Rentan Alami Kekerasan, Anak-Anak dan Remaja Diserukan Jangan Pacaran

Banyak terjadi kasus kekerasan dalam pacaran.

Pxhere
Anak menyendiri (Ilustrasi). Anak perempuan yang selalu dalam posisi subordinat dan mudah dibujuk serta dimanipulasi dan berujung pada kekerasan dalam pacaran, termasuk hubungan seksual berisiko.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pacaran pada usia anak-anak sebaiknya dihindari untuk menjaga kesehatan mentalnya. Apalagi, banyak terjadi kasus kekerasan dalam pacaran.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengatakan bahwa pacaran merupakan bentuk relasi personal yang membuat satu sama lain bisa belajar untuk saling berkomunikasi, memahami perasaan, berkomitmen memecahkan masalah saling mendukung untuk hal-hal yang positif sekaligus memahami batasan masing-masing. Hanya saja, selama berpacaran justru banyak terjadi kasus kekerasan.

Baca Juga

Nahar menjelaskan, hal menyedihkan dalam kasus kekerasan dalam hubungan pacaran adalah relasi kuasa yang menyebabkan korban, terutama perempuan, sulit menceritakan masalahnya. Mereka berperilaku seperti itu karena berbagai kekhawatiran, seperti diputuskan hubungannya, diancam, atau dipermalukan.

Dalam konteks anak, Nahar menilai perlu ada pendampingan. Sebab, tidak semua anak memahami batasan dan konsekuensi dari hubungan pacaran, apalagi saat berada di masa remaja ketika mereka mengalami perkembangan besar dari sisi biologi, psikologi, sosial, dan emosional.

Nahar menjelaskan bahwa selain memiliki dampak psikologis, kekerasan termasuk dalam kategori tindak pidana, sehingga perlu diwaspadai agar dapat dibuktikan dan diberikan penanganan yang komprehensif. Ia pun menyerukan pacaran pada usia anak-anak sebaiknya dihindari guna memastikan bahwa kondisi mental anak yang belum stabil tidak diganggu oleh ketimpangan relasi.

"Masalah ini harus menjadi perhatian. Umumnya, anak perempuan yang selalu dalam posisi subordinat dan mudah dibujuk serta dimanipulasi dan berujung pada kekerasan dalam pacaran, termasuk hubungan seksual berisiko," kata Nahar dalam webinar "Bedah Buku: Merdeka dari Kekerasan" yang ditayangkan di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).

Nahar menjelaskan, tren data kekerasan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Namun, angka tersebut baru menyentuh satu persen saja dari angka estimasi prevalensi nasional, baik di hasil survei nasional pengalaman hidup anak, remaja, dan perempuan maupun survei pengalaman kekerasan bagi perempuan.

"Masyarakat sudah mulai berani untuk melaporkan, namun demikian dari angka tadi maka satu persen dari jumlah total penduduk yang diestimasikan mengalami kekerasan, itu masih sangat jauh," katanya.

Nahar mengatakan, fenomena gunung es perlu diwaspadai. Semua pihak perlu berkontribusi untuk menangani hal itu.

"Diperlukan upaya komprehensif untuk mengurangi kekerasan, mulai dari membuat regulasi penguatan kapasitas kelembagaan, pergeseran paradigma, dan perspektif yang tidak konstruktif, hingga perubahan perilaku pada diri sendiri," kata Nahar.

 
Berita Terpopuler