Jumat 07 May 2021 04:08 WIB

Tahajud Laksamana di Kapal Selam dan Ujung Kematian

Hidup di dalam kapal selam wajib punya kesabaran tingkat tinggi melawan penderitaan.

Kapal selam KRI Ardadedali-404 sandar di dermaga Satuan Kapal Selam Markas Komando Armada II, Kota Surabaya (ilustrasi).
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Kapal selam KRI Ardadedali-404 sandar di dermaga Satuan Kapal Selam Markas Komando Armada II, Kota Surabaya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Semakin lama bertugas di laut, semakin terasa, manusia tidak punya kuasa apa pun jika melawan alam. Termasuk menghadapi gelombang dan badai laut, hujan deras yang menghantam, serta petir yang menyambar di tengah samudra. Beberapa kali nyaris kecelakaan dan tenggelam, menjadi cerita biasa bagi awak kapal selam.

Begitu pula yang dirasakan Laksamana Madya TNI (Purn) Imam Zaki. Dia merupakan lulusan terbaik Akabri Bagian Laut atau Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1973. Ia bersama Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, Marsekal Madya TNI (Purn) Toto Riyanto, dan Jenderal Polisi (Purn) Sutanto merupakan peraih Adhi Makayasa 1973.

Mantan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan itu mengaku kerap melakukan Sholat Tahajud di dalam kapal selam. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa membalas tunai doanya ketika kapal selam dalam kondisi kritis. Pada saat akan terjadinya tabrakan dengan kapal barang, kerusakan kapal seperti posisi oleng, radar mati, kompas dan navigasi rusak, hingga terombang ambing di lautan Pasifik.

"Dalam kondisi-kondisi krtitis di dalam kapal selam, biasanya saya segera ambil wudhu dan menggelar sajadah di dekat ruang Pusat Informasi Tempur (PIT). Lakukan sholat, termasuk Sholat Tahajud jika malam hari," kenang Imam Zaki, perwira tinggi bintang tiga Angkatan Laut (AL).

Dia pernah menjadi awak kapal selam KRI Pasopati-410 buatan Uni Soviet maupun KRI Cakra-401 buatan Jerman. Kapal selam Pasopati-410 kini menjadi Monumen Kapal Selam (Monkasel) di Kota Surabaya.

Diakui Amerika

Kehebatan awak kapal selam Indonesia juga diakui AL Amerika Serikat (AS). Bahkan, untuk mengetahui kemampuan kapal selam Uni Soviet, tentara Amerika sampai mengundang awak kapal selam Indonesia ke Negeri Paman Sam itu.

Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono Suroto mengakui saat melanjutkan pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) di AS pada 1972-1973. Pada saat itu para mantan komandan kapal selam jenis Whiskey-Class banyak dicari sekolah komandan kapal destroyer (perusak) Amerika.

"Dihadirkannya para mantan komandan kapal selam Whiskey-Class merupakan strategi Amerika untuk mengetahui teknologi pesaingnya, Uni Soviet," kata lulusan AAL 1962 itu.

Untuk menggetarkan militer Australia, Wahyono mengenang, kapal selam Indonesia juga pernah membuang sampah ke Darwin utara. Kaleng-kaleng bekas makanan dan minuman buatan Indonesia sengaja dibuang ke arah pantai Darwin utara agar tentara Australia gentar. Sekaligus memberi tahu bahwa kapal selam Indonesia juga bisa menembus wilayah Australia.

Baca juga : Kata Ali Saat Umar Bin Khattab Wafat

Wahyono mengakui, hidup di dalam kapal selam wajib memiliki kesabaran tingkat tinggi melawan penderitaan. Seperti jenis Whiskey-Class, untuk bisa tidur, awak kapal harus berhati-hati. Sebab, di atas maupun di bawah tempat tidur terdapat torpedo. Untuk duduk di tempat tidur saja sulit, kepala harus dikeluarkan karena kolongnya yang sempit.

Kapal selam buatan Uni Soviet ini tidak memiliki kamar mandi. Kapal ini belum dilengkapi teknologi tinggi pengolahan air asin menjadi air tawar.

"Ada air tawar, tapi hanya cukup untuk menggosok gigi. Bisa mandi kalau ada hujan saja dan kapal harus naik ke permukaan laut. Jadi, tiga bulan tidak mandi, itu hal yang biasa, termasuk menahan buang air besar. Maka, penyakit batu ginjal biasanya menghinggapi awak kapal selam buatan Uni Soviet ini," kenang Wahyono.

Buang air kecil saat kapal menyelam, hanya bisa dilakukan di dalam botol air mineral. Untuk bisa mandi, menunggu kapal naik ke permukaan.

Di atas geladak kapal selam terdapat anjungan. Tepat di bawahnya terdapat tongkrongan. Di situlah para awak kapal membuang air besar. Kapal selam buatan negeri Tirai Besi itu tergolong panas, suhunya di atas 40 derajat Celsius. Karena itu, awak kapal hanya menggunakan celana pendek dan kaus saat berlayar.

Kapal selam inilah yang melahirkan prajurit-prajurit berani bertempur hingga mati. Karena begitu berlayar, biasanya dilakukan malam hari, awak kapal sudah dianggap sebagai mayat.

Berbeda dengan kapal selam buatan Jerman 2009-Class, seperti Nanggala-402 yang belum lama ini karam. Kapal selam ini lebih nyaman dan suhu udaranya dingin. Maka, awak kapal menggunakan celana jins dan jaket tebal saat berlayar.

Dekat kematian

Laksamana Pertama TNI (Purn) Wartono Soedarman, lulusan AAL 1966, separuh hidupnya berada di kapal selam. Pada 1981, ia mengawaki kapal-kapal selam 209-Class terbaru, yakni KRI Cakra- 401 dan KRI Nanggala-402. Ia mengikuti pendidikan kapal selam bersama tentara-tentara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Jerman.

Awalnya, sebagai perwira pelaksana di KRI Nanggala-402, kemudian naik menjadi komandan KRI Cakra 401 selama lebih dari empat tahun. Naik lagi menjadi komandan Satuan Kapal Selam pada 1990-1992.

"Kalau dihitung-hitung, saya pernah menjadi komandan di lingkungan kapal selam selama 26 tahun," ujar adik kandung dari almarhum Jenderal TNI (Purn) Soesilo Soedarman ini, mantan Menko Polkam periode 1993-1997, mengenang.

Baca juga : Kemenag Terbitkan Panduan Sholat Idul Fitri 1442 H

Ia menceritakan, ukuran tempat tidur di kapal selam sangat sempit. Tinggi 60 sentimeter (cm), lebar 80 cm, dan panjang kurang dari dua meter. Dibuat sempit agar bisa menampung banyak personel.

KRI Cakra dan Nanggala, misalnya, memiliki kamar tidur untuk komandan, wakil komandan, kepala kamar mesin, perwira, serta bintara dan tamtama. Selain itu, terdapat sembilan tempat tidur untuk pasukan katak. Ruang makan hanya ada dua, untuk perwira dan bintara atau tamtama.

Meja makan perwira bentuknya melingkar dan bisa menampung 12 orang. Sedangkan, untuk bintara atau tamtama menjadi satu dengan peluncur torpedo. Daya tampungnya untuk 16 orang sehingga harus bergantian.

Ruang komandan dengan ruang dapur tidak ada sekatnya. Di belakang ruang komandan terdapat ruang kontrol kendali dan ruang komunikasi.

Hubungan para awak sangat dekat, seperti kedekatan mereka dengan kematian.

Pengakuan itu, antara lain diungkap dalam buku Kapal Selam Indonesia, karya Indroyono Soesilo dan Budiman, terbitan tahun 2008.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement