Kapolda Sumbar dan LBH Padang Saling Bantah Pemicu Kematian Afif Maulana

Ada bekas sulut rokok, ada yang bekas dilecut dengan rotan, dan ada bekas tendangan.

Dok LBH
Direktur LBH Padang Indira Suryani.
Rep: Bambang Noroyono Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebab kematian Afif Maulana alias anak AM (13 tahun) di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar), beberapa waktu lalu, masih menjadi perdebatan. Kapolda Sumbar Irjen Suharyono menegaskan, penyelidikan yang dilakukan kepolisian sudah tuntas.

Dia meyakini, bocah kelas 1 SMP Muhammadiyah 5 Kota Padang tersebut diduga meninggal dunia karena melompat dari Jembatan Kuranji. Sedangkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menguatkan dugaan putra sulung pasangan suami istri Afrinaldi (34) dan Anggun Anggraini (32) itu tewas lantaran disika lebih dulu oleh kepolisian.

Suharyono melalui pesan singkat kepada para wartawan di Jakarta, Rabu (3/7/2024), siap mempertanggungjawabkan kesimpulan yang dibuat penyidik terkait tewasnya anak AM. Hal itu juga dibenarkan oleh saksi lain yang sempat diajak korban untuk loncat ke bawah jembatan.

"Kami (Polda Sumbar) bertanggungjawab bahwa kami yakini, berdasarkan kesaksian dan barang bukti yang kuat, Afif Maulana (AM), melompat ke sungai untuk mengamankan diri, sebagaimana ajakannya ke Adhitya (A). Bukan dianiaya polisi. Itu keyakinan kami," kata Suharyono saat dikonfirmasi pada Rabu malam WIB.

Peraih Adhi Makayasa Akpol 1992 itu pun meyakini konklusi penyidiknya tentang anak AM yang akan ikut aksi tawuran, sebelum ditemukan mengambang tak bernyawa di aliran sungai dangkal di bawah jembatan, benar adanya. "Percakapan AM dengan saksi kunci jelas, bahwa AM mengajak meloncat (dari jembatan) untuk melarikan diri," kata Suharyono.

Menurut dia, kepolisian masih menyimpan bukti anak AM mengajak tawuran. Bahkan, Suharyono juga menyampaikan adanya temuan tim penyidiknya tentang anak AM membawa senjata tajam (sajam).

"Buktinya dia yang mengajak tawuran dengan videonya yang diunggah di HP (handphone)-nya, membawa pedang panjang di tangannya," kata Suharyono. Dia juga mempertanyakan, anak AM yang tergolong bocah dibolehkan keluyuran di jalanan sampai Subuh hari.

"Kalau anak keluar rumah jam dua, jam tiga dini hari mau tawuran, ya pastinya anak yang kurang baik," ujar Suharyono menyentil kedua orang tua korban.

Penyampaian Suharyono tersebut sebetulnya merespons dan sekaligus sebagai sanggahan atas penyampaian yang selama ini disuarakan oleh LBH Padang, selaku tim advokasi keluarga terkait tewasnya anak AM. Direktur LBH Padang Indira Suryani di berbagai kesempatan menyampaikan keyakinannya tentang kematian AM lantaran disiksa kepolisian.

"Ada beberapa fakta yang kami dapatkan, pada saat kami menangani kasus kematian anak AM ini. Kami memulai dengan pertanyaan awal kenapa kami sangat meyakini ada penyiksaan yang dialami anak AM," kata Indira saat konfrensi pers bersama Yayasan LBH Indonesia di Jakarta, Selasa (2/7/2024).

Dugaan penyiksaan yang dilakukan kepolisian itu, kata dia, bukan cuma dialami anak AM. Tetapi juga dialami kawan-kawan anak AM yang turut ditangkap dalam aksi pencegahan dugaan tawuran pada Ahad (9/6/2024) Subuh WIB. "Kami melihat bahwa yang meyakinkan salah-satunya terjadinya penyiksaan itu memang dari foto-foto yang diterima keluarga tentang kondisi jasad korban," ujar Indira.

Dari foto-foto tersebut, kata dia, terlihat adanya trauma pada mayat anak AM. Karena itu, Indira memiliki kesimpulan jika anak AM sempat disiksa oleh polisi. Apalagi, ditemukan trauma luka-luka di sebelah kiri badan korban.

"Mulai dari pinggangnya, belakangnya, dan kemudian bagian depannya, dan ini kemudian teridentifikasi dari foto yang kami temukan, dan itu juga ditemukan oleh keluarga. Setelah kami temukan trauma-trauma kekerasan itu, yang membuat kami yakin bahwa anak AM dan juga kawan-kawannya disiksa," ujar Indira.

 

Kejanggalan posisi mayat AM...

 

Selain itu, LBH Padang juga menemukan kejanggalan dalam posisi mayat anak AM saat ditemukan warga di aliran sungai Jembatan Kuranji. "Pada saat ditemukan, mayat anak AM dengan kondisi telentang dengan wajah muka menghadap ke atas. Dengan posisi bagian tangan terangkat-terbuka dengan tapak tangan mengepal," kata Indira.

Dari pengecekan langsung LBH Padang saat jenazah ditemukan, air sungai hanya sedalam 50-an sentimeter atau di bawah betis orang dewasa. Dari kejanggalan itulah, LBH Padang tidak lekas percaya begitu saja penyampaikan aparat.

"Dan ketika kami melihat ketinggian jembatan ke bawah, sekitar 20 meter, dan kami memperkirakan kalau dikatakan dia (anak AM) melompat, atau terpeleset, atau dia jatuh dari atas jembatan, maka kondisinya akan lebih remuk," kata Indira.

Fakta lain, Indira melanjutkan, adalah tentang kondisi tubuh saksi-saksi korban yang ditangkap bersama anak AM. Peristiwa Jembatan Kuranji berawal dari penangkapan sekitar 18 anak-anak yang dilakukan personel Sabhara Polda Sumbar, Ahad sekitar pukul 03.30 WIB. Para remaja itu disebut akan melakukan aksi tawuran menggunakan senjata tajam.

LBH Padang pun mewawancarai tujuh anak dan remaja yang ditangkap. Saat ia mewawancarai mereka, tampak fisik tubuh anak-anak dan remaja tersebut sudah 'dilumuri' luka-luka.

"Tujuh orang tersebut, lima anak-anak. Dan dua kategori dewasa. Kami menemukan tanda-tanda kekerasan di dalam tubuh mereka. Ada yang bekas sulut rokok, ada yang bekas dilecut dengan rotan, dan ada bekas tendangan. Dan kami mengklarifikasi semua cerita yang mereka alami," kata Indira.

Menurut dia, luka-luka yang dialami tujuh anak-anak dan remaja itu membuka kesimpulan tentang luka-luka pada jasad AM juga akibat tindakan kekerasan dan penyiksaan yang sama. Indira menyebut, LBH Padang selama menjadi pendampingan hukum masyaraka, kerap menemui korban kekerasan yang selama ini juga dilakukan kepolisian.

Adapun tindakan kekerasan kepolisian dalam memproses orang-orang berperkara pidana sudah menjadi pembiaran selama ini. Kali ini, LBH Padang akan mengusut tuntas kasus itu.

Selanjutnya, Indira mengungkapkan, temuan lainnya terkait usaha menetralisisasi keadaan yang dilakukan kepolisian dalam menggeser dugaan perilaku kekerasan menjadi suatu peristiwa yang lumrah. Seperti, dia mencontohkan, dari cerita keluarga yang mengaku diminta kepolisian mengikhlaskan kematian anak AM.

Pembujukan agar ikhlas tersebut mulai dari desakan agar pihak keluarga menandatangani perjanjian tak melakukan penuntutan terhadap kepolisian. Sampai pada larangan autopsi sebagai desakan agar jasad anak AM langsung dimakamkan.

Indira menceritakan, ketika pihak keluarga anak AM datang ke Polsek Kuranji untuk melihat sekaligus langsung membawa jenazah anak AM, petugas malah menyodorkan dokumen. Dia pun heran dengan tindakan tiu.

"Keluarga diminta kemudian menandatangani surat tidak menuntut apa-apa. Dan itu sudah menjadi modus kepolisian untuk mengaburkan peristiwa kekerasan dan penyiksaan yang kami yakini menjadi sebab anak AM meninggal dunia," kata Indira. Dia tidak mengatakan apakah keluarga setuju dengan surat 'tak menuntut' itu.

Dilarang mendampingi autopsi...

Baca Juga

Tetapi dalam surat tersebut, Indira melanjutkan,ada klausul yang menyatakan agar keluarga setuju mengakui tewasnya anak AM lantaran terlibat kenakalan remaja. "Kami temukan juga pihak keluarga yang diminta menyatakan, anaknya itu adalah pelaku tawuran. 'Ini meninggal karena tawuran'. Sejak awal sudah diframing untuk seperti itu. Dan diminta untuk jangan (kematian anak AM) diangkat, karena disebutkan oleh kepolisian kepada keluarga, bahwa ini aib," ujar Indira.

Masih di Polsek Kuranji, kata Indira, pihak keluarga anak AM saat pengambilan jenazah diminta agar tak melakukan autopsi. "Karena alasan aib bagi keluarga yang disampaikan tadi, karena anaknya (AM) pelaku tawuran," ujar Indira. Namun pihak keluarga yang didampingi oleh LBH Padang setuju 'ingkar' dengan memaksa melakukan otopsi.

Indira mengungkap, pun saat itu masih ada penghalang-halangan lanjutan oleh kepolisian. Caranya, mereka memberi saran agar autopsi dilakukan di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Padangan. Padahal mulanya, pihak keluarga menghendaki autopsi dilakukan di RS dr M Djamil.

"Ketika sudah sepakat untuk autopsi, diminta untuk melakukannya di RS Bhayangkara, dengan alasan di RS Djamil berbayar. Makanya, keluarga memilih untuk menerima untuk autopsi ke RS kepolisian," ujar Indira.

Saat autopsi dilakukan, pihak keluarga juga dilarang mendampingi. Keluarga, sambung dia, juga dilarang mendokumentasikan jasad anak AM dalam bentuk foto maupun video sebelum dilakukan pemakaman.

"Setelah diautopsi, keluarga dilarang untuk memandikan, dan mengafani jenazah. Jadi keluarga meminta pihak rumah sakit yang memandikan, dan mengafani. Dan pihak keluarga cuma ditinggalkan wajahnya (anak AM) yang boleh dilihat. Dari yang dijelaskan tadi, membuat kami (LBH Padang) sangat yakin, kematian anak AM ini adalah korban penyiksaan," ucap Indira.

 
Berita Terpopuler