Pengungsi Gaza: Israel Membuat Hidup Kami Mengais di Tengah Sampah Seperti Anjing!

Mereka kesulitan makanan, air, temaot tinggal layak padahal mereka sebelumnya hidup nyaman dan aman di Gaza.

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Anggota keluarga Abu Jarad memanggang roti di sebuah kamp di kawasan Muwasi, Gaza selatan, Senin, 1 Januari 2024. (AP Photo/Fatima Shbair)

Beberapa orang yang tanpak seperti anak-beranak tampak erdampar di sudut selatan Gaza. Mereka itu adaalah anggota keluarga Abu Jarad menjalani rutinitas bertahan hidup yang ketat.

Mereka telah meninggalkan rumah yang nyaman dengan tiga kamar tidur di Gaza utara setelah perang Israel-Hamas pecah hampir tiga bulan lalu. Keluarga itu beranggotakan 10 orang itu. Mereka kini berkumpul di dalam tenda berukuran 16 meter persegi (172 kaki persegi) di atas lahan berpasir yang dipenuhi sampah, bagian dari wilayah perkemahan luas pengungsi Palestina.

Setiap anggota keluarga diberi tugas sehari-hari, mulai dari mengumpulkan ranting, menyalakan api untuk memasak, hingga menjelajahi pasar kota untuk mencari sayuran. Namun upaya terbaik mereka tidak mampu menutupi keputusasaan mereka.

Pada malam hari “anjing-anjing berkeliaran di atas tenda,” kata Awatif Abu Jarad, salah satu anggota keluarga yang lebih tua. “Kami hidup seperti anjing!”


Anggota keluarga Abu Jarad sarapan pagi di sebuah kamp di kawasan Muwasi, Gaza selatan, Senin, 1 Januari 2024. (AP Photo/Fatima Shbair)

Warga Palestina lainnya yang jugaa mencari perlindungan di Gaza selatan mengatakan bahwa setiap hari adalah perjuangan untuk mendapatkan makanan, air, obat-obatan, dan kamar mandi yang berfungsi. Sementara itu, mereka hidup dalam ketakutan akan serangan udara Israel dan meningkatnya ancaman penyakit.

Pengeboman dan invasi darat Israel ke Gaza, yang kini memasuki minggu ke-13, telah mendorong hampir seluruh warga Palestina menuju kota selatan Rafah di sepanjang perbatasan Mesir. Daerah tersebut memiliki populasi sebelum perang sekitar 280.000 jiwa, angka yang meningkat menjadi lebih dari 1 juta dalam beberapa hari terakhir, menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Blok apartemen Rafah pun saat ini sudaha dipenuhi orang, seringkali keluarga besar yang membuka pintu bagi kerabat mereka yang mengungsi. Di sebelah barat kota, ribuan tenda nilon bermunculan. Ribuan orang lainnya tidur di alam terbuka, meskipun cuaca musim dingin sejuk dan sering hujan.

Sebagian besar wilayah utara Gaza sekarang berada di bawah kendali tentara Israel, yang pada awal perang mendesak warga Palestina untuk mengungsi ke selatan. Ketika perang berlangsung, lebih banyak perintah evakuasi dikeluarkan di wilayah selatan, memaksa warga sipil Palestina untuk berkumpul di tempat yang lebih kecil, termasuk Rafah dan sebidang tanah di dekatnya yang disebut Muwasi.

Bahkan tempat-tempat yang dianggap aman ini sering terkena serangan udara dan penembakan.


Perang Gaza pecah pada 7 Oktober setelah militan Hamas menyerbu Israel selatan, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menculik 240 lainnya. Pertempuran tersebut telah menewaskan lebih dari 22.400 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas, yang tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.

Menurut Nouman, saudara laki-laki Awatif, konflik tersebut membawa keluarganya ke seluruh Gaza. Mereka meninggalkan rumah mereka di kota perbatasan utara Beit Hanoun pada hari pertama perang dan tinggal bersama seorang kerabat di kota terdekat, Beit Lahia.

Enam hari kemudian, intensitas serangan Israel di wilayah perbatasan mengirim mereka ke selatan menuju Rumah Sakit Al-Quds di Kota Gaza. Ketika orang-orang mulai meninggalkan rumah sakit dua hari kemudian, mereka melakukan perjalanan ke kamp pengungsi perkotaan Nuseirat di Gaza tengah, dan menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer (6 mil) dengan berjalan kaki.

Mereka tinggal di gedung sekolah PBB yang sempit di Nuseirat selama lebih dari dua bulan, namun keluar pada 23 Desember ketika tentara Israel mengalihkan fokusnya ke sasaran Hamas di kamp-kamp pengungsi Gaza tengah.


Warga Gazaa, termasuk keluarga Abu Jarad, semuanya melarikan diri ke Muwasi pada tanggal 23 Desember, Mereka percaya bahwa tempaat itu adalah pilihan yang paling aman. Pada malam pertama, mereka tidur di tempat terbuka. Kemudian mereka membeli nilon dan kayu di pasar Rafah untuk membangun tenda.

Nouman, seorang akuntan, tidur di lantai berlapis nilon bersama istri, saudara perempuannya, enam putri dan satu cucunya. Mereka tidur miring untuk menghemat ruang.

Dia mengatakan tenda itu berharga 1.000 shekel, sekitar $276. “Ini benar-benar gila,” katanya. Dalam kondisi perekonomian perang yang didorong oleh permintaan di Rafah, harga tenda keluarga yang lebih besar kini berkisar antara $800 hingga $1,400.

Kesulitan keluarga ini dimulai pada pukul 5 pagi. Nouman mengatakan pekerjaan pertamanya adalah menyalakan api kecil untuk memasak sarapan, sementara istri dan putrinya menguleni adonan untuk membuat roti pipih dan kemudian mencuci peralatan dan wajan masak logam mereka.

Setelah makan, perhatian mereka beralih ke mengambil air dan makanan, tugas yang menyita sebagian besar waktu siang hari.

Nouman mengatakan dia dan beberapa adiknya mengumpulkan kendi berisi air dari salah satu pipa umum di dekatnya, air yang hanya digunakan untuk mencuci dan tidak layak untuk diminum. Selanjutnya, mereka menuju ke salah satu dari lusinan tanker air minum yang tersebar di seluruh kota, di mana mereka mengantri berjam-jam.

 
Berita Terpopuler