Dokter di Gaza: Persediaan Kami tidak akan Bertahan Lama

Setidaknya 35.233 warga Palestina terbunuh oleh pengeboman tanpa pandang bulu Israel.

Karam Hassan/Anadolu via Reuters
Seorang dokter di rumah sakit lapangan di Gaza, menyampaikan situasi yang terjadi di sana kian buruk. (ilustrasi)
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang dokter di rumah sakit lapangan di Gaza, yang menjadi salah satu pusat trauma utama di Gaza, menyampaikan situasi yang terjadi di sana kian buruk. Dokter yang telah bekerja di banyak zona perang itu bahkan menggambarkan situasi tersebut sebagai bencana paling buruk yang pernah ia lihat.

"Ini sangat menyedihkan," kata Javed Ali, kepala tanggap darurat Korps Medis Internasional di Gaza, dilansir Arab News, Jumat (17/5/2024).

Ali menyampaikan hal tersebut dari sebuah rumah sakit lapangan di barat laut wilayah Rafah yang diperintahkan untuk dievakuasi oleh Israel. Dia mengatakan situasi di sekitar kota paling selatan, tempat lebih dari 1,4 juta warga Palestina mencari perlindungan, sangat mengerikan.

Rumah sakit tersebut, di wilayah pesisir Al Mawasi yang ditetapkan Israel sebagai zona kemanusiaan, telah berkembang dalam hitungan bulan menjadi fasilitas dengan lebih dari 150 tempat tidur yang terdiri dari banyak tenda putih dan kontainer pengiriman.

Sejak perintah evakuasi pertama ke Rafah dikeluarkan pada 6 Mei, menjelang invasi darat yang telah lama dikhawatirkan di bagian paling selatan Gaza, hampir setengah dari 1,4 juta orang yang berlindung di sana telah pergi, menurut badan-badan PBB.

"Telah terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran," kata Ali, seraya menambahkan bahwa sebagian besar dari mereka menghindari Al Mawasi, yang sudah sangat padat penduduknya, dan memilih menuju kota Khan Younis yang dilanda perang, yang merupakan medan pertempuran hingga bulan lalu.

Ali menyebutkan, mereka yang datang kelelahan, takut, tidak mempunyai sumber daya. Banyak pasien meminta uang, dukungan, sehingga mereka dapat memindahkan keluarganya ke tempat yang aman.

Setidaknya 35.233 warga Palestina telah terbunuh oleh pemboman tanpa pandang bulu Israel, yang dimulai pada tanggal 7 Oktober. Kekejaman Israel telah dicap sebagai “kejahatan perang” dan “genosida” oleh beberapa pemimpin dunia, badan-badan PBB dan LSM.

Meskipun jumlah orang yang berlindung di lautan tenda Al-Mawasi mungkin tidak bertambah banyak dalam beberapa pekan terakhir, tekanan terhadap rumah sakit lapangan di sana tentu saja meningkat.

Dengan terputusnya sebagian besar akses ke rumah sakit di Rafah, jumlah kunjungan harian ke unit gawat darurat di fasilitas tersebut meningkat dari sekitar 110 menjadi hampir 300, kata Ali, menggambarkan kasus politrauma dengan patah tulang di setiap bagian tubuh.

Situasi ini diperburuk dengan penutupan sementara dua penyeberangan bantuan utama ke Rafah pada minggu lalu, yang mengganggu pasokan obat-obatan dan bahan bakar untuk generator rumah sakit.

Ali mengatakan bahwa rumah sakit lapangan melihat hal ini dan menyiapkan kelebihan stok, namun belum memperkirakan lonjakan jumlah pasien. "Ini benar-benar di luar kendali. Persediaan kita tidak akan bertahan lama," ujarnya.

Dia mengatakan rumah sakit lapangan sudah mengalami kekurangan barang-barang yang sangat penting. Misalnya, mereka telah kehabisan semua formulasi antibiotik dan obat penghilang rasa sakit untuk anak-anak pada saat sekitar 20 anak sedang dalam masa pemulihan dari operasi.

Kekhawatiran terbesarnya adalah ruang, di mana jumlah operasi besar meningkat dua kali lipat dari rata-rata sebelumnya yaitu sekitar 25 kali sehari. Terdapat juga peningkatan dramatis dalam beban kerja di bangsal bersalin, yang telah meningkat dari sekitar 10 persalinan sehari menjadi sekitar 25 persalinan, dan juga delapan kali operasi caesar.

Ibu hamil tidak bisa mengakses rumah sakit bersalin spesialis di Rafah, sehingga terjadi peningkatan besar jumlah kehamilan dengan komplikasi.

Ali, yang selama 15 tahun berkarier telah bekerja di zona perang mulai dari Afghanistan dan Sudan hingga Nigeria dan Ukraina, mengatakan situasi di Gaza jauh lebih dahsyat. "Jumlah besar kasus trauma, kurangnya sumber daya, terputusnya rantai pasokan. Ini adalah sesuatu yang belum pernah saya lihat," katanya.

Baca Juga

 
Berita Terpopuler