Terungkapnya Kode-Kode Khusus dalam Praktik Pungli di Rutan KPK

Hari ini sebanyak 15 tersangka praktik pungli di rutan KPK ditahan.

Republika/Rizky surya
Suasana sidang etik kasus pungli rutan KPK yang digelar oleh Dewan Pengawas KPK pada Kamis (15/2/2024).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Dadang Kurnia

Baca Juga

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan sebanyak 15 tersangka pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK sendiri. Ternyata mereka memakai kode tersendiri dalam menjalankan aksi kriminalnya. 

Sebanyak 15 tersangka yaitu Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi dan pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta Hengki. Lalu ada enam pegawai negeri yang ditugaskan (PNYD) di KPK Deden Rochendi, Sopian Hadi, Ristanta, Ari Rahman Hakim, Agung Nugroho, dan Eri Angga Permana.

Sedangkan tujuh orang lainnya ialah petugas pengamanan Rutan cabang KPK yaitu Muhammad Ridwan, Suparlan, Ramadhana Ubaidillah A, Mahdi Aris, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ricky Rachmawanto. Semua tersangka ditahan di Rutan Polda Metro Jaya per hari ini. 

Berdasarkan penyidikan, tim KPK menemukan adanya kode yang dipakai para tersangka saat melancarkan aksi pungli mereka. Salah satu kode yang dipakai ialah "banjir" guna menandakan adanya sidak. 

"HK (Hengki) dkk dalam melancarkan aksinya menggunakan beberapa istilah atau password di antaranya banjir dimaknai info sidak," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat (15/3/2024). 

Bahkan, para tersangka menggunakan istilah berkaitan hewan seperti kandang burung dan pakan jagung. "Kandang burung dan pakan jagung dimaknai transaksi uang, dan botol dimaknai sebagai handphone dan uang tunai," lanjut Asep.

Selain itu, ada istilah 'lurah’ yang digunakan para tersangka. Lurah merupakan orang yang ditugaskan mengumpulkan dan membagikan uang pungli dibantu koordinator tahanan (korting). 

Jabatan 'lurah' di rutan cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur diemban oleh tersangka Muhammad Ridwan (MR). Adapun tersangka Mahdi Aris (MHA) bertindak sebagai 'lurah' di rutan cabang KPK pada Gedung Merah Putih dan tersangka Sopian Hadi (SH) bertugas sebagai 'lurah' di rutan cabang KPK pada Gedung ACLC.

"Kaitan sebutan ‘korting’ adalah perwakilan para tahanan yang ditugaskan sebagai pengumpul sejumlah uang dari para tahanan," ujar Asep.

Karikatur Opini Republika : Pungli KPK (Lagi) - (Republika/Daan Yahya)

 

Sistem ‘korting’ tersebut digagas oleh Hengki dan diteruskan Achmad Fauzi ketika menjabat sebagai karutan pada 2022. Uang pungli tersebut membuat para tahanan memperoleh fasilitas khusus di rutan seperti percepatan masa isolasi, layanan menggunakan handphone dan power bank hingga informasi sidak. 

"Uang itu mesti diberikan, jika tidak, tahanan akan dikunci di kamarnya. Selain itu, tahanan mendapatkan tugas kebersihan lebih banyak. Besaran uang untuk mendapatkan layanan-layanan tersebut bervariasi, dan dipatok mulai dari Rp 300 ribu sampai dengan Rp 20 juta," ucap Asep.

Uang itu diserahkan ke rekening penampung sebelum disebar ke pegawai KPK. Adapun para pegawai nakal ini meraup pundi rupiah Rp 500 ribu hingga Rp 10 juta akibat ulah koruptifnya. 

Tercatat, pungli ini terjadi mulai 2019 hingga 2023. KPK mengestimasi uang haram yang diraup para pegawai mencapai Rp 6,3 miliar.

Para tersangka ini disebut KPK melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Awalnya, kasus pungli ini didapati Dewas KPK lewat temuan awal hingga Rp 4 miliar per Desember 2021 sampai Maret 2023. Uang haram tersebut diduga berhubungan dengan penyelundupan uang dan ponsel bagi tahanan kasus korupsi. Dewas KPK lantas melakukan rangkaian pemeriksaan etik. Dari proses itu, ditemukan jumlah uang pungli di Rutan KPK ditaksir di angka Rp 6 miliar sepanjang 2018-2023.

 

KPK didera persoalan - (Republika/berbagai sumber)

Saat kasus pungli di rutan KPK pertama kali diungkap oleh Dewas KPK pada Januari lalu, lembaga swadaya masyarakat langsung menyoroti adanya krisis integritas di lembaga antirasuah. Penelitis Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut, awal mula terbongkarnya praktik korup puluhan pegawai rutan bermula dari pengusutan dugaan pelanggaran kode etik perbuatan asusila petugas KPK dengan istri seorang tahanan. Dari sana, Dewas KPK kemudian menemukan indikasi adanya pungli yang marak terjadi di rutan KPK. 

"Modusnya pun terbilang profesional, karena aliran dana tidak secara langsung mengalir ke rekening pelaku, melainkan berlapis atau menggunakan pihak lain," ujar Kurnia.

Kurnia mengamati problematika integritas pegawai maupun Pimpinan KPK memang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Kurnia menyebut masyarakat terus disuguhkan rentetan pelaporan dugaan pelanggaran kode etik ke Dewas KPK terkait tindakan memalukan oknum-oknum KPK.

"Padahal, lembaga antirasuah itu selama ini dikenal sebagai contoh dan patron integritas oleh masyarakat," ujar Kurnia. 

Sosiolog Universitas Airpangga (Unair) Ari Wibowo mengatakan, pungutan liar adalah fenomena yang telah lama ada di berbagai Rutan. Ari melanjutkan, pungutan liar yang terjadi di Rutan KPK tentu saja menjadi hal yang sangat riskan, karena meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Padahal, KPK adalah rumah yang seharusnya melakukan pemberantasan terhadap rasuah, namun korupsi justru terjadi di dalamnya.

"Hal ini terjadi semakin kuat semenjak kepemimpinan Firli (Bahuri). Sebetulnya hal ini bisa dilihat secara terang, bagaimana Firl menjadi tersangka. Maka tidak perlu kita membicarakan bawahannya yang tidak terlihat. Secara riil saja karena pasti korupsi itu dilakukan secara kolektif," ujarnya.

Ia menegaskan, belum pernah ada kejadian semacam ini sepanjang sejarah KPK. Maka diperlukan perubahan mendasar dimulai dari Undang-Undang.

"Saat ini Undang-Undang KPK berada di bawah presiden, sehingga kasus yang berada di KPK harus sesuai kehendak presiden. Apakah akan diteruskan, diperjelas, diselesaikan, ataukah dilepas dan dibiarkan," ucapnya.

Ari berpendapat, seharusnya struktur KPK diubah menjadi independen kembali. Apalagi saat ini berdasarkan survei, masyarakat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap KPK.

"Sudah tidak ada cara lagi selain merombak Undang-Undang, merombak pemimpin, menggantinya dengan yang baru. Perlu penggalian lebih mendalam, desakan oleh masyarakat atau ultimatum tokoh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat demi kebaikan dan keberlangsungan masa depan KPK itu," ucapnya.

 

Komik Si Calus : Pungli - (Republika/Daan Yahya)

 
Berita Terpopuler