Pembunuhan Vina, Pakar Forensik Cium Kejanggalan, Benarkah Tiga Pelaku DPO Ada?

Reza Indragiri meminta agar kasus pembunuhan ini dikembalikan ke pengusutan awal.

Dok. Dee Company
Poster film horor Vina: Sebelum 7 Hari. Film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengangkat cerita tentang korban kekerasan korban geng motor berhasil menarik 335.812 penonton pada hari pertama penayangannya.
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon bersama teman asmaranya Rizky Rudiana alias Eki mengundang spekulasi publik yang sampai hari ini belum ada titik terangnya. Ada tiga buronan yang belum juga tertangkap sejak kasus itu terjadi pada 2016 silam.

Baca Juga

Di sisi lain, seorang terpidana yang sudah bebas sejak 2020 lalu menyebut bahwa ia justru menjadi korban salah tangkap.

Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel meminta agar kasus tersebut dikembalikan ke pengusutan paling awal. Karena menurutnya ada rupa-rupa kejanggalan yang terjadi dalam semua alur peristiwa kejadian. Pun juga keanehan proses hukum yang sudah, serta saat ini sedang berjalan.

“Kesan miscarriage of justice itu ada,” kata Reza kepada Republika melalui pesan singkatnya, Senin (20/5/2024). 

Miscarriage of justice adalah istilah kegagalan dalam mencapai keadilan akibat proses penegakan hukum yang salah dilakukan oleh institusi hukum. Dalam kasus kematian Vina dan Eki, kata Reza, adanya seseorang yang diduga tidak bersalah dilakukan proses hukum, bahkan dipidana.

“Bukan hanya police misconduct (pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian). Tapi miscarriage of justice,” kata Reza.

“Artinya, seluruh lembaga peradilan pidana, perlu membuka kembali berkas kerja mereka pada kasus ini,” ujar Reza menambahkan.

Menurutnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian saat ini, yaitu dengan menerbitkan, dan mencari tiga daftar pencarian orang (DPO), atau buronan yang dikatakan sebagai otak pelaku pembunuhan Vina dan Eki, bukan jalan utama dalam penuntasan kasus tersebut. 

Karena dikatakan Reza, isu utama yang harus menjadi jalan keluar kasus ini mengembalikan proses hukum ke titik paling awal. “Yaitu, benarkah ada pembunuhan? Benarkah terjadi perkosaan?,” ujar Reza.

“Fokus terhadap tiga atau empat DPO, itu merupakan isu sekunder. Fokus di situ (DPO) tidak akan membuat diinvestigasinya indikasi miscarriage of justice. Isu primernya (utamanya) adalah dua pertanyaan tadi. Benarkah ada pembunuhan? Benarkah terjadi perkosaan? Eksaminasi berkas kembali. Dan itu tidak tergantung pada tertangkap atau tidaknya, bahkan ada atau tidaknya tiga-empat DPO tersebut,” ujar Reza.

 

 
Masalah yang terjadi sementara ini, pun bercampurnya persepsi publik atas alur cerita dalam film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ dengan proses penegakan hukum yang sudah ditangani di kepolisian, pun di pengadilan.
 
Di dalam film, kata Reza memantik emosi publik atas alur cerita adanya brutalisme perkosaan yang berujung pada pembunuhan Vina dan Eki. Tetapi, kata Reza, saat dirinya mengklarifikasi dengan sutradara pembuat film, dan juga produsesnya menjelaskan, tentang narasi perkosaan tersebut bersumber dari cerita yang irasional. “Tambah lagi, proses hukumnya pun sama sekali tidak ada mengangkat perkosaan sebagai perkara pidana,” begitu sambung Reza.
 
Reza menambahkan, dalam satu penjelasan dari Polda Jawa Barat (Jabar), menyebutkan adanya hasil visum yang mengungkapkan sperma di jenazah Vina. Kata Reza, adanya air mani pada jenazah korban semestinya mendorong kepolisian untuk menjerat para pelaku bukan hanya dengan sangkaan pembunuhan. Melainkan juga dengan tuduhan rudapaksa, atau perkosaan.
 
Namun dikatakan Reza, sangkaan perkosaan tersebut tak ada ditemukan dalam berkas dakwaan maupun pada saat penuntutan, serta putusan terhadap delapan terdakwa yang sudah dipidana di pengadilan. 
 
“Adanya sperma memang urusan kedokteran. Tetapi latar psikis datangnya sperma itu adalah relevan dengan psikologi forensik. Kalau sperma itu akibat aktivitas seksual yang forcefull (paksaan), barulah bisa disebut sebagai bukti perkosaan. Tapi kalau aktivitas seksualnya bersifat konsensual (kesepakatan), maka no criminal case (tidak ada tindak pidana),” ujar Reza.
 
Reza setuju jika peristiwa perkosaan dan pembunuhan yang dialami Vina dan Eki tersebut, berujung pada hukuman mati terhadap pelaku. “Tetapi, proses penegakan hukumnya terkesan kurang prosedural, proporsional, dan profesional. Karena itu, review (tinjau ulang),” begitu kata Reza.
 
Menurut Reza, jika hasil peninjuan ulang menyimpulkan terjadinya kegagalan pencapaian keadilan terhadap korban, maupun terhadap para terdakwa yang sudah dipidana, maka perlu untuk mengusut ulang dari awal atas kasus pembunuhan Vina dan Eki tersebut. “Dan kalau hasil revie menyimpulkan terjadinya miscarriage of justice, bebaskan dan rehabilitasi yang sudah dipidana. Juga berikan ganti rugi kepada mereka,” ujar Reza.
 
Vina Dewi Arsita dan Rizky Rudiana tewas di Jalan Perjuangan di depan SMP 11 Kali Tanjung, Cirebon, Jabar, pada Sabtu 27 Agustus 2016 malam. Jasadnya baru ditemukan pada Ahad 28 Agustus 2016 pagi.
 
Kasus ini semula dalam penanganan Polres Cirebon Kota. Dari penyidikan, ditemukan 11 pelaku dan delapan di antaranya berhasil diringkus dan diajukan ke persidangan.
 
Dari delapan yang diajukan ke persidangan, satu di antaranya masih di bawah umur. Tujuh terdakwa orang dewasa, yakni Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, dan Rivaldi Aditya Wardana dihukum penjara seumur hidup. 
 
Sedangkan satu terdakwa di bawah umur, divonis delapan tahun penjara, dan pada April 2024 sudah dinyatakan bebas. Kasus ini kembali mencuat lantaran perilisan film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengisahkan tentang pembunuhan dan perkosaan Vina, serta Eki.
 
Kembali mencuatnya kasus ini mendesak Polda Jabar kembali menangani kasus tersebut dengan menerbitkan tiga DPO yang sudah delapan tahun tak berhasil ditangkap. Tiga DPO yang disebut-sebut otak utama, dan pelaku utama pembunuhan Vina dan Eki tersebut, adalah Andi, Dani, dan Pegi alias Perong.

 

 

 
Berita Terpopuler