Jangan Heran, Menonton TV Memang Terkait dengan Perilaku tidak Normal pada Balita

Kaitan antara screen time dan perilaku anak terungkap lewat studi baru.

republika
Anak kecanduan gadget. Waktu layar anak pengaruhi perilakunya.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terlalu banyak menonton televisi ternyata dapat memengaruhi kemampuan anak memproses dunia di sekitar mereka. Data tersebut menambah semakin banyak kekhawatiran terkait dengan waktu yang dihabiskan untuk melihat layar (screen time) pada balita dan anak kecil. 

Baca Juga

Dilansir Newsweek, Kamis (11/1/2024), dalam studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatric, para peneliti di Drexel University's College of Medicine di Philadelphia, Amerika Serikat (AS) menunjukkan hubungan antara waktu menonton TV dan perilaku sensorik yang tidak biasa. Hal ini mencakup pelepasan diri atau ketidaktertarikan pada aktivitas-aktivitas, mencari rangsangan lingkungan yang lebih intens, dan kewalahan dengan rangsangan yang intens seperti suara keras dan cahaya terang. 

Untuk menemukan hubungan ini, tim menganalisa data dari National Children’s Study. Itu adalah sebuah studi mengenai kebiasaan menonton TV pada 1.471 bayi dan balita antara tahun 2011 hingga 2014. Hasil pemrosesan sensorik dinilai pada usia 33 bulan dan orang tua atau pengasuh menyelesaikan kuesioner untuk memberikan wawasan tentang perilaku dan reaksi anak terhadap rangsangan lingkungan. 

Tim menemukan bahwa pada usia 12 bulan, paparan layar dikaitkan dengan kemungkinan 105 persen lebih besar untuk menunjukkan perilaku sensorik “tinggi”, seperti menyentuh atau mencium benda secara berlebihan, mudah kewalahan oleh cahaya dan kebisingan, tidak memperhatikan rangsangan lingkungan tertentu, dan menghindari sensasi seperti sedang menyikat gigi. 

Pada usia 18 bulan, setiap tambahan jam waktu menatap layar dikaitkan dengan peningkatan 23 persen kemungkinan menunjukkan perilaku-perilaku tersebut, dan pada usia 24 bulan, setiap tambahan jam waktu menatap layar dikaitkan dengan peningkatan 20 persen kemungkinan menunjukkan perilaku-perilaku tersebut sembilan bulan kemudian.

 

 

Karen Heffler, MD, seorang profesor Psikiatri di Drexel’s College of Medicine dan penulis utama studi tersebut, mengatakan dalam sebuah pernyataan, hubungan ini dapat memiliki implikasi Penting terhadap gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) dan autisme. Sebab proses sensorik atipikal jauh lebih umum terjadi pada populasi-populasi ini. 

"Perilaku berulang, seperti yang terlihat pada gangguan spektrum autisme, sangat berkorelasi dengan pemrosesan sensorik yang tidak lazim,” ujar Heffler. 

Heffler menambahkan penelitian di masa depan dapat menentukan apakah waktu di depan layar di awal kehidupan dapat memicu hiperkonektivitas otak sensorik yang terlihat pada gangguan spektrum autisme, seperti peningkatan respons otak terhadap rangsangan sensorik. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengonfirmasi hubungan antara perilaku dan waktu penggunaan perangkat serta untuk mengetahui penyebab utamanya. 

Sementara itu, Dorothy Bishop, profesor emeritus neuropsikologi perkembangan di University of Oxford, Inggris, dalam sebuah pernyataan, mengungkapkan ini adalah studi observasional dan tidak dapat membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara paparan layar dan dampak buruk pada anak-anak.

Seperti yang penulis catat, menurut Bishop, tanpa uji coba secara acak, hasil ini tidak jelas. Asosiasi seperti yang ditemukan dapat muncul jika anak-anak dengan gangguan sensorik lebih cenderung mencari layar, dan/atau variabel lain yang tidak terkontrol (misalnya kebisingan di rumah) menyebabkan lebih banyak paparan layar dan tantangan-tantangan sensorik. 

"Mereka juga menunjukkan batasan-batasan  lain: kesulitan sensorik dan waktu pemakaian perangkat didasarkan pada laporan orang tua, yang tidak obyektif, dan pengukuran waktu penggunaan perangkat tidak memberikan informasi tentang jenis screen time," ujar Bishop. 

 

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry merekomendasikan anak-anak di bawah usia 18 bulan harus membatasi waktu menonton video chat saja, sedangkan anak usia 18 hingga 24 bulan sebaiknya dibatasi menonton program-program pendidikan dengan pengasuhnya. Pada usia 2 hingga 5 tahun, asosiasi tersebut merekomendasikan maksimal satu jam screentime nonpendidikan pada hari-hari kerja dan tiga jam pada akhir pekan. 

 
Berita Terpopuler