Menyikapi Menang dan Kalah dalam Kontestasi Apapun

Jangan sampai Allah SWT menurunkan murka-Nya, sebelum manusia itu sadar dan mengakui kesalahannya.

network /Mursalin Yasland
.
Rep: Mursalin Yasland Red: Partner

Hamparan dunia. (Ilustrasi Foto: Sumatralink/Mursalin Yasland)

Sumatralink.id -- Tak ada yang abadi di dunia ini. Tak ada yang kekal. Semua akan berakhir sesuai dengan waktunya. Jejak yang rahmatan lil’alamin yang tetap akan dikenang lintas zaman, meskipun sudah tidak ada lagi figur orangnya.

Dalam setiap kontestasi, sudah pasti ada pihak yang menang dan pihak kalah. Kemenangan dan kekalahan yang seperti apa yang harus kita sikapi? Bukankah di dunia ini terhampar luas nikmat Allah SWT, tinggal lagi kemauan kita seperti apa, dalam menghadapi takdir yang telah ditetapkan Allah SWT.

Kehidupan di dunia ini berputar. Terkadang ada yang di atas dan di bawah, atau sebaliknya. Atau kehidupan seseorang terkadang oleh dirinya harus terus berjuang untuk mencapai kemapanan, dan terkadang juga banyak orang yang terus berada di puncak kejayaan untuk mempertahankan posisinya.

Silih berganti siang dan malam, pagi dan petang, kaya dan cukup, atasan dan bawahan, senang dan susah, termasuk menang dan kalah, tak seorang pun dapat menghalaunya, apalagi mengubahnya. Manusia hanya berbuat tetapi Allah SWT yang berkehendak. Semuanya sudah tertulis di kitab Lauhul Mahfudz 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan.

“Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semenjak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim).

Dengan apa menulisnya, ya dengan qolam (pena). “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qolam (pena), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tulislah?’ Ia menjawab, ‘Apa yang harus aku tulis?’ Dia menjawab, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari kiamat tiba’,” (HR. Muslim 2.044).

Jadikan menang dan kalah, lulus dan tidak lulus, naik dan tidak naik, sebagai bahan muhasabah bagi diri kita. Semua yang terjadi ini, ingat hanya kehendak Allah SWT, tinggal lagi apakah takdir yang kita terima itu diridhoi Allah atau tidak, itu persoalan? Kalau niatnya tulus, in shaa Allah diridhoi, tapi kalau niatnya tidak tulus, siap-siap menunggu akhirnya.

Bagaimana menyikapi hal itu? Ada dua hal yang menarik bagi umat Islam. Tatkala mendapat musibah ia bersabar, tatkala mendapat kenikmatan ia bersyukur. Bagi yang menang cepatlah bersyukur atas nikmat-Nya, dan yang kalah cepatlah bersabar juga atas nikmat-Nya.

“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; Jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim No.2999).


Jembatan dunia. (Ilustrasi Foto: Sumatralink/Mursalin Yasland)

Sebagai manusia biasa, kita tidak perlu mencari “kambing hitam” dan tidak perlu saling menyalahkan, apalagi mencela dan menuding di sana dan sini diumbarkan di media sosial. Semua yang di bumi ini sudah berotasi alami sesuai dengan kehendak-Nya. Menang jangan jumawa, dan kalah jangan bersedih. Boleh jadi baik bagimu belum tentu baik bagi Allah, atau sebaliknya boleh jadi buruk bagimu tapi di hadapan Allah SWT itu baik.

Seperti pada tata surya berotasi pada jalurnya tanpa bertabrakan. Angin berhembus sesuai musimnya. Gunung beradaptasi dengan kandungannya. Hutan-hutan bervegetasi dengan ekosistemnya. Hujan yang turun ke bumi sesuai kadarnya. Lereng gunung, bukit, lembah membentuk secara natural aliran sungai dan danau, serta bermuara ke laut. Semua atas ketentuan-Nya, apalagi hanya kehidupan manusia.

Lantas siapa yang harus disalahkan? Lebih tepatnya diri kita sendiri selaku manusia yang salah bukan kehidupan dunia, apalagi menyalahkan ketentuan Allah SWT. Manusia memang wujudnya tamak dan serakah kepada kehidupan dunia. Keinginan meraih sesuatu kenikmatan dunia, lalu segala cara tidak halal dan tipu muslihat dilakukan. Ini yang tidak baik.

Sehingga sikap saling hormat menghormati tua dan muda, saling tolong menolong si kaya dan cukup, saling nasehat menasehati dalam kebaikan sudah menjadi barang langka. Ketika hal tersebut hilang dari peradaban manusia, maka kemurkaan Allah lambat laun akan turun. Jangan sampai Allah SWT menurunkan murka-Nya, sebelum manusia itu sadar dan mengakui kesalahannya.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (QS. Ar-Rum (30):41).

Ulama Muhammad Shalih Utsaimin mengatakan, “Kebanyakan manusia menganggap bahwa musibah (apapun namanya) yang menimpa mereka disebabkan faktor-faktor duniawi semata. Tidak diragukan bahwa ini merupakan tanda kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”

Sudahkah kita bermuhasabah (mengkoreksi) diri sendiri sejenak? Munculkan pertanyaan demi pertanyaan dalam diri kita terkait perbuatan kita selama ini. Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dengan hati. Sadarkan jiwa ini sedini mungkin, agar Allah yang menguasai jagat alam ini dapat menahan kemurkaannya kepada kita dan lingkungan kita.

Selama ini kita selalu lupa atau lalai. Tatkala mendapat kenikmatan dunia kita tidak bersyukur, namun saat ditimpa kekalahan atau musibah dan cobaan atau ujian, diri kita yang hina ini baru mampu mengingat Allah SWT.

Bermohonlah (berdoalah) di dunia ini dengan shalat dan sabar. “Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah SABAR dan SHALAT sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Wallahu’alam bishawab. (Mursalin Yasland)

 
Berita Terpopuler