PR Pengembangan Ekonomi Syariah, Pengamat Soroti Kebijakan Gimik dan Tidak Substantif

Saat ini, potensi pasar halal domestik masih lebih banyak digarap pemain luar.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Ilustrasi pengembangan produk halal.
Rep: Fauziah Mursid Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia harus diikuti dengan kebijakan yang substantif dan implementatif. Pengamat ekonomi syariah dari Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono menyoroti berbagai kebijakan yang tidak substantif yang justru memperlambat kemajuan industri keuangan syariah maupun industri hahal.

Baca Juga

"Banyak pula kebijakan yang digulirkan lebih banyak bersifat gimmick, tidak substantif mendorong kemajuan industri halal. Sebagai misal, Indonesia berambisi menjadi pusat industri keuangan syariah dunia, namun hingga kini marketshare perbankan syariah hanya di kisaran 7 persen," kata Yusuf dalam keterangannya, Jumat (22/12/2023).

Yusuf menambahkan, upaya memajukan industri keuangan syariah melalui kebijakan merger tiga bank syariah BUMN, juga tidak diikuti dengan penambahan modal. Hal ini berdampak pada marketshare perbankan syariah, yakni tingkat global share perbankan syariah Indonesia hanya di kisaran 2 persen.

Tak hanya itu, Yusuf menyebut Indonesia juga tergolong lamban dan kurang agresif dalam mengembangkan industri halal. Padahal Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi pemain dunia. 

Ia mencontohkan, di industri fesyen, produk busana muslim Indonesia diakui sangat berkualitas serta kreatif dan dinilai kompetitif untuk bersaing di kancah global. Namun, eksportir busana muslim terbesar di dunia saat ini justru direbut oleh China yang notabene negara non-muslim dan belum lama mengembangkan industri halal.

"Dengan di tingkat global share perbankan syariah kita hanya di kisaran 2 persen, tentu cita-cita menjadi pusat keuangan syariah dunia jadi seperti utopia," ujar Yusuf.

Belum lagi lanjut Yusuf, meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan belanja produk halal besar, tetapi jumlah pemain lokal masih rendah. Saat ini, potensi pasar halal domestik masih lebih banyak digarap pemain luar.

Padahal, ia menilai, jika Indonesia bisa meningkatkan jumlah pemain halal lokal ini, berpeluang menggarap pasar halal global dari 1,8 miliar muslim dunia. Karenanya, untuk mendorong Indonesia sebagai pusat industri halal dunia dan sekaligus meningkatkan jumlah pemain lokal ini, Yusuf menilai langkah paling efektif adalah menciptakan ekosistem ekonomi syariah dan industri halal yang komprehensif. Langkah ini dimulai dari sertifikasi halal, pasokan Sumber Daya Manusia (SDM) industri halal, dukungan pembiayaan syariah untuk industri halal, kawasan industri halal, termasuk pusat riset halal, hingga dukungan edukasi dan promosi halal ke publik yang masif. 

Indonesia perlu mengacu negara lain yang serius. Bahkan negara non muslim gencar membangun ekosistem industri halal seperti Thailand, China, dan Korea Selatan. 

"Indonesia harus bergerak cepat jika tidak ingin menjadi penonton di industri halal global ini," ujarnya.

Ia mengingatkan, ekonomi syariah dan industri halal adalah kesempatan besar bagi Indonesia untuk menumbuhkan pemain lokal berbasis UMKM dan ekonomi rakyat. Untuk itu, besarnya potensi pasar ini diharapkan tidak hanya dinikmati pemain besar, bahkan pemain asing.

"Berbagai brand asing ternama kini sudah mulai melirik pasar halal Indonesia sekarang ini, pemerintah harus mengambil inisiatif yang cepat dan terukur untuk membesarkan UMKM halal Indonesia," ujarnya

 
Berita Terpopuler