Pelapor PBB: Serangan Israel ke Gaza Bukan Membela Diri

Tindakan yang dilakukan Israel di Gaza bukan termasuk pembelaan diri.

EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Pelapor PBB untuk Palestina, Francesca Albanese mengklarifikasi tentang maksud pembelaan diri menurut hukum internasional.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelapor PBB untuk Palestina, Francesca Albanese, mengklarifikasi tentang maksud pembelaan diri menurut hukum internasional. Albanese mengatakan, tindakan yang dilakukan Israel di Gaza bukan termasuk pembelaan diri.

Albanese mengatakan, dalam bahasa pada umumnya pembelaan diri dapat dipahami sebagai hak untuk melindungi diri sendiri. Namun, Pasal 51 Piagam PBB yang digunakan Israel bukan sekadar hak untuk melindungi diri sendiri.

"Pembelaan diri menurut hukum internasional adalah istilah seni hukum dan berarti hak untuk berperang yang tidak dimiliki Israel dan ini merupakan yurisprudensi terkonsolidasi dari badan peradilan tertinggi PBB," ujar Albanese, dalam sebuah rekaman video.

Albanese memahami bahwa praktik kenegaraan tentang pembelaan diri mungkin berbeda, misalnya saja ketika Amerika Serikat menginvasi Irak. Namun, hukum tetap harus dipatuhi oleh semua pihak. Albanese menjelaskan, hak membela diri bisa digunakan ketika suatu negara diancam oleh negara lain.

"Tidak demikian (di sini, di Gaza), Israel tidak mengeklaim bahwa negaranya diancam oleh negara lain, mereka diancam oleh kelompok bersenjata di dalam wilayah pendudukan," ujar Albanese.

Bahkan, menurut Albanese frasa yang menyebut perang antara Gaza dan Israel adalah tidak tepat. Karena Gaza bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari wilayah pendudukan. Secara khusus, Israel tidak dapat mengeklaim hak untuk membela diri terhadap ancaman yang muncul dari wilayah yang berada di bawah pendudukan.

"Hal ini tidak hanya ada dalam yurisprudensi ICC secara umum, hal ini juga dikatakan dalam kasus wilayah Palestina yang diduduki," kata Albanese.

Amnesty International pada Senin (20/11/2023) telah mendokumentasikan dua serangan Israel di Gaza bulan lalu yang menewaskan 46 warga sipil, termasuk 20 anak-anak. Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan, tindakan Israel ini harus diselidiki sebagai kejahatan perang.

“Serangan tersebut, yang terjadi pada tanggal 19 dan 20 Oktober, menghantam gedung gereja tempat ratusan warga sipil yang mengungsi berlindung di Kota Gaza dan sebuah rumah di kamp pengungsi al-Nuseirat di Gaza tengah,” kata Amnesty International dalam sebuah pernyataan, dilaporkan Anadolu Agency.

“Amnesty International, berdasarkan penyelidikan mendalam terhadap peristiwa-peristiwa ini, telah menetapkan bahwa serangan-serangan ini adalah serangan tanpa pandang bulu atau serangan langsung terhadap warga sipil atau objek sipil, yang harus diselidiki sebagai kejahatan perang,” ujar Amnesty International menambahkan.


Baca Juga

 

Direktur Penelitian, Advokasi dan Kebijakan Global Amnesy International, Erika Guevara-Rosas mendesak jaksa Pengadilan Kriminal Internasional mengambil tindakan nyata untuk mempercepat penyelidikan terhadap kejahatan perang dan kejahatan lain berdasarkan hukum internasional yang dibuka pada 2021.

“Serangan-serangan yang mematikan dan melanggar hukum ini adalah bagian dari pola pengabaian terhadap warga sipil Palestina, dan menunjukkan dampak buruk dari serangan militer Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak meninggalkan tempat yang aman di Gaza, di mana pun warga sipil tinggal atau mencari perlindungan,” kata Guevera-Rosas.

Amnesty International juga membagikan foto-foto dari serangan yang ditargetkan serta pernyataan para penyintas dari dua serangan tersebut. Seorang penyintas, Hani al-Aydi mengatakan, dia sedang duduk dan bersantai di rumahnya bersama seluruh keluarganya ketika serangan terjadi. Al-Aydi kehilangan orang tua dan kerabatnya karena serangan Israel. Sementara rumahnya hancur karena bom Israel.

“Kami sedang duduk-duduk di rumah, penuh dengan orang, anak-anak, kerabat. Tiba-tiba, tanpa peringatan apa pun, segala sesuatu menimpa kepala kami. Semua saudara laki-laki saya meninggal, keponakan saya, keponakan saya. Ibu saya meninggal, saudara perempuan saya meninggal, rumah kami hilang. Tidak ada apa-apa di sini, dan sekarang kami tidak punya apa-apa dan terpaksa mengungsi,” ujar al-Aydi.

Sejak Israel mulai membom Gaza pada 7 Oktober, setidaknya 13.000 warga Palestina telah terbunuh, termasuk lebih dari 9.000 wanita dan anak-anak. Sementara lebih dari 30.000 lainnya terluka. Ribuan bangunan, termasuk rumah sakit, masjid, dan gereja, juga telah rusak atau hancur akibat serangan udara dan darat yang tiada henti dari Israel terhadap wilayah kantong yang terkepung tersebut. 

 
Berita Terpopuler