Penderitanya Sudah Sembuh, Covid-19 Masih Bisa Sebabkan Cedera Otak Berkelanjutan

Covid-19 dapat memunculkan sejumlah masalah pada berbagai area tubuh.

Freepik
Perempuan bersin (ilustrasi). Bersin-bersin bisa menjadi salah satu gejala Covid-19, terutama yang disebabkan oleh varian baru.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski umumnya menyerang saluran pernapasan, Covid-19 juga dapat memunculkan sejumlah masalah pada berbagai area tubuh lain. Pada otak, misalnya, Covid-19 diketahui dapat memicu kerusakan secara berkelanjutan hingga beberapa bulan setelah infeksi terjadi.

Temuan ini diungkapkan dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada jurnal Nature Communications. Melalui studi ini, tim peneliti melakukan analisis dan pemeriksaan terhadap 800 pasien asal Inggris yang dirawat di rumah sakit akibat Covid-19.

Setengah dari pasien tersebut mengalami masalah neurologis yang baru setelah terkena Covid-19. Tim peneliti lalu melakukan pemeriksaan terhadap penanda cedera otak, protein serum peradangan, antibodi, serta protein cedera otak pada seluruh pasien.

Hasil studi menunjukkan bahwa para pasien memproduksi lebih banyak protein peradangan ketika masih positif Covid-19. Dalam kondisi masih positif, para pasien juga memiliki penanda cedera otak pada darah yang lebih tinggi.

Yang cukup mengejutkan, beberapa bulan setelah pasien dinyatakan sembuh dari Covid-19, mereka masih memiliki penanda pada darah yang mengindikasikan adanya cedera otak yang masih berlangsung. Padahal, hasil pemeriksaan tes peradangan darah rutin tidak menunjukkan adanya peradangan pada pasien.

Menurut tim peneliti, kondisi seperti ini paling banyak ditemukan pada pasien Covid-19 yang juga terkena masalah neurologis selama sakit. Sebagai contoh, pasien yang mengalami komplikasi otak yang dipicu oleh Covid-19.

"Ini mengindikasikan adanya kemungkinan peradangan dan cedera yang terus berlanjut di dalam otak, yang tak bisa terdeteksi oleh tes darah untuk peradangan," ungkap Direktur Infection Neuroscience Laboratory di University of Liverpool, Benedict Michael PhD, seperti dilansir WebMD pada Rabu (3/1/2024).

Baca Juga

Mewaspadai Covid-19

Sejak kemunculan varian baru JN.1, kasus Covid-19 di berbagai negara kembali melonjak. Kasus Covid-19 yang disebabkan oleh varian JN.1 umumnya berkaitan dengan infeksi pada saluran pernapasan atas, seperti batuk, demam, nyeri tenggorokan, badan pegal, dan hidung beringus.

Varian turunan dari Omicron ini pertama kali terdeteksi pada September lalu di Amerika Serikat. Kini, JN.1 sudah terdeteksi di lebih dari 40 negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan varian JN.1 sebagai variant of interest (VOI).

Lebih spesifik, varian JN.1 merupakan turunan langsung dari BA.2.86 yang dikenal pula dengan nama Pirola. Yang membedakan JN.1 dengan Pirola adalah varian terbaru ini memiliki mutasi L455S tambahan pada spike protein. Mutasi tambahan ini membuat JN.1 menjadi lebih menular.

Oleh karena itu, saat ini masyarakat dunia kembali direkomendasikan untuk melakukan beragam upaya pencegahan Covid-19. Sebagian contohnya adalah menggunakan masker saat beraktivitas, mencuci tangan dengan air dan sabun, serta menghindari perkumpulan atau keramaian di ruang publik, seperti dilansir India Today.

 
Berita Terpopuler