Putin Lebih Pilih Biden Menangkan Pilpres AS karena Lebih Mudah Diprediksi

Biden dinilai lebih berpengalaman dalam berpolitik.

EPA-EFE/GAVRIIL GRIGOROV
Russian President Vladimir Putin attends an interview with US journalist Tucker Carlson at the Kremlin in Moscow, Russia, 06 February 2024 (issued 09 February 2024).
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan, negaranya lebih condong memilih Joe Biden untuk kembali mengisi kursi nomor satu di Gedung Putih. Dia menyebut Biden lebih berpengalaman daripada Donald Trump yang kemungkinan akan menjadi lawannya dalam pemilihan presiden (pilpres) AS pada November mendatang.

Baca Juga

“Biden, dia lebih berpengalaman, lebih mudah diprediksi, dia adalah politisi dari formasi lama. Tapi kami akan bekerja sama dengan pemimpin AS mana pun yang dipercaya oleh rakyat Amerika,” kata Putin dalam sebuah wawancara dengan seorang koresponden televisi pemerintah Rusia saat menjawab pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi pilihan lebih baik antara Biden dan Trump dari sudut pandang Moskow, Rabu (14/2/2024).

Putin pun sempat ditanya tentang kondisi kesehatan Biden yang mulai dipertanyakan dan dikhawatirkan beberapa pihak. “Saya bukan seorang dokter dan menurut saya tidak pantas untuk mengomentari hal itu,” ujarnya.

Kendati demikian, Putin berpendapat, isu tentang kesehatan Biden muncul ketika kampanye pemilu semakin cepat di AS dan arah yang diambil semakin tajam. Putin menambahkan, isu kesehatan Biden juga beredar ketika mereka berdua bertemu di Swiss pada Juni 2021. Namun, Putin menekankan, saat itu dia melihat kondisi Biden cukup sehat.

“Mereka berbicara tentang dia (Biden) yang tidak mampu, tapi saya tidak melihat hal seperti itu. Ya, dia mengintip surat-suratnya. (Tapi) sejujurnya, saya (juga) mengintip surat-surat saya, bukan masalah besar,” kata Putin.

Namun terlepas dari kondisi kesehatannya, Putin merasa memang ada kebijakan-kebijakan dari pemerintahan Biden yang salah. Hubungan AS-Rusia merosot ke level terendah sejak berakhirnya Perang Dingin. Hal itu salah satunya dipicu oleh konflik di Ukraina. Washington diketahui menjadi pendukung utama Kiev dalam perang tersebut. “Saya yakin posisi pemerintahan saat ini sangat cacat dan salah, dan saya telah memberi tahu Presiden Biden tentang hal itu,” ujar Putin.

Putin kembali menegaskan alasannya mengerahkan pasukan ke Ukraina adalah untuk melindungi keamanan nasional Rusia. Sebab Kiev berupaya bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Selain itu, Putin berpendapat bahwa Moskow terpaksa mengambil tindakan setelah Kiev dan sekutu-sekutunya menolak memenuhi perjanjian tahun 2015 yang memberikan lebih banyak kekuasaan ke wilayah di Ukraina timur, tempat kelompok separatis yang didukung Moskow melancarkan pemberontakan pada 2014. 

“Kami hanya bisa menyesal karena kami tidak bertindak lebih awal, karena mengira kami berurusan dengan orang-orang baik,” ucap Putin.

Bulan lalu, ICJ menolak hampir....

 

 

 

Bulan lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) menolak hampir seluruh klaim Ukraina yang menyebut Rusia melanggar Konvensi Internasional untuk Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Kiev menuduh Moskow mendanai kelompok separatis di wilayah Ukraina timur, yakni Luhansk dan Donetsk.

Dalam putusannya pada 31 Januari 2024, Presiden ICJ Joan Donoghue mengatakan, Rusia belum memenuhi kewajibannya hanya pada satu ketentuan konvensi. “Rusia gagal memenuhi kewajibannya untuk melakukan penyelidikan terhadap individu-individu yang diduga mendanai terorisme di Ukraina,” ujarnya, dikutip laman Anadolu Agency.

ICJ mengungkapkan, hanya bantuan tunai yang dapat dianggap sebagai dukungan bagi kelompok yang diduga teroris berdasarkan ketentuan konvensi internasional mengenai pendanaan terorisme. “(Ini) tidak termasuk cara-cara yang digunakan untuk melakukan aksi terorisme, termasuk senjata atau kamp pelatihan,” kata ICJ dalam putusannya

“Akibatnya, dugaan pasokan senjata ke berbagai kelompok bersenjata yang beroperasi di Ukraina... berada di luar cakupan materi konvensi ICSFT (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism),” tambah ICJ.

Ukraina juga menuding Rusia melakukan diskriminasi rasial sehubungan dengan perlakuannya terhadap minoritas Tatar dan penutur bahasa Ukraina di wilayah Krimea. Namun ICJ menolak tuduhan tersebut. “Pengadilan menolak semua klaim Ukraina lainnya sehubungan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,” demikian bunyi putusan ICJ.

Kendati demikian, ICJ menambahkan bahwa Rusia, dengan menerapkan sistem pendidikannya di Krimea setelah tahun 2014 (pasca pencaplokan Krimea,-red), sehubungan dengan pendidikan sekolah dalam bahasa Ukraina, telah melanggar kewajibannya berdasarkan Pasal 2 dan 5 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Dalam tuntutannya, Kiev juga meminta Rusia memberikan kompensasi kepada seluruh warga sipil yang terjebak dalam konflik di wilayah timur Ukraina. Kiev pun menuntut Rusia membayar kompensasi kepada para korban Malaysia Airlines MH17 yang ditembak jatuh di wilayah timur Ukraina pada Juli 2014. Namun ICJ tak mengabulkan gugatan tersebut. “(ICJ) menolak semua pengajuan lain yang dibuat oleh Ukraina,” katanya.

Kasus terkait gugatan Ukraina kepada Rusia dimulai pada 2017 dan telah berlangsung lama di Aula Besar Kehakiman ICJ. Ribuan halaman dokumen diserahkan kepada panel hakim selama persidangan. Pada 2017, ICJ menolak permintaan awal Kiev mengenai tindakan darurat untuk menghentikan pendanaan Rusia terhadap kelompok separatis di wilayah timur negaranya.

Putusan ICJ final atau tanpa banding dan bersifat mengikat. Namun ICJ tak memiliki kuasa untuk menegakkan putusannya.

 
Berita Terpopuler