Perang Gaza Dua Kali Lebih Mematikan untuk Anak-Anak Dibandingkan Konflik Lain

Saat ini 1,9 juta orang atau 85 persen dari populasi Gaza telah kehilangan rumah.

AP Photo/Marwan Saleh
Juru Bicara Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) James Elder mengatakan, konflik di Jalur Gaza mempunyai dampak dua kali lebih mematikan bagi anak-anak dibandingkan konflik pernah dilihat dunia dalam 20 tahun
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Juru Bicara Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) James Elder mengatakan, konflik di Jalur Gaza mempunyai dampak dua kali lebih mematikan bagi anak-anak dibandingkan konflik pernah dilihat dunia dalam 20 tahun terakhir. Hal itu disampaikan setelah dia melakukan misi selama sepekan di Gaza.

Baca Juga

“Pada awal perang ini, UNICEF mengatakan Gaza adalah ‘kuburan bagi anak-anak dan neraka bagi semua orang’. Situasi ini semakin memburuk ketika pengeboman dan pertempuran terus berlanjut,” kata Elder, dilaporkan CNN, Jumat (15/12/2023).

Dia secara khusus memperingatkan dampak buruk dari kekurangan makanan, air, dan obat-obatan terhadap anak-anak di Gaza. “Anak-anak di Gaza sekarang berada dalam bahaya dari udara (serangan Israel), penyakit di darat, dan kematian karena kelaparan dan kehausan,” kata Elder, seraya menambahkan bahwa ia belum pernah melihat tingkat kehancuran dan keputusasaan seperti itu di tempat lain.

Elder menjelaskan, sebagian besar krisis mempunyai tingkat korban anak-anak sekitar 20 persen. “Ini (konflik Gaza) adalah 40 persen. Konflik ini dua kali lebih mematikan bagi anak-anak dibandingkan konflik yang kita lihat dalam 15 atau 20 tahun terakhir,” ucapnya.

Sejauh ini, agresi Israel ke Gaza yang dimulai sejak 7 Oktober 2023, telah membunuh setidaknya 18.800 ribu jiwa. Sebanyak 8.000 di antaranya merupakan anak-anak. Di antara korban jiwa pun terdapat sekitar 6.200 perempuan. Sementara korban luka telah menembus 51 ribu orang.

Saat ini Israel tengah mengintensifkan serangannya di wilayah selatan Gaza, termasuk Rafah yang dekat dengan perbatasan Mesir. Ketika pertempuran berkecamuk di wilayah utara Gaza, lebih dari 1 juta penduduk mengungsi ke selatan. PBB telah menyampaikan bahwa saat ini tak ada tempat aman di Gaza.

Menurut PBB, saat ini sekitar 1,9 juta orang atau 85 persen dari populasi Gaza telah kehilangan tempat tinggal. Sebagian dari mereka bahkan kehilangan tempat bernaung lebih dari satu kali.

Pekan lalu Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menuduh Israel berusaha mengusir penduduk Palestina keluar dari Jalur Gaza. “Apa yang kita lihat di Gaza bukan hanya sekadar pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa dan penghancuran mata pencaharian mereka (oleh Israel), tapi juga upaya sistematis untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya,” kata Safadi pada 10 Desember 2023 lalu.

 

Menurutnya, dunia belum memperlihatkan iktikad untuk mengakhiri perang di Gaza. “Kita belum melihat dunia mencapai titik yang seharusnya kita capai... tuntutan tegas untuk mengakhiri perang ini; perang yang termasuk dalam definisi hukum genosida,” ujarnya.

Safadi berpendapat bahwa tujuan Israel untuk menghancurkan Hamas tidak sesuai dengan besarnya kehancuran yang terjadi di kalangan warga sipil Gaza. Dia menilai agresi Israel ke Gaza benar-benar tak pandang bulu.

Sebelum Safadi, Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini telah terlebih dulu menuduh Israel berusaha mengusir penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Mesir. Dalam sebuah opini di Los Angeles Times yang diterbitkan 9 Desember 2023, Lazzarini mengingatkan bahwa saat ini penduduk Gaza sudah terkonsentrasi di wilayah selatan. Hal itu karena ketika pertempuran Israel-Hamas berkecamuk di utara, lebih dari 1 juga warga diperintahkan mengungsi ke selatan. Saat ini Israel mengintensifkan agresinya ke selatan Gaza.

“PBB dan beberapa negara anggota, termasuk AS, dengan tegas menolak pemindahan paksa warga Gaza keluar dari Jalur Gaza. Namun perkembangan yang kita saksikan menunjukkan adanya upaya untuk memindahkan warga Palestina ke Mesir, terlepas dari apakah mereka tinggal di sana atau dimukimkan kembali di tempat lain,” kata Lazzarini.

Dia mengungkapkan, kehancuran yang meluas di wilayah utara dan gelombang pengungsian yang diakibatkannya adalah tahap pertama dari skenario seperti itu. Sementara memaksa warga sipil Gaza keluar dari kota Khan Younis dan mendesak mereka lebih dekat ke perbatasan Mesir adalah tahap berikutnya.

 

“Jika jalan ini terus berlanjut, yang mengarah pada apa yang oleh banyak orang disebut sebagai Nakba kedua, Gaza tidak akan lagi menjadi tanah bagi warga Palestina,” kata Lazzarini, menggunakan istilah Arab untuk eksodus atau pemindahan paksa 760 ribu warga Palestina selama perang yang bertepatan dengan berdirinya Israel pada tahun 1948.

 
Berita Terpopuler