Hari Paling Mematikan Bagi IDF di Gaza, 22 Tentara Tewas dalam Sehari pada 22 Januari

Pertempuran sengit antara IDF dan Hamas terjadi di Khan Younis, selatan Gaza.

AP Photo/Ohad Zwigenberg
Tentara Israel dalam posisi siaga saat operasi darat di Khan Younis, Jalur Gaza, Palestina. (ilustrasi)
Rep: Kamran Dikrama, Lintar Satria Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, KHAN YOUNIS -- Sebanyak 22 tentara Israel (IDF) dilaporkan tewas menyusul ledakan besar di Gaza pada Senin (22/1/2024). Angka itu disebut-sebut menjadi jumlah kematian terbesar yang dialami IDF dalam sehari selama perang Israel-Hamas sejak 7 Oktober 2023.

Baca Juga

Berdasarkan laporan Al Arabiya dilansir the Mirror, puluhan tentara Israel itu tewas dalam rangkaian ledakan dua gedung, sebuah tank yang menjadi target Hamas, dan pemboman sebuah terowongan yang semuanya terjadi di Khan Younis, Gaza selatan. Rangkaian peristiwa itu terjadi bersamaan dengan upaya IDF memperluas jajahannya di selatan Kota Gaza.

Dikutip Associated Press, militer Israel menyebut peristiwa di Khan Younis sebagai serangan paling mematikan selama tiga bulan perang melawan Hamas. Pihak militer Israel menyebut jumlah tentaranya yang tewas dalam sehari kemarin mencapai 21 orang.

Juru bicara militer Israel, Daniel Hagari menerangkan, para prajuritnya tengah menyiapkan bahan peledak untuk meledakkan dua gedung di Gaza tengah. Namun, sebuah oleh roket militan Hamas menghantam sebuah tank yang di parkir dekat gedung itu kemudian memicu ledakan besar yang meruntuhkan gedung yang di dalamnya tengah berkumpul para prajurit Israel.

Khan Younis memang menjadi fokus serangan IDF sejak awal pekan ini lantaran mereka yakin, para komandan Hamas berkumpul di di wilayah itu. Pada Ahad (21/1/2024), militer Israel mengklaim menemukan ruang bawah tanah di Khan Younis yang mereka yakini sebagai tempat Hamas menempatkan sandera.

Sejauh ini, sebanyak 195 tentara IDF telah tewas menyusul operasi darat di Gaza. Sejalan dengan operasi militer itu, seperti dilaporkan Menteri Kesehatan Paletina, lebih dari 25 ribu warga Gaza telah terbunuh.

Seiring terus bertambahnya jumlah tentara IDF yang tewas, pemerintah Benjamin Netanyahu kini mendapatkan tekanan besar baik dari rakyatnya sendiri dan negara sekutu untuk membuat kesepakatan damai baru dengan Hamas. Namun, Netanyahu seperti dikutip the Express kemarin, menegaskan, dirinya tidak menerima proposal perdamaian dari Hamas terkait pertukaran sandera.

Berbicara dalam wawancara dengan saluran televisi Israel, Channel 12, mantan perwira dan Ombudsman IDF untuk Pengaduan Prajurit, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Yitzhak Brik, mengatakan, Israel harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak dapat memenangkan perang di Gaza. Brik berpendapat, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi Israel adalah menerima kesepakatan pertukaran sandera dan tahanan dengan Hamas. 

Brik mengungkapkan, meskipun pasukan Israel sudah menghancurkan 1.100 bukaan terowongan Hamas di Gaza, masih terdapat ribuan terowongan tambahan dan ratusan kilometer di antaranya. Menurutnya, jika dilema itu tak diselesaikan, kemenangan atas Hamas tidak akan tercapai.

Brik pun sempat ditanya apakah mengendalikan perbatasan dan Poros Philadelphi bisa menghasilkan kemenangan dalam pertempuran melawan Hamas. Ia pun menjawab, “Perang tidak dapat dimenangkan. Kita harus menghadapi kebenaran. Menurut pendapat saya, sangat sulit saat ini untuk melemahkan Hamas, dan hal yang paling mudah adalah adalah mendapatkan kembali mereka yang diculik.”

 

 

Partisipasi Generasi Z pada boikot produk Israel mencapai 50 persen. - (Tim Infografis)

 

Dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional pada Kamis (18/1/2024), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara. Ia pun menegaskan, Israel akan terus melanjutkan perang di Gaza sampai Hamas tereliminasi sepenuhnya.

“Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Sungai Yordan. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan (untuk Palestina). Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.

“Perdana menteri harus mampu untuk mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” kata Netanyahu seraya menambahkan bahwa dia sudah menyampaikan penolakannya terkait solusi dua negara kepada para pejabat Amerika Serikat (AS).

