Mantan Kepala BAIS TNI: Aneh Jika Densus Penguntit Jampidsus tak Disanksi

Sampai saat ini Polri masih enggan menjelaskan motif penguntitan tersebut.

Republika/Prayogi
Jampidsus Febrie Adriansyah memberikan keterangan pers terkait Penyampaian Hasil Perhitungan Kerugian Negara (PKN) dalam Penyidikan Perkara Timah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (29/5/2024). Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mengungkapkan, nilai kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, mencapai Rp 300 triliun. Angka tersebut terungkap setelah Kejaksaan Agung mendapat hasil penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat intelijen dan keamanan tak habis pikir dengan sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang tak memberikan sanksi apapun terhadap anggota Densus 88 yang tertangkap melakukan penguntitan ilegal terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah.

Baca Juga

Kepala Badan Intelijen dan Strategis (BAIS) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Purnawirawan Laksamana Muda (Laksda) Soleman Ponto menegaskan, sikap pemimpin Polri tersebut mencederai prinsip-prinsip bernegara secara hukum. 

Ponto mengatakan, aksi penguntitan dalam rangka intelijen sebetulnya lumrah dalam spionase aparatur resmi. Akan tetapi, pengintaian itu mengundang dua sisi konsekuensi bagi personel pelaksananya.

Menurut purnawirawan bintang dua Angkatan Laut (AL) itu, jika penguntitan tersebut dilakukan resmi, namun ketahuan dan apalagi tertangkap, maka personel pengintai tetap saja mendapatkan sanksi internal lantaran aksi senyapnya gagal.

Namun begitu dalam kasus Densus 88 terhadap Jampidsus ini, personel pengintai mengaku tak disertai dengan surat tugas resmi yang artinya ilegal. Sudah begitu ketahuan, serta tertangkap pula.

“Jadi, bagaimana dia ini disebut operasi intelijen? Dan Polri tidak memberikan sanksi apapun kepada anggotanya ini, karena penguntitan itu tidak dilakukan resmi tanpa surat perintah resmi. Dan juga itu tidak ada keterkaitannya dengan fungsi dari Densus. Apa itu tidak salah? Kalau tidak ada diberikan sanksi, ini sangat buruk sekali bagi kepolisian kita, karena dengan begitu, perbuatan seperti itu dibiarkan saja,” kata Ponto saat dihubungi Republika, Selasa (4/6/2024).

“Dan jika itu dibiarikan kepolisian kita, maka rusaklah kepolisian kita, dan rusaklah kita sebagai negara hukum,” kata Ponto melanjutkan.

 

 

 

Ponto semakin bingung dengan sikap Polri yang tak memberikan sanksi apapun terhadap satupun personel kepolisian yang diduga juga berasal dari Densus 88 dalam aksi menyatroni kompleks Kejaksaan Agung (Kejakgung), Senin (20/5/2024) malam.

Ponto berpendapat aksi seperti intimidasi, dan pamer kekuatan dengan pengerahan puluhan anggota berseragam hitam-hitam, bersenjata laras panjang, dengan motor trail, serta membawa kendaraan taktis lapis baja itu, seperti menjadi aksi yang legal, dan dibolehkan oleh intitusi Polri terhadap lembaga penegak hukum lainnya. 

“Dan itu dilakukan terhadap institusi penegak hukum lain, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Kalau seperti itu dibenarkan, dan dibiarkan begitu saja, tidak ada diberikan sanksi apapun kepada anggotanya, wah, jadi negara macam apa kita ini?"

"Kalau itu resmi, apakah Polri boleh mengerahkan pasukan bersenjata, bawa kendaraan tempurnya ngoeng-ngoeng (sirine) seperti itu melakukan intimidasi di institusi penegak hukum lainnya seperti itu? Kalau seperti itu dibolehkan, bagaimana kepolisian kita ini? Sangat buruk sekali,” kata Ponto menambahkan.

Sampai saat ini, pun kata Ponto, meskipun Polri sudah mengakui adanya anggota Densus 88 yang melakukan penguntitan terhadap Jampidsus dan personel antiterorisme itu sempat ditangkap, namun Polri tetap menolak menjelaskan motif dari penguntitan oleh skuat antiteror tersebut.

Padahal, kata Ponto, Bripda IM yang ditangkap diakui Polri sudah diperiksa oleh Divisi Propam setelah dikembalikan oleh Kejakgung.

Menurut Ponto, semestinya Polri menjelaskan maksud-tujuan penguntitan Densus 88 terhadap pejabat tinggi di Kejakgung itu. Penjelasan Polri tetap mengacu hasil pemeriksaan Bripda IM di Propam Polri. Jika dari pemeriksaan Propam Polri memang ditemukan pelanggaran, semestinya sanksi dijatuhkan.

Karena melihat pelaku penguntitan anggota Densus 88, dan target penguntitan adalah pejabat tinggi di Kejakgung yang bukan bagian dari target operasi, maupun tugas pokok dari skuat antiterorisme di kepolisian. Maka menurut Ponto, situasi tersebut sudah merupakan pelanggaran.

 “Apalagi ini sudah diketahui masyarakat, bahwa yang memberikan perintah terhadap anggota Densus (88) ini adalah seorang Kombes (Komisaris Besar) tanpa melalui perintah resmi. Apakah boleh seperti itu dilakukan di kepolisian, dan tidak diberikan sanksi apa-apa? Menurut saya, ini sangat salah sekali kepolisian kita ini,” kata Ponto.

Dia mengingatkan, tugas dan kewenangan Polri dalam mengayomi masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan umum, serta fungsi penegakan hukum yang harus diperbaiki dari internal kepolisian sendiri. “Jangan sampai kepolisian kita, khususnya Densus 88 ini digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di internalnya sendiri, maupun dari pihak-pihak luar,” kata Ponto.

Bripda IM diketahui sebagai anggota Densus 88 yang ditangkap POM pengawal Jampidsus Febrie Adriansyah saat melakukan penguntitan dan pembuntutan. Aksi memata-matai tersebut ketahuan saat Jampidsus melakukan aktivitas pribadi makan malam di restoran Gotran Cherrier Cipete, di Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis 16 Mei 2024 sekitar pukul 20:45 WIB. Militer yang melakukan pengawalan melekat terhadap Jampidsus membiarkan lima personel Densus 88 penguntit lainnya kabur.

Perlu 14 hari bagi Kejakgung, dan Polri mengakui terjadinya peristiwa tersebut. Selama menunggu pernyataan resmi dari kedua lembaga penegak hukum itu situasi menegangkan yang melibatkan Kejakgung dan Polri terjadi berturut-turut.

Mulai dari aksi pamer kekuatan, dengan melakukan konvoi bersenjata di luar kompleks Kejakgung di Jalan Bulungan-Hasanuddin, dan Jalan Panglima Polim-Blok M oleh satuan berseragam hitam-hitam dengan membawa laras panjang, dan kendaraan trail, serta taktis lapis baja, Senin (20/5/2024) malam, juga Kamis (23/5/2024) malam.

Juga aksi lanjutan berupa pengintaian melalui drone di atas Gedung Kartika tempat Jampidsus berkantor di Kejakgung, Selasa (21/5/2024). Personel pengamanan dalam (Pamdal) Kejakgung, disiap-siagakan mengantisipasi risiko dengan diwajibkan menggunakan rompi antipeluru saat bertugas di kompleks Kejakgung. 

Sejak Selasa (21/5/2024), Kejakgung memperkuat pengamanan dalam kompleksnya dengan meminta bantuan personel tambahan militer dari satuan POM Angkatan Laut (AL). Bersama Angkatan Darat (AD) baret hitam, dan POM Angkatan Udara (AU), personel militer itu melakukan patroli rutin pada malam hari di kawasan Kejakgung.

