karena kita tidak mau mengambil risiko, seperti menurunkan masa karantina demi bersaing dengan destinasi (negara) lain," katanya.

Baca juga : Luhut: Kasus Covid-19 Nasional Turun 98,4 Persen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement