Negara Mafia: Teringat Jongens Vervolgh School dan Meneer van Brughen di Masa Trikora

Kenangan Jongens Vervolgh School dan Meneer van Brughen di Masa Trikora

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Masyarakat Yapen, 1917. Foto KTLV)

Oleh: Alex Runggeary, Penulis dan Peneliti Politik.

Pada akhir 1975 saya mendapatkan kesempatan dari kantor The Irian Jaya Joint Development Foundation (JDF) untuk mengikuti kursus di Lembaga Pengembagan Ekonomi Universitas Indonesia Salemba. Nama kursus tepatnya saya lupa. Tapi isinya tentang bagaimana menghitung berapa jumlah kaleng tempe yang perlu diproduksi agar biayanya minimal tetapi hasilnya maksimal.

Jangan sampai terjadi kenaikan produksi dan penjualan semakin tinggi tetapi sesungguhnya hasil akhirnya semakin menurun. Hari ini kalau saya disuruh hitung lagi, saya lupa cara menghitungnya. Saking lama berlalu. Ataukah saya memang bloon? Entahlah !

Waktu itu saya baru saja tamat dari Universitas Cenderawasih pada awal tahun yang sama dan segera sesudahnya saya dipanggil wawancara langsung dengan Chief Executive JDF waktu itu Mr. Karl Skijerdal.

Skjrdal asal Norway dengan latar belakang, Word Bank, Senior Financial Advisor dari New York. Pada saat itu saya menggunakan bahasa Inggris saya yang terbaik. Saya memang telah belajar ekstra keras untuk menguasai bahasa ini. [Kisah ini ada buku saya: Malam Sakura, Alex Runggeary 2016]


Sebelum berangkat ke Jakarta, teman teman dan saudara saudara saya memberi nasihat, "Kamu hati-hati disana. Banyak orang jahat. Ada Pencopet dan Pembunuh" Walaupun ketika di Kampus saya termasuk tak mudah ditakuti orang, karena mengandalkan ban-biru Karatekaku. Tapi kini ketika akan pergi jauh rasa takut itu singgah juga akhirnya.

"Dan ingat, walau orang Papua sekalipun, mereka sudah lama hidup disana, jadi mereka juga jadi penipu. Jangan mudah terjebak" Saya ada rasa grogi juga.

Setibanya saya di Jakarta, atas bantuan bosku di kantor, saya boleh tinggal bersama salah satu keluarganya, pensiunan RRI, di seputar daerah Senen. Waktu itu Pasar Senenlah yang paling keren karena memang ia satu-satunya tipe pasar modern dengan berbagai penjual di dalamnya.

Di Pasar Senen saya menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang menagih keliling kepada pemilik Los jualan. Demikian juga ketika mengamati terminal angkot dan bis tak jauh dari sana. Suara-suara keras, tajam dan mengancam. Wajah seram berkeliaran kesana kemari seperti siap menyerang. Belum lagi wajah pengemis kumuh memelas.

Ternyata Indonesia tak seindah dalam benak saya ketika masa Trikora dulu. Disini orang hidup penuh perjuangan. Untuk hidup mereka berani melakukan apa saja. Termasuk kejahatan. Tidak seperti pasar Abepura, Jayapura yang lebih ramah terhadap orang-orangnya. Sangat kontras situasinya bila dibayangkan.


Jauh sebelum ini, pada tahun 1960-62, saya bersekolah di Jongens Vervolgh School (JVVS) Blijdorp Serui. Disini awal pendidikan disiplin yang tak ada duanya. Bukan dengan kekerasan tetapi melatih kesadaran. Mana yang baik, mana yang bukan.

Pada suatu hari, namaku tercantum pada papan pengumuman. Saya telah melakukan pelanggaran, dan hari itu saya mendapat hukuman, tak boleh keluar Asrama sore itu, seperti biasanya untuk jalan-jalan ke kota.

Asrama kami memang agak jauh dari kota. Saya harus tinggal bersama beberapa teman yang juga melakukan pelanggaran yang berbeda, mencabuti rumput di halaman rumah Meneer van Brughen, kepala sekolah. "Apa salahku?"

Ternyata tadi pagi sebelum masuk kelas, aku mengejar pesawat kertas yang nyasar masuk ke areal terlarang - hamparan rerumputan hijau - halaman Asrama yang luas itu. Menginjak rumput adalah dosa. Saking tertibnya. Rumput saja tak boleh diinjak. Rumput ini memang sengaja ditanam untuk memperindah. Namanya saja Blijdorp - Kampung Gembira. [The Darkened Valley, 2017, Alex Runggeary]


Seputaran tujuh tahun lalu, ada berita tentang bagaimana kerja - Mafia Minyak - di Pertamina. Demikian juga kasus - Mafia Impor Daging Sapi - Pihak tertentu " mencuri dengan cara sengaja. Dan ini jelas jelas merugikan negara.

Seperti kata Stephen King ketika ditanya, "Do you write down whatever you think to be your next writing project?" Ia menjawab pasti, " Oh, that thing. You know, the important things will come back to your mind again and again, without you're aware of it".

Hal hal penting akan selalu berulang muncul dibenakmu tanpa Anda menyadarinya. Jadi ia tak sedikitpun membuat catatan sebagaimana kebanyakan dari kita. Stephen King nama yang tak asing bagi mereka yang setia mengikuti kisah fiksi kontemporer Amerika. Ia salah satu rasanya.


Judul tulisan ini - Negeri Mafia - adalah rencana salah satu buku saya yang saya tulis setelah membaca kasus Mafia Minyak. Mengapa orang mencuri dari negeri yang pada dasarnya miskin ini. Saya mengambil dua saja faktor penting yaitu kemajuan ekonomi dan melek aksara dari negara tetangga Malaysia dan Singapore dan memandingkannya dengan Indonesia. Ternyata tidak mengejutkan karena kita memang tertinggal jauh. Lalu mengapa kita rajin mencuri?

Hari ini kisruh Pilpres, Pelanggaran Etik Ketua MK, Pelanggaran Etik Ketua KPU, Penggebosan Konstitusi, Demokrasi dan Hukum, Politik Dynasti bukankah awal kearah otoriter? ( Otoritarian Legalism) Saya jadi teringat Vitto Corleone dalamThe Godfather.

Jangan-jangan ................!!!!!!??????

Bandar Lampung, 9 Maret 2024

 
Berita Terpopuler