Ramadhan di Beijing dan Kerinduan Terhadap Tempe Mendoan

Di Indonesia, Ramadhan begitu disambut kedatangannya.

Instagram/Ameera
Jurnalis Republika, Kamran Dikarma, menjadi wakil Indonesia dalam program China International Press Center (CIPC) 2024 di Beijing, China.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Jurnalis Republika, Kamran Dikarma dari Beijing, Cina

BEIJING -- Menjalankan puasa Ramadhan di negara mayoritas non-Muslim ternyata melahirkan pengalaman yang sama sekali berbeda. Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menyambut dan harus melewati masa Ramadhan di negeri orang, yakni Cina. 

Baca Juga

Perlu diakui, suasana menjadi salah satu pembeda terbesar antara Ramadhan di Cina dan di Indonesia. Di Indonesia, Ramadhan begitu disambut kedatangannya. 

Suasana Ramadhan bahkan sudah akan terasa sebelum bulan suci itu tiba. Misalnya, dengan munculnya iklan sirup di televisi. 

Iklan sirup seperti sudah berubah menjadi penanda atau gejala bagi datangnya Ramadhan di Tanah Air. Kalau dipikirkan sejenak, betapa lucu dan uniknya bagaimana iklan sirup dikaitkan dengan Ramadhan. Tapi hal itu seperti sudah dipercayai sebagai fakta: bahwa ketika iklan sirup tayang di televisi, artinya Ramadhan segera tiba.

Sementara itu, berbagai wilayah di Indonesia mempunyai cara dan tradisi masing-masing dalam menyambut datangnya Ramadhan. Pawai obor adalah salah satu tradisi yang paling umum dan kerap menjadi objek peliputan media. Pawai bisa diikuti ribuan orang, mulai dari anak-anak, bahkan terkadang hingga pejabat tingkat daerah.

Suasana dan semarak seperti itu yang tidak...

Suasana dan semarak seperti itu yang tidak saya alami pada Ramadhan tahun ini. Di Cina, tepatnya di Beijing tempat saya tinggal, aktivitas warga berjalan seperti biasa. Mungkin sebagian besar dari mereka bahkan tidak tahu bahwa Ramadhan telah tiba. Tapi tentu saya maklum.

Salah satu hal yang ternyata perlu saya lakukan ketika menjalani Ramadhan di Beijing adalah mencari jadwal sholat, termasuk di dalamnya terkait waktu imsak dan iftar. Sebab berbeda dengan di Indonesia, di sini tak ada badan keagamaan khusus yang merilis jadwal semacam itu. Beruntung, saya sempat memperbincangkan hal tersebut dengan jurnalis Muslim asal Malaysia yang tengah mengikuti program sama seperti saya.

Dari dia saya memperoleh jadwal waktu imsak dan iftar. Jadwal tersebut dirilis oleh pengurus Masjid Niujie, yakni masjid tertua di Beijing. 

Sebagai informasi, perbedaan waktu antara Beijing dan Jakarta hanya satu jam. Beijing berada pada posisi lebih cepat.

Selama beberapa hari menjalankan puasa Ramadhan di Beijing, suasana sahur begitu sunyi. Karena tak ada lantunan tilawah atau seruan membangunkan warga untuk santap sahur seperti yang biasa saya dengar ketika berada di rumah.

Sementara ketika iftar, sejauh ini saya...

 

Sementara ketika iftar, sejauh ini saya selalu berbuka hanya dengan buah dan air putih. Karena saya tinggal di sebuah apartemen di area diplomatik. 

Selain berbagai kedutaan besar, di sekitar apartemen saya hanya ada jejeran restoran dan beberapa minimarket serta supermarket. Kebanyakan restoran pun menyajikan menu non-halal. 

Namun, tentu ada beberapa restoran Muslim atau halal yang tersebar di Beijing. Salah satu yang terdekat dari apartemen saya berjarak sekitar satu kilometer.

Pada situasi ini, tentu segera muncul perasaan rindu dengan berbagai macam penganan dan minuman yang banyak dijajakan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta sebelum waktu berbuka tiba. Mulai dari tempe mendoan hingga risol, es kelapa hingga sop buah. Beragam, tinggal pilih saja sedang mau makan dan minum yang mana.

Pengalaman perdana berpuasa di negeri orang, terlebih di negara dengan mayoritas penduduknya non-Muslim, mengajarkan saya perlunya mensyukuri keberadaan hal-hal kecil. Bahwa dalam situasi jauh dari rumah, kita sangat bisa merindukan sesuatu yang sebelumnya mungkin selalu dianggap atau dipandang biasa. Pada momen ini, misalnya, saya merindukan nikmatnya sepotong tempe mendoan hangat yang biasa saya santap ketika waktu berbuka tiba.

 
Berita Terpopuler