Sabtu 23 Jan 2021 14:30 WIB

Haramnya Nikah Mut'ah

Mut'ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat seksual semata

Kawin kontrak (ilustrasi)
Foto: zonaberita.com
Kawin kontrak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Saat melakukan perjalanan jurnalistik ke Teheran, Iran, pada 2012 lalu, saya ditemani seorang perempuan translator. Namanya Meena. Kulitnya putih kemerah-merahan. Dia kerap mengenakan jilbab setengah kepala dengan rambut sedikit terlihat.

Pada saat jeda, saya menanyakan sesuatu yang kerap mengganjal di dalam hati sebagai seorang Muslim Sunni. Pertanyaan itu begitu saja keluar dari mulut saya. "Mengapa perempuan di Iran mau nikah mut'ah?" Dia menjawab singkat dan tegas. "Mut'ah bagi kami adalah bagian dari akidah." Demi menjaga perasaan teman itu, saya pun mengalihkan topik pembicaraan. Meski, tanda tanya besar masih menggantung di kepala.

Nikah mut'ah merupakan masalah kontroversial yang masih dianut oleh kaum syiah. Masalah ini menjadi titik rawan antara dua kelompok besar, yakni sunni dan syiah. Di satu sisi, kaum syiah menghalalkan dengan mutlak. Di lain sisi kaum Sunni mengharamkannya juga dengan mutlak.

 

Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, mut'ah  disebut juga nikah sementara waktu atau nikah terputus. Secara bahasa, kata ini berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan. Pelakunya mendapat kemanfaatan dengannya serta menikmati sampai batas waktu yang ditentukan.

Ayat Alquran yang kerap dijadikan dalil oleh komunitas syiah, nikah mut'ah halal adalah "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban." (QS An Nisa:24). Dalam bacaan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ka'b bin Ubay dan Said bin Jubair, kalimat tersebut mendapatkan penambahan makna. "...Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (dengan tambahan kalimat: sampai batas waktu tertentu)."

Mazhab Ja'fari, salah satu mazhab yang dianut kaum syiah mengurai bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut'ah. Syarat-syarat tersebut, yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafal nikah, kawin, atau mut'ah dengan seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama. Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya.

Perempuan yang dinikahi mut'ah tersebut juga harus dalam keadaan bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan, persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya, saat dia dalam keadaan iddah atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.

Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa memerlukan talak. Hanya, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami memperbaharui akad dan mahar. Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah. Meski, ada ulama syiah yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam nikah mut'ah.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As Sunnah menjelaskan, pernikahan mutah tidak berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan yang disebut dalam Alquran. Contohnya talak, iddah, dan pewarisan (antara suami-istri). Karena itu, pernikahan tersebut tidak sah seperti pernikahan-pernikahan lain yang tidak sah menurut agama Islam.

Banyak hadis yang mengharamkannya. Contohnya, apa yang diriwayatkan dari Saburah Al-Juhani, dia pernah bersama Rasulullah SAW dalam peristiwa pembebasan Makkah. Ketika itu, dia memang pernah mengizinkan anggota pasukan Muslim untuk melakukan mut'ah. Namun, ketika bersiap-siap meninggalkan kota itu, dia mengharamkannya.

Dalam riwayat Ibn Majah disebutkan, Rasulullah SAW telah mengharamkan mut'ah. "Wahai kalian semua, sebelum ini aku telah mengizinkan kalian melakukan perkawinan mut'ah. Kini ketahuilah, Allah SWT telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat." Rasulullah pun bersabda seperti diriwayatkan Ali bin Abi Thalib. Nabi mengeluarkan larangan nikah mut'ah pada peristiwa Khaibar.

Sayyid Sabiq pun menjelaskan, mut'ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat seksual semata. Tidak ada tujuan memperoleh anak serta mendidik mereka. Padahal, itulah sejatinya tujuan asli perkawinan. Karena itu, menurut Sayyid Sabiq, mut'ah lebih menyerupai perzinaan. Mut'ah pun merugikan pihak perempuan karena dia menjadi seperti barang dagangan yang berpindah-pindah dari tangan satu ke tangan lain.

Hanya, Sayyid Sabiq sempat menjelaskan memang ada beberapa sahabat Nabi serta dari kalangan tabiin yang menyatakan nikah mut'ah halal. Di antaranya, yakni pendapat Abdullah bin Abbas ra. Hanya, sahabat Rasulullah tersebut mengungkapkan, kehalalan mut'ah hanya untuk keadaan darurat. Tidak untuk semua keadaan secara mutlak.

Abdullah bin Abbas pun, ketika mendengar banyak orang melakukan mut'ah berdasarkan fatwanya, dia sangat terkejut. Dia lantas berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Bukan seperti itu yang kumaksud dalam fatwaku. Sungguh aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana Allah SWT menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi yang tidak dihalalkan kecuali bagi orang dalam keadaan darurat."

Tidak hanya itu, mengenai bacaan QS an-Nisa: 24 yang memberi penambahan makna sampai batas tertentu, bukanlah termasuk bagian dari Alquran. Imam Asy Syaukani berpendapat, redaksi tersebut bukan termasuk dalam Alquran karena sesuai dengan pandangan ulama yang menyaratkan keharusan sifat mutawatir dalam periwayatannya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram.  Fatwa nikah kontrak yang ditandatangani Ketua Umum MUI KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ibrahim Hosen itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut'ah.

''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,''  begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka, sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.'' Berdasarkan ayat itu, MUI menyatakan, hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah.

Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan, nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama  Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fukaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah).

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU bersandar pada al-Umm lil Imam asy-Syafi'i juz V, hlm 71, Fatawi Syar'iyyah lisy Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II, hlm 7, serta Rahmatul Ummah, hlm 21. ''Demikian halnya, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer) maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami-istri.''

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement