Rabu 02 Dec 2020 02:45 WIB

Rutin Naik Turun Tangga Bisa Dukung Kesehatan Mental

Selain naik-turun tangga, opsi lain, yakni berjalan kaki ke toko terdekat.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Tangga cantik dan aman. Menurut penelitian, naik-turun tangga bisa meningkatkan kondisi mental selama pandemi, terutama bagi orang yang rentan terhadap gangguan kejiwaan.
Foto: st.houzz.com
Tangga cantik dan aman. Menurut penelitian, naik-turun tangga bisa meningkatkan kondisi mental selama pandemi, terutama bagi orang yang rentan terhadap gangguan kejiwaan.

REPUBLIKA.CO.ID, MANNHEIM -- Aktivitas sederhana sehari-hari sudah cukup untuk mendukung kesehatan fisik dan mental. Studi terbaru yang digagas para ilmuwan Jerman membuktikan hal tersebut, khususnya kegiatan naik dan turun tangga secara rutin.

Menurut penelitian, kegiatan demikian bisa meningkatkan kondisi mental selama pandemi, terutama bagi orang yang rentan terhadap gangguan kejiwaan. Selain naik-turun tangga, opsi lain, yakni berjalan kaki ke toko terdekat.

Baca Juga

Tim terdiri dari periset Institut Teknologi Karlsruhe (KIT) di Kota Karlsruhe serta Institut Sentral Kesehatan Mental (CIMH) di Kota Mannheim. Studi tersebut mempelajari bagian otak yang memainkan peran sentral bagi kesehatan mental.

"Saat ini, ada pembatasan dalam kehidupan publik dan kontak sosial. Untuk merasa lebih baik, naik-turun tangga setiap hari dapat membantu lebih terjaga dan penuh energi," kata Profesor Heike Tost, penulis studi dari CIMH.

Untuk mencapai kesimpulan tersebut, Tost dan tim melibatkan 67 orang yang aktivitasnya ditinjau secara cermat selama tujuh hari. Analisis yang ada kemudian ditambah dengan hasil uji tomografi resonansi magnetik pada 83 peserta studi lainnya.

Keseluruhan hasil studi telah terbit di jurnal Science Advances. Salah satu temuan utamanya, bagian dari korteks serebral bernama "subgenual cingulate cortex" memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan mental.

Wilayah otak itu mengatur emosi dan ketahanan terhadap gangguan kejiwaan. Tost serta timnya mengidentifikasi area tersebut sebagai korelasi saraf yang menentukan dan menengahi hubungan antara aktivitas fisik dan energi subjektif.

Tost menjelaskan, ada kecenderungan tertentu bagi orang-orang dengan volume materi otak abu-abu yang lebih kecil di wilayah tersebut. Begitu pula mereka yang memiliki risiko gangguan kejiwaan yang lebih tinggi.

"Mereka merasa kurang berenergi ketika tidak aktif secara fisik. Namun, setelah aktivitas sehari-hari, orang-orang ini merasa lebih penuh energi daripada orang-orang dengan volume otak yang lebih besar," ungkap Tost, dikutip dari laman Times Now News, Selasa (1/12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement