6 Sarjana Barat Ini Semula Dukung Zionis Yahudi, Lalu Berbalik Serang Kezaliman Israel

Zionis Israel disebut melanggar dan merusak tatanan dunia internasional

AP Photo/Ariel Schalit
Kendaraan pengangkut personel (APC) Namer Israel menuju perbatasan Jalur Gaza di Israel selatan.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Jangan dikira, para kaum cerdik pandai, ilmuwan, dan orang terlepajar Barat, sepenuhnya mendukung gerakan Zionisme Israel. 

Baca Juga

Bahkan, tak sedikit dari mereka yang akhirnya bersuara menentang kezaliman Israel Zionis. Berikut ini sejumlah pemikir yang akhirnya berdiri melawan kebengisan Israel. 

Pertama, Goldmann

Salah seorang yang patut mendapatkan penghormatan tertinggi dari kaum Yahudi, terutama yang menetap di Israel, tentulah Nahum Goldmann. Ia menorehkan nama dengan tinta emas di buku sejarah Zionisme, berkat pengabdian setengah abadnya pada gerakan itu. Ia aktif mempromosikan agenda-agenda Zionis di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pada Perang Dunia I, ketika Palestina di bawah kekuasaan Kekaisaran Usmani, ia membujuk penguasa Turki agar mengizinkan imigrasi kaum Yahudi. Pada 1930an, ia mengajukan agenda Zionis di Liga Bangsa-Bangsa. 

Ia turut melobi Presiden Truman agar AS mengusulkan resolusi PBB yang membagi Palestina dan pembentukan Israel. Ia turut mengatasi problem keuangan di masa-masa awal berdirinya Israel. Goldmann berhasil memperoleh kompensasi dan restitusi bagi Israel dan individu-individu Yahudi sebesar 30 milyar dolar AS dari pemerintah Jerman.

Namun semua jasa besarnya itu dilupakan sama sekali ketika sikap moderatnya dalam konflik Arab-Israel semakin kental. Di tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Goldmann semakin sering mengecam kebijakan Israel terhadap pihak Arab. Ia semakin lantang menyerukan pembentukan negara Palestina. Usulan ini dikutuk habis oleh Israel, juga oleh kaum Yahudi AS, yang lobinya berperan sangat besar dalam kelangsungan hidup negara Israel.

Terhadap kecaman atas usulnya itu, Goldmann menjawab: ''Bila mereka tak percaya bahwa kepungan Arab suatu hari akan mereda, maka kita mestinya memikirkan juga untuk menghapuskan Israel sama sekali, sehingga dapat menyelamatkan jutaan orang Yahudi yang tinggal di sana.'' Ia menambahkan, ''Tiada harapan bagi sebuah negara Yahudi kalau harus menghabiskan 50 tahun lagi untuk berjuang melawan musuh-musuh Arabnya.''

Ketika Goldmann meninggal pada 1980, PM Menachem Begin mengizinkan jenazahnya dimakamkan di Israel. Tapi ia tak hadir dalam upacara pemakaman. Balasan rakyat Israel dan kaum Yahudi AS tecermin dari pidato singkat Simcha Ehrlich, pejabat yang mewkili PM Begin. ''Kami menyesalkan,'' katanya, ''bahwa seorang yang memiliki begitu banyak kemampuan dan kebajikan, telah melangkah di jalan yang salah.''

Kedua, Klutznick 

Balasan serupa diterima oleh Philip Klutznick, sahabat Goldmann dan tokoh Zionis terpandang AS. Selama 60 tahun ia memperjuangkan kepentingan kaum Yahudi. Ia melobi ke mana-mana untuk membantu pendidirian negara Israel. Ia menghimpun banyak dana dan mengirim persenjataan untuk Israel. 