Baru Rabu (29/5/2024) Kejakgung menerangkan resmi soal penguntitan Densus 88, dan penangkapan oleh militer pengawal Jampidsus tersebut. Dan Kamis (30/5/2024), Mabes Polri mengikuti langkah serupa dengan mengakui adanya penguntitan, dan penangkapan anggota Densus 88 oleh militer pengawalan Jampidsus.

 

 

Akan tetapi Kejakgung, dan Polri sama-sama bungkam soal apa motif, dan latar sebab dari aksi penguntitan oleh Densus 88 terhadap Jampidsus tersebut. 

Kapuspenkum Kejakgung Ketut Sumedana menyampaikan, masalah kuntit-menguntit Densus 88 terhadap Jampidsus itu, beban pengungkapannya ada di Polri. Sebab, Kejakgung, kata Ketut, sudah memulangkan Bripda IM ke Polri lewat penjemputan oleh personel Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Propam Polri. “Kan kita (Kejakgung) sudah menyerahkan (Bripda IM) ke sana (Polri). Jadi masalah itu, sekarang tanggung jawabnya ada di sana,” begitu kata Ketut saat dihubungi, Selasa (4/6/2024).

Kejakgung, kata dia, tak lagi perlu menjelas-jelaskan permasalahan penguntitan itu karena kewenangan penyelidikannya ada di internal Polri. Termasuk dikatakan Ketut, terkait dengan pengungkapan motif penguntitan. “Penjelasan kami (Kejakgung) tidak perlu lagi panjang-lebar. Karena sudah kami sampaikan, permasalahan itu sekarang ada di Polri. Kami menyerahkan ke mereka (Polri) untuk tindak lanjutnya. Dan pertanyaan motif, silakan tanyakan ke sana, karena mereka yang memiliki kewenangan,” ujar Ketut.

Kejakgung juga tak mempersoalkan keputusan Polri yang tak memberikan sanksi apapun terhadap Bripda IM, dan sesama anggota Densus 88 lainnya yang melakukan penguntitan terhadap Jampidsus itu. Sebab menurut dia, pemberian sanksi terhadap personel Densus 88 tersebut, juga termasuk ranah dan kewenangan di Polri. “Bagi kami, semuanya ini sudah selesai,” begitu ujar Ketut.   

Pada Kamis (30/5/2024) Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Sandi Nugroho, atas nama institusinya pun mengakui adanya anggota Densus 88, Bripda IM yang ditangkap pengawal militer Jampidsus saat melakukan penguntitan tersebut.

“Jadi memang benar adanya anggota (Densus 88) yang diamankan oleh sana (Kejakgung). Dan identitasnya, memang benar seperti yang disebutkan itu (Bripda IM),” begitu kata Sandi. Namun kata dia, memang Bripda IM sudah dilakukan penjemputan oleh Paminal Divisi Propam Polri untuk dilakukan pemeriksaan. 

Tetapi, kata Sandi, dari pemeriksaan terhadap Bripda IM, Divisi Propam tak menemukan adanya pelanggaran hukum, disiplin, atau etik yang dilakukan. Sebab itu, kata Sandi, Propam Polri mengembalikan Bripda IM ke satuannya. “Dari hasil pemeriksaan, tidak ditemukan masalah. Maka dari itu, dari pimpinan menyatakan, tidak ada masalah,” kata Sandi.

Adapun terkait dengan motif penguntitan Densus 88 terhadap Jampidsus, Sandi menolak mengungkapkan. Pun tak memberikan jawaban lugas soal apa temuan motif dari Propam Polri saat melakukan pemeriksaan terhadap Bripda IM.

Sandi cuma menegaskan, Polri dan Kejakgung adalah lembaga penegak hukum yang tak sepatutnya diadu domba. Sudah tak ada lagi permasalahan terkait skandal kuntit-menguntit itu.

 

 

 
Berita Terpopuler