Rabu 27 Jan 2021 18:39 WIB

RUU Pemilu: Eks HTI Dilarang Ikut Pemilu, FPI Masih Boleh

Draf RUU Pemilu saat ini tengah dibahas DPR.

Massa eks HTI saat menunggu hasil sidang pembacaan putusan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Dalam draf RUU Pemilu yang tengah dibahas DPR, eks HTI dilarang berpartisipasi dalam pemilu. (ilustrasi)
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Massa eks HTI saat menunggu hasil sidang pembacaan putusan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Dalam draf RUU Pemilu yang tengah dibahas DPR, eks HTI dilarang berpartisipasi dalam pemilu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika, Mimi Kartika

Eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam draf RUU Pemilu yang tengah dibahas DPR dilarang berpartisipasi dalam kontestasi Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pilkada. Namun, pengecualian terjadi untuk mantan anggota Front Pembela Islam (FPI).

Baca Juga

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan, HTI tidak sesuai konsesus bangsa, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, mantan atau anggotanya dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legialatif, kepala daerah, dan presiden yang tertera dalam draf RUU Pemilu.

"Pengurus dan anggotanya bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia. HTI juga sudah dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang,” ujar Zulfikar saat dikonfirmasi, Rabu (27/1).

Zulfikar menjelaskan, untuk menjadi pejabat publik seperti legislator atau kepala daerah harus memenuhi syarat yang ada. Salah satunya adalah berkomitmen pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sedangkan HTI, diketahui sebagai organisasi yang dinilai ingin mengganti ideologi Indonesia. Hal tersebut juga berlaku dengan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila.

"Dengan pandangan dan sikap seperti itu, lalu mereka (mantan anggota HTI) tetap diperbolehkan menjadi pejabat publik? Tentu tidak kan,” ujar Zulfikar.

Sedangkan, Zulfikar melanjutkan, bagi mantan anggota Front Pembela Islam (FPI), tetap diperbolehkan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legialatif, kepala daerah, dan presiden. Pasalnya, FPI tak dilarang oleh pemerintah, melainkan dibekukan lewat surat keputusan bersama (SKB).

"Kalau FPI kan bukan dilarang dan terlarang. Tapi diminta dan diperintahkan oleh SKB dibekukan, dibubarkan organisasi," ujar Zulfikar.

Dalam draf RUU Pemilu, aturan mengenai larangan mantan anggota HTI ikut Pilpres, Pileg, dan Pilkada tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan. Pasal 182 ayat 2 (ii) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.

Lalu dalam Pasal 182 ayat 2 (jj) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

photo
Sejumlah massa yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia melakukan aksi demonstrasi solidaritas untuk Palestina di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (20/7).( Republika/Yasin Habibi) - ()
 

Anggota Badan Legislasi DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf menolak jika hak mantan anggota ormas HTI mengikuti Pemilu harus dicabut. Bukhori menyatakan, memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan hak dasar warga negara Indonesia.

"Dia terlepas HTI atau bukan HTI hak sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih itu absolut tidak bisa diambil paksa oleh siapa pun," kata Bukhori pada Republika, Rabu (27/1).

Bukhori menyampaikan, pembubaran ormas HTI oleh pemerintah sebenarnya tidak dilakukan lewat mekanisme pengadilan. Sehingga pembubaran HTI dianggapnya kejadian politik murni dalam rezim saat ini bukan konsensus negara. Dengan demikian, menurut Bukhori HTI tak bisa disebut ormas terlarang setingkat Partai Komunis Indonesia (PKI).

"HTI beda dengan komunis (PKI) yang dibubarkan lewat tap MPR/MPRS. Dan itu masih berlaku sampai sekarang, tidak bisa diubah karena MPR sekarang beda dengan dulu," ujar Bukhori.

Bukhori mengingatkan pemerintah supaya berlaku adil dengan pemenuhan hak tiap warganya. Ia menyarankan, jika HTI dilarang maka wajib menempuh prosedur pengadilan. Kemudian, pemerintah menentukan siapa saja eks HTI yang tak boleh berpolitik lagi.

"Makanya kalau mau larang harus lewat mekanisme pengadilan dan ditentukan person to personnya yang memang dicabut hak dipilih/memilihnya," ucap Bukhori.

photo
Geger Pembakaran Bendera HTI - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement