Awas Bahaya Judi! Ini Kriteria 'Permainan' yang Haram

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yang menjadi ciri judi.

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Warga mengakses situs judi online melalui gawainya di Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/5/2024).
Rep: Fuji Eka Permana Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengharamkan praktik-praktik judi. Perbuatan yang mengandung unsur taruhan itu tidak hanya menyebabkan mudarat bagi pelaku, tetapi juga orang-orang terdekatnya dan lingkungan sekitar.

Pada zaman sekarang, judi semakin mudah dijumpai, terutama akibat kecanggihan teknologi. Sebagai contoh, situs-situs di internet yang menyediakan judi daring (online). Bahkan, pemerintah RI sampai-sampai membentuk satuan tugas (satgas) untuk menanggulangi dampaknya.

Umumnya, judi luring maupun daring menampilkan "wajah" sebagai permainan. Karena itu, umat Islam mesti mewaspadai kriteria-kriteria yang bisa menyebabkan haramnya sebuah akad atau permainan.

Berikut ini penjelasan ihwal kriteria-kriteria tersebut, seperti dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc melalui laman Rumah Fiqih.

Adanya dua pihak yang bertaruh

Tidaklah dikatakan judi apabila yang bertaruh hanya satu pihak. Sekurang-kurangnya, mesti ada dua pihak atau lebih yang kemudian melakukan taruhan dalam sebuah akad atau permainan. Dengan demikian, akad atau permainan tadi masuk kategori judi.

Misal, seseorang berkata, "Saya menantang kamu untuk adu panco. Saya menyediakan hadiah Rp 100 ribu jika kamu berhasil mengalahkan saya."

Kemudian, lawan bicaranya itu tidak bertaruh apa-apa. Ketika si lawan kalah, ia tidak perlu kehilangan harta apa pun. Adu panco ini pun tidak termasuk judi. Sebab, yang bertaruh adalah satu pihak saja.

Taruhan berupa harta

Wujud harta bisa bermacam-macam. Ada yang berupa uang. Demikian pula dengan benda-benda bernilai lainnya, seperti emas, perhiasan, jam tangan, rumah, tanah, kendaraan, atau surat-surat berharga. Bahkan, harta juga bisa berupa jasa-jasa yang punya nilai tertentu.

Jika yang dipertaruhkan bukanlah harta, maka akad, permainan, pertaruhan, atau undian tidaklah termasuk judi. Misalnya, undian untuk seseorang mendapatkan shaf yang terdepan saat shalat berjamaah. Itu bukanlah judi.

Baca Juga

Gharar menentukan menang-kalah
 
Dalam judi, setiap pihak saling terikat dengan "janji" bahwa penentuan pihak yang membayar dan/atau yang-dibayar tergantung pada keberuntungan masing-masing. Jika seseorang menang, maka ia bertindak selaku yang-dibayar. Jika seseorang kalah, maka ia bertindak selaku yang-membayar. Alhasil, penentuan semacam itu adalah bagian dari praktik serba ketidakjelasan atau spekulatif (gharar).

"Janji" demikian menjadikan judi condong pada mughalabah, yakni rasa saling mengalahkan (mughalabah), yang juga merupakan benih perilaku permusuhan (‘adawah).

Pemenang ambil harta si kalah

Kriteria yang terakhir ini berarti adanya ketentuan bahwa pihak yang menang dapat mengambil harta pertaruhan dari pihak yang kalah. Orang yang kalah harus rela kehilangan hartanya.

Apabila seluruh kriteria di atas telah terpenuhi, jelaslah hukum sebuah akad, permainan, atau apa pun itu menjadi judi. Akhirnya, ia menjadi haram menurut syariat Islam.

 
Berita Terpopuler