Depopulasi di Jepang-Korsel, Potensi Resesi Seks di Indonesia, dan Warning Kiai Ma'ruf

Pemerintah Indonesia mewaspadai ancaman depopulasi pada 2045.

Republika/Thoudy Badai
Pekerja melintas di pelican crossing di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Rabu (26/4/2023).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mewaspadai ancaman depopulasi atau berkurangnya jumlah penduduk pada 2045. Potensi depopulasi tersebut terbaca seiring terus melambatnya pertambahan jumlah penduduk di Tanah Air.

Baca Juga

Sesuai proyeksi penduduk 2020-2050 yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia muda akan terus berkurang, sementara jumlah penduduk usia lanjut bertambah pada 2045 atau saat Indonesia genap berusia 100 tahun.

Di sisi lain, dua negara maju di Asia, Korea Selatan dan Jepang kini dipusingkan dengan ancaman depopulasi yang sudah ada di depan mata. Kondisi ini bahkan mencapai titik kritis hingga kedua negara mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi persoalan tersebut.

Jumlah penduduk Jepang mulai menurun setelah mencapai puncaknya di angka 128 juta pada 2008, menjadi 125 juta pada 2022. Jika tren ini terus berlanjut, populasi Jepang diproyeksikan menurun menjadi 63 juta pada 2100, setengah dari populasinya pada tahun 2022. Di balik tren ini, terdapat penurunan angka kelahiran di Jepang.

Angka kelahiran di Jepang menurun dari 9,5 kelahiran per 1000 wanita pada tahun 2000 menjadi 6,8 per 1000 pada tahun 2020. Penurunan jumlah penduduk dan tingkat kelahiran ditambah dengan harapan hidup yang panjang telah menghasilkan populasi yang menua.

Proporsi penduduk berusia di atas 65 tahun meningkat dari 17,4 persen pada tahun 2000 menjadi 29,0 persen pada tahun 2022 dan diproyeksikan meningkat menjadi 41,2 persen pada tahun 2100.

Sebaliknya, penduduk usia kerja (penduduk berusia antara 15 dan 64 tahun) menurun dari 68,1 persen dari populasi pada tahun 2000 menjadi 59,4 persen pada 2022, dan diproyeksikan menurun menjadi 51,1 persen pada 2100.

Ketua di Institut Riset Ekonomi, Perdagangan dan Industri, dan Penasihat Riset Senior untuk Presiden Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur, Shujiro Urata, menjelaskan ada beberapa alasan untuk penurunan populasi ini. Salah satunya adalah tingginya biaya ekonomi untuk memiliki dan membesarkan anak. Hal ini, kata Shujiro, merupakan masalah yang sangat akut bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, di mana para pencari nafkahnya sering kali merupakan pekerja tidak tetap.

Menurut laporan tentang pendapatan rumah tangga dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, pendapatan rata-rata rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tidak tetap adalah sekitar 60 persen dari pendapatan rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tetap. “Masalah ini mungkin mencerminkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar,” ujar dia, dikutip dari eastasiaforum, Sabtu (22/6/2024).

Alasan lainnya, kata dia, adalah perubahan gaya hidup. Di masa lalu, sebuah keluarga pada umumnya terdiri dari seorang pria dan seorang wanita yang menikah sebelum berusia 30 tahun dan kemudian memiliki anak. Sang istri membesarkan anak-anak ini sementara sang suami mencari nafkah. Pola ini berubah ketika orang-orang mulai mengejar aspirasi mereka sendiri dan masyarakat mulai menerima keragaman. Merefleksikan perubahan ini, jumlah pernikahan per 1.000 orang menurun dari 10 pada tahun 1970 menjadi 6,4 pada 2000 dan menjadi 4,1 pada 2022.

Dia menyatakan, pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk mengatasi depopulasi, tetapi sejauh ini belum efektif. Menyadari keseriusan masalah depopulasi, pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida merumuskan 'Arahan Strategi untuk Masa Depan Anak' pada Juni 2023 dengan tujuan menghentikan penurunan jumlah kelahiran.

Rencana percepatan ini memberikan bantuan keuangan kepada pasangan muda untuk membesarkan anak, karena biaya ekonomi yang tinggi untuk membesarkan anak merupakan salah satu kendala utama bagi calon pengantin.

Sementara itu, Presiden Yoon Suk Yeol pada Rabu (19/6/2024) menyatakan Korea Selatan berada dalam "darurat demografi nasional" akibat menurunnya populasi, seraya berjanji melakukan segala upaya untuk mengatasi tingkat kelahiran yang sangat rendah di negara itu. Pernyataan tersebut disampaikan Yoon dalam pertemuan komite kepresidenan mengenai rendahnya angka kelahiran dan populasi menua di tengah prospek suram dan peringatan bahwa populasi Korea Selatan pada akhirnya bisa punah.

"Hari ini, saya secara resmi mendeklarasikan darurat demografi nasional. Kami akan mengaktifkan sistem respons komprehensif antarpemerintah hingga masalah rendahnya angka kelahiran dapat teratasi," kata Yoon dalam pertemuan yang diadakan di pusat penitipan anak di Pusat Penelitian dan Pengembangan HD Hyundai di Seongnam, selatan Seoul.

Tingkat kesuburan total Korea Selatan atau jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita sepanjang hidupnya, turun ke titik terendah baru yaitu 0,72 pada 2023, jauh di bawah tingkat penggantian sebesar 2,1 yang diperlukan untuk mempertahankan populasi negara tersebut pada angka 51 juta.

Pemerintah telah mencoba berbagai insentif untuk membantu memikat keluarga agar memiliki anak selama satu dekade terakhir. Namun, sejumlah faktor, termasuk harga rumah yang mahal, biaya pendidikan dan jam kerja yang panjang, telah membuat kaum muda enggan untuk memulai keluarga dan memiliki bayi.

Yoon menguraikan tiga bidang utama yang fokus pada keseimbangan pekerjaan dan kehidupan, peningkatan perawatan anak, dan penyediaan perumahan yang lebih baik untuk mengatasi masalah yang kompleks

Langkah tersebut mencakup menaikkan tunjangan cuti orang tua dan perpanjangan cuti ayah, dengan tujuan untuk menaikkan tingkat penggunaan cuti ayah dari saat ini 6,8 persen menjadi 50 persen selama masa jabatan Yoon.

Sementara itu, rumah tangga dengan bayi baru lahir akan diberikan prioritas dalam alokasi perumahan dan pinjaman berbunga rendah untuk pembelian rumah guna mendorong lebih banyak pasangan pengantin baru memiliki bayi. Selain itu, manfaat pajak untuk rumah tangga yang memiliki anak akan diperluas.

Infografis Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 - (BPS)

Potensi resesi seks di Indonesia sudah diperhitungkan. Baca di halaman selanjutnya.

 

Potensi depopulasi telah menjadi kajian serius di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Potensi depopulasi bisa terjadi salah satunya karena adanya resesi seks seperti yang terjadi di Thailand maupun Korsel. BKKBN memprediksi, butuh lama bagi Indonesia untuk mengalami fenomena resesi seks seperti yang di Thailand maupun Korea Selatan. Meski ia tak menampik potensi itu ada.

"Ada, potensi (untuk kita resesi seks) itu ada. Karena usia pernikahan kita semakin lama semakin meningkat," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat ditemui Antara usai Forum Nasional Stunting di Jakarta, Selasa 6 Desember 2022.

Istilah resesi seks secara spesifik mengacu pada turunnya mood pasangan melakukan hubungan seksual, menikah, dan punya anak. Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara, karena kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks.

Hasto menyatakan, proses Indonesia untuk mengalami resesi seks memang masih panjang, karena banyak penduduk masih menjadikan pernikahan untuk memiliki anak sebagai salah satu tujuan hidup. Namun, potensi resesi seks tetap akan ada karena hal tersebut berpengaruh pada pola pikir terkait pernikahan atau memiliki anak, gaya hidup yang berubah ataupun melakukan seks bertujuan sekadar rekreasi saja.

Di Indonesia saat ini, hal yang paling terlihat jelas adalah meningkatnya usia pasangan untuk menikah. Sedangkan pada usia melakukan hubungan seksual pertama kali (sexual intercourse) dari yang semula dilakukan pada usia 16-17 tahun, kini maju menjadi 15 tahun. "Sekarang bergeser ke 15 tahun kalau diukur dari median grafik. Tapi pernikahan mundur karena orang semakin mementingkan studi atau karir. Memang di Indonesia masih mayoritas nikah itu untuk prokreasi atau mendapat keturunan," ucapnya.

Hal lain yang menyebabkan potensi resesi seks mungkin terjadi adalah kebutuhan pernikahan yang berubah. Misalnya seorang istri yang memutuskan menikah hanya untuk mendapatkan pengayoman atau keamanan hidup dari suami maupun suami yang menikah hanya untuk tujuan hiburan atau rekreasi. Nantinya, perilaku non-prokreaksi itu, akan berujung pada kurangnya pertumbuhan penduduk (minus growth) hingga zero growth yang akan mengganggu laju angka kesuburan total (TFR).

"Misalnya di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah itu beberapa kabupaten sudah ada yang zero growth atau minus growth. Sehingga ada daerah-daerah yang orangnya bukan semakin banyak malah semakin habis," katanya.

Guna mencegah hal tersebut, Hasto mengaku BKKBN sedang menjalankan sebuah program fertilitas yang dapat membantu ibu untuk hamil seperti program Keluarga Berencana (KB). "Prinsip untuk mempertahankan jumlah penduduk seimbang itu adalah satu perempuan harus melahirkan satu anak perempuan itu sudah minimal. Baru bisa penduduk bisa bertahan, tapi kalau tambah lama satu perempuan tidak bisa melahirkan satu anak perempuan akan minus growth," ucap Hasto.

Sebelumnya, sejumlah negara diberitakan telah mengalami resesi seks akibat gaya hidup yang berubah. Di Thailand misalnya, berdasarkan laporan The Straits Times pada 2020, TFR Thailand menyusut menjadi 1,24, lebih rendah dari tingkat peremajaan populasi yang sebesar 1,6. Sementara TFR Korea Selatan kini berada pada 0,8, setelah banyak pasangan menyatakan tidak ingin memiliki anak dalam membangun rumah tangga dan biaya hidup yang semakin tinggi.

Wapres Kiai Ma'ruf mengingatkan pada tahun lalu. baca selengkapnya di halaman selanjutnya.

 

Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin pada Mei 2023 mengatakan, proyeksi kependudukan perlu diantisipasi semua pihak. Wapres pun meminta agar masyarakat yang belum menikah agar tidak menunda-nunda pernikahan. "Jumlah penduduk usia muda mengecil, yang tua-tua makin banyak. Ini, saya kira, anjurannya itu supaya ada keseimbangan, jadi jangan menunda nikahnya," kata Kiai Ma'ruf dalam keterangan pers seusai memberikan arahan dalam Musrenbangnas RKP 2024 dan Peluncuran Proyeksi Penduduk 2020-2050, di Jakarta Convention Center, Selasa (16/5/2023).

Kiai Ma'ruf menekankan, perlambatan jumlah penduduk perlu diantisipasi. Jika perlambatan terus terjadi, penduduk Indonesia yang berusia lanjut bisa saja akan menjadi komposisi yang lebih banyak. "Sementara yang muda yang produktif itu rendah," ujarnya.

Karena itu, dia meminta Bappenas menyusun peta jalan baru mengenai keseimbangan penduduk di Indonesia pada 2045. Berdasarkan data dari proyeksi penduduk 2020-2050, proporsi penduduk usia 0-14 tahun turun dari 24,56 persen pada 2020 menjadi 19,61 persen pada 2045. Sementara itu, penduduk usia 65 tahun ke atas naik signifikan dari 6,16 persen menjadi 14,61 persen pada 2045.

Penurunan juga terjadi pada penduduk usia kerja (15-64 tahun), dari 69,28 persen pada 2020 menjadi 65,79 pada momentum 100 tahun Indonesia. Adapun jumlah penduduk diperkirakan mencapai 324 juta orang pada 2045. "Saya pikir mengenai program keluarga berencana itu harus dilakukan perencanaan yang baru dan disesuaikan, sebab kalau itu prediksinya benar maka akan berbahaya," ujarnya.

 
Berita Terpopuler