Pola Makan Anda Seperti Ini? Waspada Ancaman Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal disebut juga kanker usus.

www.pixahive.com
Sakit perut (ilustrasi). Kanker kolorektal banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker kolorektal atau kanker usus disebabkan oleh sejumlah faktor, baik yang bersifat genetik maupun gaya hidup. Pola makan termasuk salah satu faktor gaya hidup yang berpengaruh pada kasus kanker usus.

"Kemudian ada risiko akibat pola makan, seperti makan diet tinggi protein, terutama daging ataupun daging yang diproses, alkohol, makanan tinggi zat besi, keju, lemak, gula," ujar dokter-konsultan bedah digestif dari Rumah Sakit Kanker Dharmais Ariansah Margaluta dalam dalam "Webinar Tentang Pentingnya Awareness Kanker Kolorektal" yang disiarkan di Jakarta, Rabu (21/2/2024).

Dokter Ariansah mengatakan, yang menjadi isunya bukan protein, karena protein justru sangat baik untuk metabolisme dan pertumbuhan. Namun, masalahnya ialah proses saat makanan itu dimasak dan diawetkan.

Dokter Ariansah menjelaskan, kanker kolorektal banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Hal tersebut, ada kaitannya dengan relasi sosioekonomi dan daya beli masyarakat.

"Pada negara-negara yang mulai bertransisi dengan high development index, yang rendah menjadi yang lebih tinggi, orang memiliki penghasilan yang lebih baik, memiliki akses terhadap makanan yang lebih baik, tentunya para akan memilih makanan yang lebih instan. Dan itu mulai terjadi di seluruh negara," ujarnya.

Menurut dr Ariansah, restoran cepat saji muncul di Indonesia setelah diketahui bahwa masyarakatnya mampu membeli makanan-makanan sejenis itu. Di Asia Tenggara, kanker kolorektal menelan nyawa 10 dari 100 ribu penduduk, dan menjadi kanker penyebab kematian terparah setelah kanker paru-paru.

Baca Juga

Dokter Ariansyah mengatakan, dengan daya beli yang tinggi, masyarakat cenderung tidak berolahraga, dan memilih untuk berpergian dengan transportasi daring. Padahal, aktivitas fisik sangat penting guna proses regenerasi sel yang baik.

"Padahal, di dalam kampanye pencegahan kanker, aktivitas fisik itu perlu dilakukan minimal 30 menit," katanya.

Dokter Ariansah mengatakan, adapun faktor lainnya, yaitu merokok atau vape, radang usus, atau penyakit-penyakit keganasan lainnya. Faktor genetik juga dapat memengaruhi, namun lebih sedikit dibandingkan faktor-faktor risiko lainnya.

"Yang genetik itu hanya 20 persen. Yang sporadis itu 80 persen. Rata-rata pasien datang dengan kanker yang sifatnya sporadis. Artinya, faktor risiko itu bisa dihindari sebetulnya," kata dia.

 
Berita Terpopuler