Kamis 21 Jan 2021 18:37 WIB

Pers dan Jurnalis dalam Krisis Kala Pandemi

Penelitian LBH Pers, IJRS, dan ICJR menyimpulkan dunia pers ikut terdampak pandemi.

Jurnalis melakukan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (18/11). Dunia pers ikut terdampak pandemi Covid-19 berdasarkan penelitian bersama LBH Pers, IJRS, dan ICJR. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jurnalis melakukan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (18/11). Dunia pers ikut terdampak pandemi Covid-19 berdasarkan penelitian bersama LBH Pers, IJRS, dan ICJR. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) baru-baru ini menggelar penelitian terkait kebebasan dan keselamatan jurnalis di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 125 responden, 24 persen di antaranya mengaku pernah menerima berbagai serangan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Baca Juga

"Saya pikir 24 persen ini merupakan angka yang tidak sedikit, jadi kalau kita eksplor lebih dalam justru malah lebih parah kondisinya terkait dengan serangan," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam diskusi daring, Kamis (21/1).

Berdasarkan data monitoring LBH Pers pada 2020, Ade mengatakan, terjadi peningkatan lebih dari 30 persen angka kekerasan terhadap jurnalis. Salah satu faktor yang membuat angka kekerasan mengalami peningkatan yaitu ketika para jurnalis melakukan peliputan pada saat demonstrasi.

"Seperti prediksi kami di tahun 2019, wilayah yang cukup rentan bagi jurnalis adalah saat melakukan peliputan demonstrasi," ujarnya.

Adapun, berbagai bentuk kekerasan yang dialami jurnalis, Ade mengatakan, pada 2020 jumlah penangkapan terhadap jurnalis mengalami lonjakan yaitu dengan 19 kasus. Selain itu intimidasi juga mendominasi laporan yang diterima LBH Pers yaitu sebanyak 51 kasus.

"Beberapa kasus kriminalisasi yang muncul karena dilaporkan mengunakan pasal di undang-undang ITE, menggunakan pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 terkait dengan ujaran kebencian," jelas Ade.

Selain serangan fisik, sebanyak 16 persen mengalami serangan non fisik dan digital. Ade menjelaskan ancaman digital yang terjadi yaitu doxing, peretasan, intimidasi, spam messages.

"Dari serangan siber yang kami catat itu mayoritas karena memang aktifitasnya melakukan peliputan terkait dengan pandemi," ucapnya.

Ade menjelaskan, pelaku kekerasan paling banyak yaitu dilakukan oleh kepolisian. Hal itu lantaran pelanggaran kebebasan pers kerap terjadi ketika wartawan melakukan peliputan di aksi-aksi demonstrasi.

"Bahkan bukan hanya intimidasi tapi juga ada penangkapan terhadap wartawan yang ini tidak kita temukan di tahun sebelumnya," tuturnya.

Peneliti Hukum ICJR, Mulki Shader merujuk pada penelitian yang sama mengatakan, sebanyak 28,8 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penghalangan kegiatan jurnalistik.

"28,8 persen responden, 36 dari 125 responden menyatakan mereka pernah mengalami penghalangan kegiatan jurnalistik," kata Mulki.

Lebih lanjut Mulki menjelaskan, bentuk pelarangan yang disebut antara lain pelarangan peliputan atau pengambilan hasil liputan. Pelaku penghalangan peliputan tersebut paling banyak yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan 27,8 persen, 25 persen oleh kepolisian, dan 13,9 persen yaitu masyarakat sipil.

Selain itu 38,4 persen jurnalis juga mengalami penolakan akses informasi dan dokumen. "85,4 persen dari penolakan akses informasi adalah terkait dengan penerbitaan mengenai Covid," ujarnya.

Hampir sama seperti data sebelumnya, pelaku pelarangan akses informasi dilakukan oleh aparatur negara. Yaitu, pemerintah daerah (43,8 persen), pemerintah daerah (35,4 persen), dan kepolisian (12,5 persen).

Untuk diketahui, penelitian bersama ini dengan metode survei dan wawancara. Metode yang digunakan yaitu metode nonprababilistik dengan accidental sampling dan dilakukan secara daring.

Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian tersebut sebanyak 125 responden yang terdiri dar jurnalis media cetak, siber, televisi, dan radio. Survei dilakukan 13 Maret hingga 31 Oktober 2020.

Anggota Komisi III Arsul Sani menyoroti terkait adanya kriminalisasi terhadap jurnalis. Dirinya sepakat pasal 27 dan 28 UU ITE perlu direvisi.

"Saya termasuk anggota DPR yang setuju bahwa pasal 27 dan pasal 28 yang menghantui teman-teman jurnalis ini memang perlu direvisi, tentu sudut pandang saya bukan dihilangkan, tetapi direvisi untuk memberikan menciptakan pagar-pagar agar tafsirnya itu tidak kita seperti memberikan cek kosong kepada penegak hukum untuk kemudian diisi sendiri, ditafsiri sendiri oleh penegak hukum," ungkapnya.

Selain itu dirinya juga menyoroti Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang telah berusia lama. Oleh karena ia menyarankan agar insan pers melakukan kajian ulang terkait perlu tidaknya UU Pers direvisi.

"Tidak ada salahnya kalau kemudian kita diskusikan secara terbuka," katanya.

Prinsipnya, wakil ketua MPR tersebut sepakat agar jurnalis diberikan perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya.

 

photo
Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement