Berutang Seribu Dinar dengan Jaminan Allah SWT

Sebuah kayu bakar ditemukan di pantai menepati janjinya.

network /Mursalin Yasland
.
Rep: Mursalin Yasland Red: Partner

Sebuah pantai di pesisir barat, Provinsi Lampung. (Ilustrasi Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)

SumatraLink.id – Janji adalah utang, utang harus dibayar. Siapa berutang sesuatu seperti uang berarti dia sanggup membayar. Ketika tidak ada orang sebagai saksi saat akad berutang, maka dengan keyakinan yang penuh Allah Subhanahuwata’ala (SWT) sebagai saksinya.

Kisah seorang bani Israil memberikan pelajaran berharga bagi kita yang berutang untuk menepati janjinya. Ibnu Katsir dalam kitabnya At-Tafsir (I/524) mengatakan, Imam Ahmad mendapatkan riwayat dari Yunus bin Muhammad dan lainnya hingga dari Abu Hurairah mendapatkan dari Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam (SAW).

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dahulu ada seorang kaum bani Israil datang kepada temannya sebut saja si fulan sesama kaum bani Israil untuk meminjam uang sebanyak seribu dinar. Temannya berkata, ‘Datangkan aku beberapa orang saksi. Aku akan meminta kesaksian mereka,’

Ia (bani Israil) menjawa, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi,’

Si fulan temannya berkata lagi, ‘Datangkan kepadaku orang yang menjamin,’

Ia menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin,’

Temannya berkata lagi, ‘Kamu benar.’

Akad berutang terjadi, bani Israil menerima uang pinjaman seribu dinar. Ia akan mengembalikan uang utangan dalam jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak dengan saksi dan penjamin Allah SWT.

Seorang bani Israil itu menyeberang lautan dengan seribu dinar utang tersebut untuk urusannya. Sekira beberapa waktu lamanya, ia berniat ingin balik ke kampungnya untuk membayar utang seribu dinar kepada temannya tadi karena sudah jatuh tempo.

Tapi, apa hendak dikata, ia tidak menemukan satu pun perahu yang akan membawanya menyeberang lautan. Setelah dicari-cari tidak ketemu juga. Ia mendapat sebuah kayu. Ia lubangi tengahnya lalu dimasuki uang seribu dinar ditambah selembar kertas berisi pesan ke alamat temannya.

Baca juga: Angin Khajuj, Awal Pendirian Kakbah di Baitullah

Seorang bani Israil tersebut menuju pantai, untuk melepaskan kayu berisi uang dan selembar kertas ditujukan kepada temannya.

Sekelebat kayu tersebut dilepaskan, ia berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau pasti tahu bahwa aku telah meminjam uang sebesar seribu dinar dari si Fulan. Ketika ia meminta penjamin, aku katakan bahwa cukup Engkau sebagai penjaminnya, dan ia setuju. Ketika ia meminta saksi, kukatakan bahwa cukup Engkau sebagai saksinya, dan ia pun setuju.

“Aku berusaha untuk mencari perahu yang bisa kutitipi untuk menyampaikan utangku kepada si fulan. Akan tetapi, aku tidak menemukannya. Karena itu, kutitipkan uang ini (dalam kayu) kepada-Mu.”


Kayu berisi uang tersebut meluncur di lautan. Namun, seorang bani Israil ini tetap berusaha mendapatkan perahu untuk membayar utangnya yang sudah melebihi jatuh tempo.

Bersamaan dengan itu juga, temannya yang mengutanginya juga kerap mendatangi tepi laut untuk melihat barangkali ada temannya atau titipan datang untuk membayar utangnya seribu dinar karena sudah jatuh tempo.

Si fulan tak menjumpai seorang pun tiba di pantai. Namun, ia melihat ada sebuah kayu mengambang di pantai. Ia ambil dan membawanya ke rumah untuk istrinya sebagai sebagai kayu bakar. Ketika si fulan membelah kayu tersebut terdapat uang seribu dinar dan selembar kertas.

Baca juga: Hikmah Kaum Tsamud dan Aad Dijungkirbalikkan

Setelah kejadian itu, seorang bani Israil tersebut balik ke kampungnya dan menemui si fulan.

“Demi Allah SWT sebenarnya aku sudah mencari perahu untuk mengembalikan uangmu yang kupinjam. Tetapi, aku tidak mendapatkannya sebelum kedatangannku ini,” kata seorang bani Israil itu.

Si fulan, temannya berkata, “Apakah kamu pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”

Ia menjawab, “Bukankah tadi sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku ini?”

Temannya mengatakan, “Allah telah menyampaikan titipanmu itu pada sebuah kayu. Jadi, ambil saja kembali uang seribu dinar milikmu itu.” (Mursalin Yasland, dinukil dari Buku Karomat Al-Auliya karya Abu Fida’ Abdurraqib Al-Ibi).

 
Berita Terpopuler