Presiden Afsel Bangga Bisa Seret Israel ke Mahkamah Internasional 

Ramaphosa menegaskan negaranya akan terus berjuang hingga Palestina merdeka.

VOA
Suasana sidang Mahkamah Internasional terkait dugaan genosida Israel di Gaza, Palestina.
Rep: Kamran Dikarma Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa mengaku bangga negaranya dapat membawa kasus dugaan genosida Israel di Jalur Gaza ke Mahkamah Internasional (ICJ). Dia menegaskan, bahwa langkah itu diambil agar genosida di Gaza dapat dihentikan.

Baca Juga

“Saya tidak pernah merasa bangga seperti yang saya rasakan saat ini ketika tim hukum kita memperdebatkan kasus kita di (pengadilan ICJ di) Den Haag,” ujar Ramaphosa saat berpidato di hadapan Liga Wanita dari partai yang berkuasa, Kongres Nasional Afrika (ANC), dikutip laman Middle East Monitor, Sabtu (13/1/2024).

“Ketika pengacara kita membela kasus kita di Den Haag, ketika saya melihat (Menteri Kehakiman Afsel) Ronald Lamola, putra negeri ini, mengajukan kasus kita di pengadilan, saya tidak pernah merasa bangga seperti yang saya rasakan saat ini,” tambah Ramaphosa.

Dia kemudian menyinggung tentang adanya beberapa pihak yang memandang langkah Afsel membawa kasus dugaan genosida Israel ke ICJ sebagai tindakan berisiko. Namun Ramaphosa menegaskan bahwa negaranya akan terus berjuang hingga Palestina merdeka.

“Kita adalah negara kecil, dan perekonomian kita kecil. Mereka bisa menyerang kita, tapi kita akan tetap berpegang pada prinsip kita. Seperti yang diajarkan oleh bapak demokrasi kita, kita tidak akan benar-benar bebas sampai rakyat Palestina bebas,” kata Ramaphosa.

Persidangan dugaan genosida Israel di Gaza digelar selama dua hari di ICJ, yakni pada Kamis dan Jumat pekan ini. Pada hari pertama persidangan, Afsel, selaku penggugat, memaparkan bukti-bukti terkait adanya intensi dan tindakan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.

Adila Hassim, seorang pengacara yang mewakili Afsel, mengatakan kepada panel hakim ICJ bahwa Israel telah melanggar Pasal II Konvensi Genosida. Hal itu mencakup “pembunuhan massal” terhadap warga Palestina di Gaza.

“Israel mengerahkan 6.000 bom per pekan. Tidak ada yang selamat. Bahkan bayi yang baru lahir pun tidak. Para pemimpin PBB menggambarkannya sebagai kuburan anak-anak,” ujar Hassim, dikutip laman Aljazirah.

“Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini, kecuali perintah dari pengadilan ini,” tambah Hashim.

Pejabat Israel berniat lakukan genocida ...

Pengacara lain yang mewakili Afsel, Tembeka Ngcukaitobi, mengatakan, menangani isu intensi genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza biasanya merupakan hal yang paling sulit dibuktikan. Namun dia menekankan bahwa para pejabat dan militer Israel telah menunjukkan intensi tersebut.

“Para pemimpin politik Israel, komandan militer, dan orang-orang yang memegang posisi resmi telah secara sistematis dan eksplisit menyatakan niat mereka untuk melakukan genosida,” ucap Ngcukaitobi.

“Pernyataan ini kemudian diulangi oleh tentara di Gaza saat mereka terlibat dalam penghancuran warga Palestina dan infrastruktur fisik Gaza,” tambah Ngcukaitobi.

Ngcukaitobi kemudian menyoroti pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 28 Oktober 2023. Kala itu Netanyahu mendesak pasukan darat Israel yang bersiap memasuki Gaza untuk “mengingat apa yang telah dilakukan Amalek terhadap Anda”. “Ini mengacu pada perintah Tuhan dalam Alkitab kepada Saul untuk melakukan pembalasan terhadap penghancuran seluruh kelompok orang,” ucapnya.

“Bukti niat genosida tidak hanya mengerikan, tapi juga sangat banyak dan tidak dapat disangkal,” tambah Ngcukaitobi.

Pada hari kedua persidangan, Israel membantah argumen-argumen yang diajukan Afsel. “Komponen kunci dari genosida, yaitu niat untuk menghancurkan orang, secara keseluruhan atau sebagian, sama sekali tidak ada,” kata tim hukum pemerintah Israel, kepada panel hukum ICJ, dikutip laman Anadolu Agency.

“Apa yang Israel cari dengan beroperasi di Gaza bukanlah untuk menghancurkan masyarakat, namun untuk melindungi rakyatnya yang diserang dari berbagai front, dan melakukannya sesuai dengan hukum, bahkan ketika mereka menghadapi musuh yang tidak berperasaan,” tambah tim hukum Israel.

Israel tuding Afsel dekat dengan Hamas ...

 

Tim hukum Israel kemudian menuduh Afsel selaku penggugat memiliki hubungan dekat dengan kelompok Hamas. “Sudah menjadi catatan publik bahwa Afsel mempunyai hubungan dekat dengan Hamas, meskipun mereka diakui secara formal sebagai organisasi teroris oleh banyak negara di dunia,” kata mereka.

“Hubungan ini terus berlanjut bahkan setelah kekejaman yang terjadi pada 7 Oktober (2023). Afsel telah lama menjadi tuan rumah dan merayakan hubungannya dengan tokoh-tokoh Hamas, termasuk delegasi senior Hamas yang mengunjungi negara itu untuk 'pertemuan solidaritas' hanya beberapa pekan setelah pembantaian tersebut,” tambah tim hukum Israel.

Israel juga membantah bahwa negara tersebut mendorong pengungsian paksa terhadap warga Gaza. Israel mengklaim mereka hanya ingin memastikan Gaza terbebas dari sel-sel teror. “Israel bertujuan untuk memastikan bahwa Gaza tidak lagi dapat digunakan sebagai landasan terorisme, seperti yang ditegaskan kembali oleh Perdana Menteri (Benjamin Netanyahu) bahwa Israel tidak berupaya untuk menduduki Gaza secara permanen atau menggusur penduduk sipilnya,” ungkap tim hukum Israel.

Tim hukum Israel menegaskan bahwa negara tersebut hanya memerangi Hamas, bukan rakyat Palestina. “Jika Hamas meninggalkan strateginya, melepaskan sandera, (dan) meletakkan senjatanya, permusuhan dan penderitaan akan berakhir," kata tim hukum Israel.

Keputusan ICJ atas kasus ini nantinya bersifat mengikat. Namun kemampuan ICJ untuk menegakkan atau menerapkan keputusannya sangat kecil. Lebih dari 23.800 warga Palestina di Gaza telah terbunuh sejak Israel melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 56 ribu orang.  

 
Berita Terpopuler