Setelah Netanyahu menyampaikan pernyataannya itu, AS selaku sekutu utama Israel, segera merespons dan memberikan penentangan. “Tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka panjang mereka (Israel) untuk memberikan keamanan abadi, serta tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek dalam membangun kembali Gaza dan membangun pemerintahan di Gaza serta memberikan keamanan bagi Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller dalam pengarahan pers, Kamis pekan lalu.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, pun mengkritik keras  Netanyahu yang menolak penerapan solusi dua negara guna menyelesaikan konflik dengan Palestina. Dia menegaskan bahwa Uni Eropa mendukung solusi tersebut.

“Perdamaian dan stabilitas tidak dapat dibangun hanya dengan cara militer,” kata Borrell menyinggung Israel, Senin (22/1/2024), dikutip laman Al Arabiya.

“Solusi apa lagi yang ada dalam pikiran mereka (Israel)? Untuk membuat semua warga Palestina pergi? Untuk membunuh mereka?” kata Borrell.

Borrell menegaskan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian langgeng di kawasan Timur Tengah adalah dengan menerapkan solusi dua negara Israel-Palestina yang “dipaksakan dari luar”. “Yang ingin kami lakukan adalah membangun solusi dua negara. Jadi mari kita membicarakannya,” ucapnya.

Saat ini perang Israel-Hamas telah berlangsung sekitar 100 hari. Lebih dari 25 ribu warga Gaza sudah terbunuh sejak Israel melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar dari korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 62 ribu orang. 

Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit, rusak atau hancur.

 

 

Sebagian warga di Khan Younis terpaksa harus kembali mengungsi. Mariam Abu Haleeb dan keluarganya lainnya pada Senin mengungsi dengan mobil atau keledai meninggalkan Universitas Al-Aqsa di barat Khan Younis di mana mereka sempat tinggal sementara. Mereka terpaksa pindah setelah diberitahu terlalu berbahaya untuk tetap tinggal di sana.

"Yang paling menyakitkan bagi saya ibu saya yang sudah tua dikepung, saudara saya dan anak-anak mereka dikepung. Semua orang, semua orang, warga Khan Younis membutuhkan bantuan kemarin," katanya, Senin (22/1/2024).

"Ini ketujuh kalinya saya mengungsi, atau mungkin lebih, penyiksaan, penyiksaan, penyiksaan," tambahnya sambil menangis.

Mohammed Abu Haleeb mengatakan banyak orang mendirikan tenda di universitas al-Aqsa setelah militer Israel memperingatkan mereka untuk pindah dari area lain saat pasukan Israel menyerbu seluruh Kota Gaza.

"Pada sore malam, tembakan di mulai, tembakan dan serang udara dari semua arah, saya sama sekali tidak bisa bergerak bersama sembilan anak saya, ada gedung yang kami masuki dan kami tetap di sana sampai pagi, tidak ada yang bisa pergi," katanya.

"Ada korban luka dan syahid yang tidak bisa dijangkau siapa pun," tambahnya.

Israel mengatakan mereka mencoba tidak menyakiti warga sipil. Pasukan Israel menuduh Hamas bersembunyi di pemukiman padat penduduk, kelompok perjuangan pembebasan Palestina membantah tuduhan tersebut.

Pada akhirnya Abu Haleeb mengatakan ia melarikan diri melalui pintu belakang universitas dan bergerak ke arah Rafah di selatah pesisir Gaza. Di mana sudah hampir satu juta orang menjadi perlindungan di kota yang dihuni 300 ribu orang.

"Saya tidak tahu di mana saya harus pergi, lihat nanti," katanya berdiri di samping mobilnya di pinggir jalan.

Seorang anak muda Ahmad Abu-Shaweesh membantu kerabat-kerabatnya mengeluarkan barang-barang dan meletakkannya di tanah. "Kami hampir tidak bisa keluar universitas di tengah tembakan, kami tidak mengira tank-tank di gerbang universitas, kami hampir tidak bisa keluar," katanya.

Manal Abu-Jamea mengatakan ia mencari tempat perlindungan di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis dan mengatakan di sana sudah tidak lagi aman, begitu pula halaman universitas. "Kami bergerak saat serangan udara dan peluru berterbangan ke arah kami, saya membawa anak-anak dan membawa mereka," katanya.

Nahed Abu-Jamea mengatakan ia sudah berada di jalan selama empat jam dan tidak tahu harus pergi kemana."Tidak ada tempat aman, biarkan kami hidup dengan aman," katanya.

BUKTI GENOSIDA ISRAEL - (Republika)

 
Berita Terpopuler