Sudah Punya Uang Sendiri, Jangan Sampai Kena Masalah Finansial dengan Turuti Inner Child!

Orang bisa terjebak dalam pola hidup konsumtif dengan dalih sembuhkan inner child.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Koleksi barang antik yang dipajang pada acara Collectible Antique Festival. Membeli barang yang tak bisa dimiliki semasa kecil sering dianggap cara menyebuhkan inner child yang terluka.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Samanta Elsener mengatakan mengikuti inner child tanpa kontrol dapat memicu masalah finansial. Misalnya, dengan membeli barang-barang yang saat kecil tidak dibelikan orang tua.

"Sejumlah orang melakukan proses re-parenting guna menyembuhkan inner child yang terluka," katanya dalam Siaran Sehat oleh Kementerian Kesehatan yang disiarkan di Jakarta, Senin (12/2/2024).

Samanta menjelaskan salah satu contoh perwujudan re-parenting adalah membeli barang-barang yang saat masa kecilnya tidak diberikan orang tua. Itu dilakukan, misalnya, karena dulu ayah dan ibunya tidak mampu secara ekonomi.

"Please banget teman-teman yang masih muda-muda, yang baru mengalami, dapat gaji sendiri, sebesar apapun pendapatan kamu, itu bisa habis kalau kamu selalu berdalil, 'ya aku kan lagi re-parenting diri aku, lagi re-parenting inner child aku, karena dulu hidupku susah'," ujarnya.

Samanta menjelaskan inner child adalah konsep dari psikolog Swiss, Carl Jung, yaitu sosok anak kecil yang ada pada diri seseorang. Semua orang memiliki inner child.

Seiring perkembangan ilmu psikologi, ada istilah inner child trauma. Hal tersebut adalah situasi di mana ada sebuah isu, trauma, atau luka masa kecil yang belum dituntaskan.

Samanta mengatakan ada beberapa penyebab masalah emosional masa kecil yang terbawa hingga dewasa. Pada umumnya, masalah emosional itu timbul karena orang tua sang anak mengabaikan kebutuhan, tidak hadir dalam hidupnya, bahkan sering menolak untuk memenuhi kebutuhan anak.

"Misal, karena faktor ekonomi, orang tua kita kayaknya dulu nggak bisa beliin kita video game. Sekarang udah punya duit sendiri, bisa beli sendiri. Terus jadi mainnya tuh nggak selesai-selesai, gitu," ujarnya.

Menurut Samanta, mengeluarkan uang untuk keperluan semacam itu adalah bentuk kompensasi karena kehidupan masa kecilnya tidak seberuntung hidup di saat ini. Namun, pembelian semacam itu dapat menggiring seseorang hingga akhirnya terjebak ke dalam pola hidup konsumtif.

Samanta menilai perlu ada semacam pembatasan agar tidak menghabiskan gaji tersebut secara egois. Orang bisa disebut "egois" jika selama setahun bekerja gajinya untuk memuaskan diri, misalnya.

"Selanjutnya harus membuat perencanaan keuangan yang lebih baik," katanya.

 
Berita Terpopuler