Program Bansos Jokowi Dibela di Sidang MK

Program bansos Jokowi jelang pilpres ikut dijadikan dasar oleh para penggugat.

Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo besama hakim konstitusi lainnya memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A

Baca Juga

Di sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini tengah berjalan, baik kubu pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud punya petitum serupa dalam gugatan mereka. Pertama, mereka meminta MK membatalkan keputusan KPU terkait hasil Pilpres 2024. Kedua, diskualifikasi Prabowo-Gibran.

Ketiga, mereka meminta MK memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang Pilpres 2024. Mereka punya alasan serupa mengajukan petitum tersebut, yakni karena menilai pencalonan Gibran bermasalah dan menganggap telah terjadi pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pilpres 2024. 

Program bantuan sosial (bansos) Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang pilpres ikut dijadikan dasar oleh para penggugat. Mereka menilai, gelontoran bansos yang masif jelang pencoblosan menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.

"Dalam konteks kebijakan, Presiden Jokowi melakukan abuse of power dengan cara mempolitisasi bantuan sosial ....," kata Ganjar-Mahfud dalam berkas gugatannya halaman 50.

Gugatan pasangan 01 dan 03 secara maraton dibantah oleh kubu Prabowo-Gibran. Ahli yang dihadirkan kubu Prabowo-Gibran, Hasan Nasbi, membantah kesimpulan gurunya yang menyatakan bantuan sosial (bansos) memengaruhi preferensi politik pemilih.

Menurutnya, pengaruh bansos sangat kecil. Hal itu disampaikan Hasan dalam kapasitasnya sebagai saksi pasangan Prabowo-Gibran dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (4/4/2024).

Hasan mengawali paparannya dengan menyoroti penjelasan gurunya yang menjadi ahli pasangan Ganjar-Mahfud, yakni Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk. Hamdi sebelumnya menyimpulkan bahwa bansos yang disalurkan presiden pejawat (incumbent) berkontribusi 29 persen terhadap perilaku memilih masyarakat sehingga memperbesar tingkat keterpilihannya. Dalam konteks Pilpres 2024, bansos yang disalurkan Jokowi berpengaruh terhadap kemenangan kandidat setengah pejawat Prabowo-Gibran

Kesimpulan itu diambil setelah Hamdi melakukan analisis terhadap 10 hasil riset level Scopus terkait bansos dan perilaku memilih. Menurut Hasan, hasil analisis itu dibaca dengan cara yang salah. Angka 29 persen itu sebenarnya merupakan koefisien korelasi atau hubungan bansos dengan preferensi politik pemilih, bukan pengaruh bansos terhadap preferensi politik pemilih.

Dengan mengacu ke hasil analisis Hamdi itu, Hasan menyimpulkan bahwa pengaruh bansos terhadap pilihan politik masyarakat adalah 29 persen pangkat dua yang berarti 8 persen. Artinya, pengaruh bansos sangat kecil. "Jadi dari 100 bansos, pengaruhnya 8 persen. Kalau nyebar bansos (kepada 100 orang), kira-kira pengaruhnya ke 8 orang," ujar Hasan.

Lebih lanjut, Hasan menyebut berdasarkan pengalamannya sebagai periset statistik selama 18 tahun terakhir, dirinya menemukan bahwa bansos memang tak berpengaruh terhadap keterpilihan calon pejawat (incumbent). Kalau bansos berpengaruh terhadap tingkat keterpilihan, ujar dia, tidak mungkin Jokowi bisa mengalahkan Fauzi Bowo yang merupakan Gubernur DKI Jakarta pejawat dalam Pilgub DKI 2012.

Pasalnya, ujar dia, saat pilkada level provinsi dan kabupaten/kota biasanya calon pejawat juga menyebarkan bansos secara masif. Namun, itu tak berpengaruh.

Jika penyaluran bansos berpengaruh, lanjut dia, tak mungkin pula Ganjar Pranowo sebagai penantang bisa mengalahkan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam Pilgub Jawa Tengah 2013. Begitu pula, Khofifah Indar Parawansa yang bisa mengalahkan calon pejawat Saifullah Yusuf dalam Pilgub Jawa Timur 2018.

"Kalau ada hubungan antara bansos dengan keterpilihan, Anies tidak bisa menang lawan Ahok," kata Hasan merujuk pada Pilgub DKI 2017 ketika Anies sebagai penantang berhasil mengalahkan Ahok yang merupakan gubernur pejawat. 

Hasan menjelaskan, kemenangan calon pejawat biasanya bukan karena bansos, tapi karena dia dianggap lebih baik dari pada penantang. "Kalau calon lawannya dianggap lebih baik, mau kasih bansos berapa pun petahana akan kalah," ujarnya.

Kawal Bansos PPKM - (republika/daan yahya)

 

Sementara, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengakui, penyaluran bansos memberikan insentif elektoral atau memperbesar peluang keterpilihan kandidat dalam pemilu. Namun, insentif elektoral itu lebih banyak didapatkan caleg, ketimbang pasangan capres-cawapres.

Penjelasan tersebut diutarakan dalam rangka membantah dalil kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud soal Jokowi mempolitisasi bansos untuk memenangkan Prabowo-Gibran. "Setiap program bansos pun, terus terang saja, lebih condong dimanfaatkan insentif elektoralnya oleh anggota legislatif daripada, kebetulan sama Komisi VIII, misalnya dikaitkan langsung dengan proses pilpres," kata Ace.

Menurut politikus Partai Golkar itu, anggota dewan Komisi VIII yang ikut mengawasi penyaluran bansos yang mendapat insentif elektoral, bukan capres. "Kemarin kita mendengar istilah pork barrel politics (politik gentong babi) justru kecenderungannya lebih banyak terjadi pada pemilihan legislatif dibandingkan dengan, mohon maaf, dalam konteks pemilihan presiden," tutur Ace.

Dalam kesempatan itu, Ace juga  membeberkan postur anggaran perlindungan sosial, termasuk bantuan sosial (bansos) dan bantuan El Nino. Dia menyebut semua anggaran perlinsos itu disepakati oleh semua fraksi di DPR, termasuk partai-partai pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

"Kami tegaskan bahwa intinya semua proses penyusunan program bantuan sosial ini telah melalui proses, setidaknya yang kami alami di Komisi VIII beserta mitra kami di Kemensos berupa program-program bantuan sosial tersebut," ujarnya.

Terkait penerima bansos, kata Ace, penyalurannya mengacu pada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Dia menyebut DTKS berasal dari Pemda dan sudah diverifikasi pada semua tingkatan. Karena itu, dia meyakini tidak ada politisasi bansos di Pilpres 2024.

Apalagi, lanjut dia, Mensos Tri Rismaharini yang memegang kendali data penerima bansos berasal merupakan kader PDIP. Partai berlogo banteng moncong putih itu merupakan partai utama pengusung Ganjar-Mahfud.

"Program ini, proses penyalurannya harus diketahui oleh kita semua. Rasanya tidak mungkin ada pesan-pesan politik karena langsung diberikan pada penerima bantuan yang mengacu pada DTKS," ujarnya.

 

Sebelumnya pada Rabu (3/4/2024), Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah Nur Kholiq juga menyatakan, Presiden Jokowi tidak ada melakukan pelanggaran kampanye berupa pembagian bantuan sosial (bansos) di Jawa Tengah. Dia menyampaikan hal tersebut usai kuasa hukum Ganjar-Mahfud mempertanyakan apa yang dilakukan Bawaslu atas tindakan Jokowi bagi-bagi bansos di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah saat masa kampanye yang diduga untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

"Sampai hari ini tak ada temuan ataupun laporan berkaitan dengan bagi-bagi bansos dan maupun kunjungan Presiden Jokowi di Jawa Tengah," ujar Nur Kholiq merespons pertanyaan tersebut.

Ihwal Presiden Jokowi disebut berkunjung ke sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, Nur Kholiq menyebut bahwa jajarannya telah melakukan pengawasan. Hasilnya, tidak ditemukan duhaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

"Tidak ada (juga) laporan yang secara resmi diterima oleh Bawaslu Provinsi Jateng maupun KPU-Bawaslu kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah," ujarnya.

Selain melakukan pengawasan langsung dan menampung laporan, lanjut dia, jajaran Bawaslu Jawa Tengah juga melakukan imbauan kepada setiap pejabat negara yang berkegiatan di provinsi tersebut. Imbauan berisi agar pejabat negara tidak melakukan kegiatan yang bermuatan kampanye.

Dalam kesempatan sama, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja juga menyampaikan penjelasan ihwal pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Mentari Pertahanan yang juga capres Pilpres 2024, Prabowo Subianto. Jokowi dan Prabowo diketahui bertemu dua makan bersama sebanyak dua kali di depan publik saat masa kampanye, yakni di Jakarta dan Magelang, Jawa Tengah.

Bagja menyebut, pihaknya kesulitan menindak kegiatan tersebut karena terjadi antara presiden dan menterinya. Penindakan baru bisa dilakukan apabila keduanya melakukan kampanye.

"Kami juga tidak bisa menyatakan, 'ini rasa-rasanya melakukan kampanye'. Rasa itu tidak bisa diadili," kata Bagja.

Lagi pula, kata Bagja, Presiden Jokowi bukan peserta pemilu, tidak juga bagian dari tim kampanye, tidak pula mengajak masyarakat untuk memilih. Kalau salah satu dari tiga hal itu ada, barulah bisa dilakukan penindakan.

Bantuan Sosial - (Republika)

 
Berita Terpopuler