Dalam segala posisi -- sebagai pengacara, developer, pejabat tinggi di bawah empat presiden AS, termasuk menjadi menteri perdagangan, Klutznick membantu Israel. Ia pernah mengetuai Konferensi para Presiden Organisasi-organisasi Utama Yahudi Amerika, yang memayungi 300an organisasi Yahudi. Ia juga pernah menjabat presiden Kongres Yahudi Dunia.

Di mata pemerintah dan rakyat Israel, juga kaum Yahudi AS, segala jasa besar itu bagai tak pernah ada, ketika Klutznick menunjukkan sikap moderat dalam konflik Arab-Israel. Padahal, yang dilakukannya jauh dari sikap mendukung atau membela posisi Arab. Ketika Arab Saudi mengajukan ''Rencana Perdamaian Delapan Pasal'' (1981), Klutznick menyebut rencana itu ''bermanfaat''. Ia menyatakan Israel setidaknya ''perlu mendengarkannya''.

Ia mengecam pemboman Israel atas instalasi nuklir Irak (1981). Klutznick juga sering mengumandangkan mutlaknya melibatkan PLO dalam perundingan, selain mengusulkan pembentukan negara Palestina. 

''Masalah pokoknya bukan apakah bangsa Palestina pantas memperoleh hak mereka, tapi bagaimana mewujudkan hak itu seraya menjamin keselamatan Israel dan stabilitas regional,'' kata Klutznick. ''Konsep-konsep yang mengambang semacam 'otonomi' tidak lagi memadai, karena konsep-konsep ini biasnay justeru membingungkan ketimbang menjernihkan. Sekarang yang dibutuhkan adalah tekad untuk untuk mecapai suatu akomodasi politik antara Israel dan nasionalisme Palestina.''

Karena tindakan dan pernyataan-pernyataan semacam itu, Philip Klutznick difitnah di pelbagai media, dikucilkan dari komunitas Yahudi AS, pendeknya dianggap ''sampah.'' 

Ketiga, I F Stone...

Ketiga, I F Stone

Nasib serupa dialami pula oleh tokoh liberal AS, I F Stone, editor I F Stone Weekly.

''Israel sedang melangkah di jalan yang keliru,'' katanya beberapa tahun lalu kepada Paul Findley, penulis Mereka Berani Bicara: Menggugat Dominasi Lobi Yahudi. ''Periode ini merupakan yang paling kelam dalam sejarah bangsa Yahudi. Bangsa Arab mestinya diperlakukan sebagai manusia.''

Stone menulis buku Underground to Palestine. Ia menceritakan pengalamannya berjalan bersama sejumlah orang Yahudi dari kamp-kamp Nazi, melalui blokade Inggris ke tempat yang sekarang menjadi Israel. Ia kemudian mengusulkan supaya konflik Timur Tengah dipecahkan dengan ''solusi binasional, (dengan membentuk) sebuah negara yang konstitusinya mengakui kehadiran dua bangsa, dua negara, Arab dan Yahudi'', yang mencakup seluruh warga Palestina. Calon penerbitnya meminta bagian itu dihapus, Stone menolaknya, dan penerbit itu membatalkan rencana penerbitannya.

''Sejak saat itu,'' kata wartawati Yahudi Carolyn Toll, '' Stone, yang selama ini menjadi bintang acara-acara ceramah di sinagog, karena ia wartawan Amerika yang pertama bergabung dengan orang-orang Yahudi yang selamat dari holocaust, dinajiskan di semua forum Yahudi oleh para pemimpin yang menutup rapat perdebatan tentang binasional dan kenegaraan.''

Stone sendiri berkomentar, ''Saya sendiri merasa, seperti banyak intelektual Amerika lainnya, Yahudi maupun non-Yahudi, dipencilkan setiap saya mencoba bicara terbuka tentang Timur Tengah''. Upaya menemukan penerbit Amerika yang mau menerbitkan buku yang keluar dari rel patokan Israel, kata Stone, ''kira-kira sama gampangnya dengan menjual gagasan matang tentang ateisme kepada Osservatore Romano di Vatikan.'' Romano adalah jurnal resmi Tahta Suci Vatikan.

