Jumat 30 Apr 2021 00:57 WIB

Baru Bebas dari Penjara, Sri Wahyumi Kembali Ditahan KPK

Mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip kembali jadi tersangka korupsi.

Terdakwa mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip (kanan) berjalan keluar usai menjalani sidang putusan kasus suap paket revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun Anggaran 2019 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2019).
Foto: Aprillio Akbar/Antara
Terdakwa mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip (kanan) berjalan keluar usai menjalani sidang putusan kasus suap paket revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun Anggaran 2019 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menahan mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip (SWM). Penahanan setelah Sri Wahyumi ditetapkan tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Tahun 2014-2017.

"Untuk kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan tersangka SWM selama 20 hari terhitung sejak 29 April 2021 sampai dengan 18 Mei 2021 di Rutan Cabang KPK pada Gedung Merah Putih," ucap Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/4).

Baca Juga

Diketahui, Sri Wahyumi baru bebas dari Lapas Anak Wanita Tangerang setelah menjalani masa hukuman 2 tahun penjara terkait perkara yang menjerat-nya sebelumnya, yakni suap lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2019. KPK pun kemudian langsung menangkap dan menahan Sri Wahyumi kembali.

"Perkara ini adalah kali kedua SWM ditetapkan sebagai tersangka. Meski secara waktu, perkara kedua ini lebih dulu dilakukan oleh SWM. Pengembangan perkara ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh perkara yang berasal dari kegiatan tangkap tangan," kata Karyoto.

KPK menduga Sri Wahyumi menerima gratifikasi senilai Rp 9,5 miliar. Selama proses penyidikan kasus dugaan gratifikasi Sri Wahyumi tersebut telah diperiksa 100 saksi dan juga telah disita berbagai dokumen dan barang elektronik yang terkait kasus.

Dalam konstruksi perkara dijelaskan, bahwa sejak Sri Wahyumi dilantik sebagai Bupati Kepulauan Talaud periode 2014-2019, yang bersangkutan berulang kali melakukan pertemuan di rumah dinas jabatan dan rumah kediaman pribadi dengan para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan jasa Kabupaten Kepulauan Talaud.

Baca juga : PDIP DKI Kritik Anies Ingin Ubah Nama Kota Tua Jadi Batavia

"Yaitu, John Rianto Majampoh selaku Ketua Pokja Tahun 2014 dan 2015, Azarya Ratu Maatui selaku Ketua Pokja Tahun 2016, dan Frans Weil Lua selaku Ketua Pokja tahun 2017," ujar Karyoto.

Sri Wahyumi, lanjut dia, juga selalu aktif menanyakan daftar paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Pemkab Kepulauan Talaud yang belum dilakukan lelang. Ia lalu memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Kepulauan Talaud untuk memenangkan rekanan tertentu sebagai pelaksana paket pekerjaan tertentu dalam proses lelang.

"Selain itu, SWM diduga juga memberikan catatan dalam lembaran kertas kecil berupa tulisan tangan berisi informasi nama paket pekerjaan dan rekanan yang ditunjuk langsung," ungkap Karyoto.

Sri Wahyumi memerintahkan kepada para Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Kepulauan Talaud meminta commitment fee sebesar 10 persen dari nilai pagu anggaran masing-masing paket pekerjaan sekaligus melakukan pencatatan atas pemberian commitment fee para rekanan tersebut.

Diketahui, Sri Wahyumi sebelumnya telah diproses dalam perkara suap lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2019 dan saat ini perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Pada 9 Desember 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis terhadap Sri Wahyumi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima berbagai hadiah, termasuk tas mewah dan perhiasan senilai total Rp 491 juta dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan JPU KPK yang meminta agar Sri Wahyumi divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, di tingkat Peninjauan Kembali (PK), hukuman Sri Wahyumi dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara. Kemudian, ia dieksekusi ke Lapas Anak Wanita Tangerang untuk menjalani pidana penjara selama 2 tahun.

Saat jumpa pers pada Kamis kemarin, tersangka Sri Wahyumi tidak ditampilkan. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang turut hadir menyampaikan bahwa keadaan emosi Sri Wahyumi sedang tidak stabil saat akan ditahan.

Baca juga : KPK Cegah Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ke Luar Negeri

"Sore ini, kami tidak bisa menampilkan tersangka karena kami sudah berupaya tadi menyampaikan kepada yang bersangkutan tetapi kemudian setelah akan dilakukan penahanan ini, keadaan emosi yang bersangkutan tidak stabil sehingga mohon maaf kami tidak bisa menampilkan yang bersangkutan pada sore hari ini," ucap Ali.

Kendati demikian, ia memastikan syarat-syarat penahanan terhadap Sri Wahyumi sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. "Namun demikian, kami memastikan syarat-syarat penahanan sebagaimana aturan hukum yang berlaku telah terpenuhi sesuai aturan hukum yang berlaku," ucap Ali.

photo
Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement