Ibnu Abbas Jawab Argumentasi Kaum Ekstremis

Ibnu Abbas adalah seorang sahabat Nabi yang alim.

Dok Republika
Sahabat Nabi (ilustrasi)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang "junior" bila diukur dari perspektif usia. Ia lahir tiga tahun sebelum hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Saat beliau wafat, Ibnu Abbas masih berusia 13 tahun.

"Ya Allah, ajarilah anak ini hikmah," demikian doa Nabi SAW sembari memeluk sepupunya itu. Ibnu Abbas kecil pernah diusap kepalanya dan didoakan oleh beliau. "Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya," kata Rasulullah SAW mendoakannya.

Ketekunan Ibnu Abbas dalam menuntut ilmu-ilmu agama diakui banyak pihak. Bahkan, ia dijuluki sebagai “tinta umat” oleh para sahabat yang senior. Khalifah Umar bin Khattab hampir selalu mengundang pemuda tersebut untuk ikut berdiskusi bersama para penasihatnya yang lain dalam membahas persoalan agama dan umat.

Khalifah Umar wafat beberapa saat sesudah ditusuk oleh seorang Majusi. Kepemimpinannya digantikan oleh Utsman bin Affan.

Namun, prahara terjadi di ujung masa pemerintahan sang Dzun Nurain. Bahkan, Khalifah Utsman kemudian syahid karena dibunuh kelompok pemberontak.

Sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Di antara kebijakannya adalah memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Irak). Sebab, ia ingin menjauhkan bara konflik politik dari kota suci.

Di Irak, muncul kelompok yang memiliki ideologi ekstremis. Mereka pada awalnya sangat fanatik mendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib, sampai-sampai secara total memusuhi kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Gubernur Syam tersebut menolak pemerintahan Ali.

Kemudian, arbitrase (tahkim) terjadi antara pihak Ali dan Mu’awiyah. Ternyata, perwakilan Mu’awiyah dapat mengatasi argumentasi utusan sang khalifah. “Kegagalan” di tahkim membuat para fanatikus pro-Ali bin Abi Thalib keluar (kharaja) dari sikap awalnya. Kini, mereka justru amat memusuhi Ali--dan Mu'awiyah sekaligus. Orang-orang inilah yang kemudian dinamakan sebagai kaum Khawarij.

Seperti diceritakan Ibnu al-Jauzi dalam sebuah bukunya, terjadilah dialog antara Ibnu Abbas dan kaum Khawarij. Sepupu Rasulullah SAW ini berpendapat mengenai kelompok ekstremis tersebut.

Katanya, “Belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena kurang tidur lantaran menghabiskan malam untuk shalat.”

Semula, orang-orang Khawarij menyambut Ibnu Abbas dengan sangat ramah karena berharap dirinya mau bergabung dengan mereka dalam memusuhi Ali.

Namun, sikap ramah itu hilang begitu sepupu Rasul SAW tersebut menegaskan maksud kedatangannya: menasihati mereka agar tidak memusuhi Ali.

Akhirnya, tiga orang Khawarij bersedia maju untuk mendebat Ibnu Abbas.

Baca Juga

“Wahai kalian, sampaikan kepadaku alasan kebencian kalian kepada menantu Rasul SAW beserta sahabat Muhajirin dan Anshar! Ketahuilah, Alquran pertama-tama turun kepada mereka. Dan tidak ada seorang sahabat Nabi yang bersama dengan kalian kini,” ucap Ibnu Abbas.

“Kami punya tiga alasan,” kata pendebat dari kaum Khawarij.

Ibnu Abbas lalu mempersilakan mereka mengutarakannya. Tidak sekalipun sang “tinta umat” menyela hingga orang-orang itu selesai menyampaikan pokok pikirannya. Dan, inilah dalih-dalih Khawarij.

Pertama, Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim—yakni dalam momen tahkim. Padahal, lanjut Khawarij, Allah berfirman dalam surah Yusuf ayat 40, yang artinya, “Keputusan itu hanyalah milik Allah.”

Kedua, Ali telah memerangi musuh, yakni kubu ‘Aisyah binti Abu Bakar, dalam Perang Unta. Namun, setelah menang, Ali tidak mengambil harta rampasan. Mereka mengecap, kalau ‘Aisyah adalah Mukmin, tentu haram bagi kami berperang terhadapnya.

Ketiga, Ali telah menghapus sebutan amirul mukminin dari dirinya. Khawarij menganggap, maka sejak itu ayahanda Hasan dan Husain tersebut menjadi amirul kaafiriin.

Ibnu Abbas lalu menjawab ketiga argumentasi orang-orang ekstremis tersebut sebagai berikut.

Pertama, Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia. Misal, dalam hal tebusan atas hewan yang dibunuh seorang jamaah saat ihram. Keterangan tentang ini ada pada surah al-Maidah ayat 95. “Barangsiapa di antara kamu membunuhnya (hewan) dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”

Allah pun menyerahkan hukum-Nya kepada keputusan manusia dalam hal mendamaikan antara istri dan suami yang sedang bersengketa. Ini dijelaskan dalam surah an-Nisa ayat 35. “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.”

Dalam hal Ali, sang khalifah berupaya mendamaikan antarsesama Muslimin. “Ini memang pantas,” kata orang-orang Khawarij itu.

Mengenai Perang Unta, Ibnu Abbas mengingatkan, ‘Aisyah adalah seorang ummul mu`minin, ibu orang-orang beriman. Ini jelas dinyatakan dalam surah al-Ahzab ayat enam. “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”

Terakhir, menjadikan ‘Aisyah sebagai tawanan perang dan bahkan menganggapnya kafir, itu sangat terlarang. Perbuatan takfiri justru dapat menyebabkan mereka keluar dari Islam.

Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian telah memahami di mana letak kekeliruan kalian?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Setelah ketiga orang itu menerima seluruh argumentasi Ibnu Abbas, maka seluruh Khawarij di majelis ini akhirnya bertobat. Mereka tak lagi memusuhi Ali dan menjadi Muslim moderat.

 
Berita Terpopuler