Utusan Afsel untuk PBB: Rafah Berubah Jadi 'Kamp Pengungsi de Facto'

Afsel menilai serangan ke Rafah berarti Israel mengabaikan perintah ICJ.

AP Photo/Hatem Ali
Warga Palestina menyaksikan kehancuran akibat serangan Israel di Jalur Gaza di Rafah pada Senin, 12 Februari 2024.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Wakil perwakilan tetap Afrika Selatan untuk PBB menyatakan keprihatinannya atas kemungkinan serangan Israel terhadap kota Rafah di Jalur Gaza selatan. Rafah merupakan rumah bagi lebih dari satu juta orang yang mencari perlindungan dari perang Israel di wilayah kantong tersebut.

"Pengumuman perluasan operasi militer di Rafah, yang secara de facto telah berubah menjadi kamp pengungsi, semakin melanggengkan pengungsian warga Palestina dan mengancam mata pencarian warga sipil yang hampir tidak ada lagi," kata Marthinus van Schalkwyk dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Selasa (13/2/2024).

Van Schalkwyk mengingatkan bahwa serangan ke Rafah berarti mengabaikan perintah Mahkamah Internasional (ICJ) yang dikeluarkan pada 26 Januari. Pernyataannya muncul setelah Afrika Selatan meminta ICJ untuk segera menilai niat Israel untuk memperluas kehadiran militernya di Rafah.

Afrika Selatan mendesak ICJ untuk mempertimbangkan apakah mereka memerlukan pengadilan untuk menggunakan kekuasaannya untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap hak-hak warga Palestina. Pada akhir tahun 2023, Afrika Selatan mengajukan kasus ke pengadilan PBB, menuduh Israel gagal menjunjung komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.

Baca Juga

Dalam keputusan sementara pada bulan Januari, ICJ mengatakan bahwa klaim Afrika Selatan masuk akal. Keputusan sementara itu memerintahkan tindakan sementara bagi pemerintah Israel untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.

"Dewan ini terus menyaksikan dampak buruk konflik bersenjata terhadap warga sipil, memperburuk krisis kemanusiaan, serta kerawanan pangan dan gizi."

"Ini jelas merupakan pengabaian terhadap hukum kemanusiaan internasional, khususnya tidak adanya perlindungan terhadap non-kombatan yang terjebak dalam baku tembak, serta penolakan yang disengaja terhadap akses terhadap bantuan kemanusiaan, yang masih banyak terjadi," kata Van Schalkwyk.

Israel terus menggempur Jalur Gaza sejak serangan 7 Oktober oleh kelompok Palestina Hamas. Serangan Israel membunuh sedikitnya 28.473 orang Palestina dan melukai 68.146 lainnya. Sementara itu, 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan awal Hamas.

 
Berita Terpopuler