Keempat, Noam Chomsky  

Noam Chomsky juga harus dimasukkan dalam barisan orang Yahudi yang sangat kritis terhadap Israel. Ia pakar Linguistik dan profesor di Massachussetts Insititute of Technology. Selama puluhan tahun Chomsky menulis di berbagai media, sebagian besar masuk dalam Index of Cencorship, yang mengecam dengan sangat keras perilaku Israel dan dukungan buta AS terhadap negara Yahudi itu. Tulisan-tulisannya selalu ditopang data dan argumen yang amat matang dan mengagumkan. Mencerminkan reputasinya sebagai pakar besar yang dijuluki ''Einstein-nya Linguistik''.

Sebuah bukunya sudah diterjemahkan menjadi Menyibak Terorisme Internasional, yang menelanjangi dengan sangat meyakinkan kekejian dan kelicikan Israel terhadap warga Palestina, dan kemunafikan AS dalam konflik Timur Tengah. Kini, kaum Yahudi AS, bahkan kalangan terpelajar non-Yahudi, bergidik atau geram setiap kali mendengar nama Chomsky.

Beberapa perkiraan menyebut bahwa nasibnya tinggal menunggu waktunya untuk dihabisi oleh kelompok-kelompok teror Yahudi di AS, seperti Liga pertahanan Yahudi (JDL) dan Organisasi Pertahanan Yahudi (JDO). Dan Chomsky tak pernah gentar dengan segala macam ancaman yang begitu sering diterimanya.

Kelima, Berger

Rabi Elmer Berger pun rajin mencela kekejian dan sikap kepala batu Israel lewat ceramah dan tulisan-tulisannya. Ia sangat tekenal, dan dicintai oleh sejumlah kecil pengikutnya, di Amerika Serikat dan negara-negara Arab. Sebagai rohaniwan, Rabi Berger selalu menyampaikan kritik-kritiknya dengan nada lunak, meski isi dan substansinya sangat tajam. 

Keenam, Lilienthal  

Akhirnya harus dicatat kiprah Alfred M. Lilienthal, seorang Yahudi yang seumur hidup membangun karir sebagai anti-Zionis. Hanya tak sampai setahun setelah Israel berdiri, Lilienthal sudah menulis artikel di Readers Digest (1949), dengan judul yang lugas dan provokatif: ''Israel's Flag is Not Mine'' (''Bendera Israel bukan Milik Saya'').

Lilienthal menulis sejumlah buku tentang Israel dan konflik Timur Tengah sejak awal 1950an. Tapi karya monumentalnya adalah The Zionist Connection (1978). Buku 872 halaman itu penuh bertabur fakta tentang perkembangan dan aktifitas-aktifitas gerakan Zionis di AS. Jurnal bergengsi Foreign Affairs memujinya sebagai ''karya puncak'' dalam karier anti-Zionis Lilienthal.

Ia menerbitkan buletin mingguan Middle East Perspective, yang berhenti terbit setelah kematiannya (1985). Ia sendiri menyebut prestasi terbesarnya adalah ''membuat sebagian umat Krsiten punya nyali untuk berani membicarakan masalah (konflik Timur Tengah) ini.'' Ia begitu dibenci oleh pemerintah Israel dan komunitas Yahudi AS, dan kerap diejek sebagai Don Quixote yang mencoba ''meraih bintang-bintang yang tak tergapai.'' 

Pada 1982, ia secara resmi dinyatakan murtad dari agama Yahudi oleh sekelompok rabi di New York. Lilienthal mencibir pemurtadan yang didasarkan pada pengidentikan Zionisme dan Yahudi itu. ''Hanya Tuhan yang berhak melakukan hal itu,'' katanya. ''Saya tetap sangat merasa sebagai orang Yahudi.''

BUKTI GENOSIDA ISRAEL - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler